Kamis, 02 Juli 2020

Menyelami masa melewati batas: Jelajah Pulau Kelor, Cipir, dan Onrust


Gugusan pulau-pulau kecil yang menyebar di utara Jakarta dinamakan Kepulauan Seribu meskipun tentu saja jumlahnya tidaklah sampai seribu pulau. Kepulauan Seribu menjadi tujuan wisata utama terutama bagi penduduk ibukota Jakarta untuk menikmati deru air laut ataupun sekedar sunset di pantai. Secara administratif, Kepulauan Seribu sudah menjadi kabupaten sendiri (sebelumnya wilayah ini menjadi salah satu kecamatan di Kota Jakarta Utara).


Kepulauan seribu dari Google Maps

Saya berkesempatan mengunjungi Pulau Onrust, Cipir, dan juga Kelor untuk menuntaskan rasa penasaran mengenai tinggalan arkeologis yang terdapat di pulau-pulau tersebut. Sebagai mahasiswa baru arkeologi, rasa ingin tahu saya mengenai tinggalan kolonial sangat tinggi, terlebih di kota asal saya tidak banyak tinggalan kolonial yang tersisa. Kami berkumpul bersama di Kota Tua Jakarta untuk memudahkan mobilisasi rombongan yang kurang lebih berjumlah 10 orang. Kami berangkat menuju Pelabuhan Muara Kamal, titik start perjalanan kami kali ini. Memasuki dermaga tampak TPI hiruk pikuk dengan penjual dan pembeli yang berjejal. Air disekitar dermaga sangat hitam dan bau, pertanda air laut disini telah tercemar berat. Kapal berbaris hilir mudik  di dermaga, sebagian mengangkut hasil laut, sebagian lagi mengangkut penumpang dan barang.
Penangkaran kerang hijau yang kami lihat sepanjang perjalanan 

Kapal motor yang kami tumpangi mulai berjalan pelan meninggalkan dermaga. Kanan kiri kami mulai terlihat keramba bambu yang digunakan untuk membudidaya kerang hijau. Berdasarkan penelitian, kerang hijau di Teluk Jakarta sudah banyak tercemar logam berat dan berbahaya jika dikonsumsi manusia. Bagaimanapun, rasanya sulit untuk menghentikan konsumsi kerang hijau dari Teluk Jakarta yang masih menjadi komoditas di warteg-warteg Jabodetabek. Pulau-pulau reklamasi juga turut menghiasi perjalanan kali ini. Meski sudah banyak mendapatkan protes, pembangunan terus dilanjutkan . Lagi-lagi alasan ketersediaan lahan menjadi pemicu pemerintah kekeh dengan reklamasi.
Reklamasi yang mulai terlihat

40 menit berlalu, sampailah kami ke Pulau Kelor. Dibanding dua pulau lainnya yang akan kami kunjungi, pulau ini adalah yang terkecil. Meskipun terkecil, pulau ini punya ikon yang tidak dimiliki oleh pulau-pulau lainnya yaitu Benteng Martello yang masih kokoh berdiri. Bata merah benteng ini terlihat mencolok dengan latar laut dan langit biru. Berbentuk bundar dengan tinggi 9 meter dan diameter 14 meter, benteng ini sudah mengalami banyak kerusakan  meskipun bentuk aslinya masih terlihat utuh . Berdiri semenjak 1850, sebagai gerbang utama Batavia melalui jalur laut benteng ini difungsikan sebagai menara pengintai dan benteng pertahanan. Julukan lainnya pulau ini adalah Pulau Kuburan. Konon di pulau ini banyak terdapat kuburan-kuburan pribumi maupun orang-orang Belanda sekitaran Onrust yang nisannya sudah tidak terlihat lagi. Saya menemukan beberapa potongan tulang rahang binatang tercampur bersama terumbu karang yang mati.
Sisa Benteng Matello yang ada di Pulau Kelor

Puas melihat sekeliling, kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Cipir. Pasir putih menyambut kaki kami yang basah sehabis turun dari kapal. Terik matahari membuat kulit kami tebakar, beruntung Pulau ini cukup rindang untuk menaungi kami. Tidak jauh dari bibir pantai, sisa-sisa bangunan terbengkalai menjadi pemandangan menyeramkan sekaligus penuh sejarah. Bangunan ini dahulunya difungsikan sebagai rumah sakit karantina para jemaah haji pada masa pemerintahan Kolonial. Lorong demi lorong rusak saya masuki, warna bangunan yang memudar seakan bercerita kisah sedih jamaah haji yang seakan menjadi tahanan. Pemerintah Kolonial nampak khawatir dengan ide-ide perjuangan yang mereka dapatkan selama di tanah suci. Selepas mengelilingi puing-puing, kami duduk sejenak di pinggir pantai meregangkan kaki yang sudah lama berjalan.
 Rumah sakit haji yang sekarang tinggal puing
Pantai Cipir yang panas sekali

Matahari sudah tidak lagi diatas kepala, perjalanan selanjutnya adalah menuju Pulau Onrust. Onrust yang berarti unrest dalam bahasa inggris karena saking banyaknya kapal yang masuk ke galangan kapal di Onrust. Ditarik kebelakang, sejarah kepulauan seribu pada umumnya adalah tempat peristirahatan raja-raja Banten, namun karena sengketa dengan Jayakarta, Jayakarta mengizinkan VOC untuk mendirikan galangan kapal disana. Lambat laun VOC mulai menjadikan Onrust koloni dan mulai membangun benteng kecil pada 1656. Bahkan Sir James Cook pernah singgah ke Onrust untuk memperbaiki kapal dan mengisi perbekalan sebelum sampai di Australia. Setelah sempat diduduki Inggris pada periode 1810-1816, pembangunan Pulau Onrust dilanjutkan lagi oleh pemerintah Kolonial dan 1911 beralih fungsi menjadi tempat karantina haji. Tahun 1972, SK penetapan Pulau Onrust sebagai pulau bersejarah diterbitkan oleh gubernur DKI Ali Sadikin.
Benteng di Pulau Onrust memang sudah tidak bersisa, tetapi sebuah rumah yang masih tersisa disana kini dijadikan museum. Museum yang menjelaskan Pulau Onrut dari zaman VOC yang dijadikan galangan, sempat menjadi karantina haji  hingga akhirnya dijadikan penjara bagi tahanan politik pada zaman Jepang. Unsur mistis menjadi kental di pulau ini sebab kuburan-kuburan era kolonial masih utuh, yang paling terkenal dari mereka ialah Maria van de Velde yang konon masih bergentayangan di pulau ini. Selain itu ada sebuah dua buah makam keramat lainnya yang salah satunya dipercaya makam dari pemimpin DI/TII Kartosoewirjo.
Rumah peninggalan Belanda yang sekarang menjadi Museum Onrust
Inskripsi nisan Maria van de Velde

Sehabis selesai menyelesaikan tur hari ini, beberapa rombongan kami pamit untuk pulang. Kami mengantarkan mereka sampai dermaga Onrust. Tersisa kami bertiga bersama seorang senior kami yang juga sebagai kepala rombongan. Kami memang mau melanjutkan hari di Pulau Onrust sebelum pulang besok pagi.

Para pemancing yang sedari siang duduk menunggu ikan disambar menjadi teman ngobrol kami di sore hari. Sore itu langit tak ditutupi awan sehingga matahari bersinar kuning nampak terang berkilau. Saya menyingkir dari mereka bertiga , kembali mengunjungi makam Maria van de Velde. Meskipun rimbunan pohon beringin membuat suasana menjadi menyeramkan. Entahlah, aku merasakan aura kesunyian seorang wanita dengan penantiannya yang tidak berujung. Saya merasa iba.
Pemancing yng menjadi teman ngobrol kami di sore hari

Malam ini kami habiskan waktu bercengkrama di pinggir pantai. Dari seberang, cahaya lampu apartemen gemerlap menemani obrolan kami. Kami mengobrolkan banyak hal; tentang studi kami yang baru saja di masa awal, tentang tinggalan arkeologi seputaran Kepulauan Seribu, hingga cerita mistis pulau ini. Tidak ada api unggun, tidak ada perayaan. Selepas ngalor ngidul, kami menuju tenda dan beranjak tidur diantara sisa bangunan dan teluk Jakarta.


*Tulisan ini pernah dimuat di telusuri.id 

Rabu, 24 Juni 2020

Pelajaran dari Baduy


                Bersentuhan dengan suku-suku yang mengasingkan diri dari kehidupan modern adalah pertama kalinya saya lakukan saat mengunjungi Baduy. Urang Baduy atau Urang Kanekes menghuni sekitar kawasan Pegunungan Kendeng, sejauh 40 km dari kota Rangkasbitung. Suasana dingin pegunungan ditambah kicauan burung menjadi ucapan selamat datang begitu menginjakkan kaki disana. Suku Baduy ini dibagi menjadi dua bagian ada Baduy Luar dan Baduy Dalam. Baduy Luar terlihat lebih santai dalam memegang adat mereka, meskipun itu tidak berarti mereka meninggalkannya. Ciri yang terlihat lainnya adalah dari ikat kepala berwarna biru yang disandang oleh para Baduy luar, sedangkan Baduy Dalam menggunakan ikat kepala putih, begitu pula dengan pakaian yang mereka kenakan, Baduy Dalam mengenakan baju kampret berwarna putih sedangkan Baduy Luar berwarna hitam. Kawasan wisata Baduy menjadi sangat populer karena membuat orang penasaran; bagaimanakah orang Baduy mampu bertahan dengan tradisi mereka ditengah gempuran kehidupan modern dimana-mana.
Kang Mul bersama anak gadisnya

                Kami akan menuju rumah Kang Mul, seorang warga Baduy Luar yang menjadi tuan rumah kami di perjalanan ini. Seperti trekking pada umumnya, kami melewati jalanan naik turun yang menguras tenaga habis-habisan. Rute yang kami tempuh adalah Ciboleger-Kaduketug-Balimbing-Marengo-Gajeboh yang masuk dalam kawasan Baduy Luar.  Sepenglihatan saya memang orang-orang Baduy tidak memakai alas kaki, bahkan ke jalan aspal yang panas sekalipun! Menurut Kang Mul hal ini merupakan bentuk kesyukuran terhadap yang Maha Kuasa, mereka memanfaatkan semaksimal mungkin pemberian yang murni tanpa harus ada penambahan apapun.
                Beberapa bocah melintas dengan polosnya, memangku durian di pundak, berjalan berduyun-duyun seakan-akan bakal ada hajatan besar hari ini. Hasil hutan yang mereka kumpulkan dibawa kearah Ciboleger dan dikumpulkan oleh pengepul. Saya rasa bocah sekecil mereka pun memiliki keuletan yang luar biasa, ditambah medan yang naik turun, stamina bocah ini pasti kuat bukan main. Kami mencoba mengabadikan beberapa momen yang kami rasa unik. Senyuman mengembang dibibir mereka.
"Mereka memang terbiasa keluar masuk hutan" kata Kang Mul
Beratnya durian tidak membuat langkah mereka terhenti

                Sepanjang perjalanan kami mengamati beberapa rumah yang kami lewati, semuanya tidak menggunakan  paku untuk merekatkan satu dengan yang lain melainkan diikat, dan pondasi bangunan menggunakan sebuah batu yang digunakan untuk menopang agar tidak menyetuh tanah. Selain untuk menjaga keseimbangan rumah karena kontur tanah yang bergelombang, hal ini juga merupakan salah satu adat dalam pendirian rumah, termasuk cara hadap rumah ke utara-selatan. Beberapa rumah menjual camilan layaknya toko kelontong, mungkin ini efek dari banyaknya wisatawan yang berdatangan ke wilayah mereka. Selain rumah, kami juga mendapati leuit, tempat penyimpanan padi. Bentukannya cukup menyerupai rumah namun dengan ukuran yang lebih kecil. Konon leuit bisa menyimpan padi sampai bertahun-tahun lamanya dan terbebas dari jerat hama seperti tikus. Padi juga tidak boleh dijual, sebagai tanda hormat kepada Dewi Sri, sang dewi alam.
               
 
Diantara rumah-rumah tradisional Baduy
                Pondok teu meunang disambung, nu panjang teu meunang dipotong , begitulah pepatah suku Baduy dalam menjaga harmoni dengan alam. 
                Berbeda dengan kita yang hidup di perkotaan. Dengan segala kemoderanan kita merampas kekayaan alam semena-mena atas dasar keserakahan. Hutan hujan dijadikan lahan sawit beribu-ribu hektar, tambang yang tidak direstorasi, hingga PLTU yang mematikan penyu. Lebih banyak merusak dibanding memelihara.
                Kami kemudian melewati jembatan akar yang menjadi kawasan populer bagi wisatawan. Spot ini terlihat menarik bagi kami, terbuat dari bambu dan akar pohon yang disambung sehingga memberikan kesan unik sekaligus misterius. Kami turun ke tepi sungai Cisemet demi merehatkan sejenak kaki kami yang pegal.
Pose di Jembatan Akar

                Asyik berjalan kami lupa bahwa awan hitam yang semenjak sampai di Ciboleger terus mengikuti kami. Sejurus kemudian hujan deras datang menghambur dari langit. Untungnya kami dapati sebuah saung yang kosong untuk tempat berteduh. Intensitas hujan cukup deras, hingga sekonyonh-konyongnya air menuruni jalan berbukit di hadapan kami dengan cepatnya. Suasana ini kami manfaatkan untuk bertanya banyak hal mengenai Baduy ke Kang Mul.
                Hampir saja malam mulai menutup langit barulah kami tiba di rumah Kang Mul. Setelah tadi cuman melihat dari luar, sekarang kami mulai masuk ke dalam rumah adat. Kami disambut hangat oleh keluarga Kang Mul. Durian hasil panen juga dipersilahkan kepada kami untuk dicicipi. Kami duduk melingkar sembari dijamu makan malam. Jantung pisang mentah juga menjadi sajian yang tidak lupa saya nikmati, meskipun terasa sepat di lidah saya.

                "Nyi Pohaci Sanghyang Asri bagi kami sangat penting sebagai dewi yang menyuburkan tanah-tanah kami" ucap Kang Mul. Orang Baduy juga percaya nabi Adam awal turunnya ke sasaka domas pusat semesta yang sekarang menjadi bagian hutan terlarang. "Hutan terlarang tidak boleh dijamah sembarangan dan hanya bisa dimasuki oleh tetua adat karna merupakan kawasan yang suci". Kang Mul juga bercerita bahwa sejak jaman dulu pemerintah sudah ingin mendirikan sekolah di kawasan Baduy tapi hal itu ditolak mentah-mentah. "Kalau nanti pada sekolah, punya ilmu tinggi, merantau ke tempat jauh dan tidak mau tinggal di Baduy lagi, siapa lagi yang akan melestarikan adat kami?"
                Benar juga. Kalangan terdidik biasanya menjadi egois, menanggap budaya nenek moyang sebagai hal kolot yang tidak berguna. Jarang ada yang membangun kampungnya kembali, terlebih sudah bisa hidup enak dan kerja nyaman. Boro-boro mau kerja di Indonesia, tujuan utama kalau tidak Eropa ya Amerika. Mungkin hal ini lah yang ditakutkan warga Baduy ketika pendidikan masuk ke tempat mereka. Kacang lupa kulitnya.
Mencoba menjadi ala ala Baduy

                Besok paginya kami harus jalan ke tempat keluarga Kang Mul yang berjualan cinderamata khas, ada ikat kepala, gelang , kain tenun, juga madu. Saya dikasih tahu cara memakai ikat kepala ala Baduy. Ikatannya sederhana dan mudah dipelajari, seperti hidup mereka, sederhana dan memberi arti. Mungkin saya harus kembali lagi, memuaskan dahaga akan rasa penasaran akan kehidupan mereka yang bersahaja.
 
Kain tenun khas Baduy

*Tulisan ini pernah dimuat di telusuri.id dengan judul Pelajaran dari Baduy

Rabu, 01 April 2020

Prasasti, Pemancing, dan Pengrajin


Saya banyak menimbang-nimbang dalam keputusan mengambil topik skripsi terutama urusan kedekatan personal dengan objek penelitian. Kedekatan personal ini bisa dari berbagai aspek: jarak tempuh menuju objek yang dekat, berasal dari satu daerah yang sama dengan objek, atau menguasai bidang kelimuan objek tersebut. Dari sekian banyak topik akhirnya muncul keinginan untuk membahas prasasti yang berada di Museum Lambung Mangkurat.  Prasasti tersebut terbuat dari kayu ulin dengan pahatan berupa huruf Jawi atau huruf Arab Melayu dengan bahasa Banjar sebagai bahasa pengantar.

Berdasarkan deskripsi museum, prasasti ini ditulis berdasarkan perintah Sultan Adam mengenai larangan petasan pada bulan puasa. Menurut pemandu museum, prasasti ini belum pernah diteliti secara resmi yang ada hanya pembacaan awal saja. Dengan alasan yang sudah saya kemukakan diawal, saya resmi memilih prasasti ini sebagai objek peneltian saya. 

Prasasti yang ada di Museum Lambung Mangkurat

Mengungkap huruf demi huruf yang ada pada prasasti ini tidaklah mudah, saya dibantu oleh sanak saudara, peneliti di balai bahasa maupun pegawai museum yang menguasai huruf Arab Melayu. Setelah bersusah payah akhirnya terungkaplah bahwa prasasti ini tidak hanya menjelaskan larangan petasan namun ada juga larangan taruhan maupun mencuri. Setelah prasasti ini terbaca utuh, masih ada perkara lainnya yang belum terpecahkan; siapakah yang membuat prasasti ini? Untuk siapa larangan ini ditunjukkan? Dan darimanakah asal prasasti ini?

Untuk menemukan jawaban-jawaban pertanyaan diatas, selain melakukan studi pustaka saya juga melakukan beberapa kunjungan dan wawancara. Salah satunya melakukan kunjungan ke Kabupaten Hulu Sungai Utara. Saya berangkat menuju kabupaten Hulu Sungai Utara tepatnya menuju Alabio. Berdasarkan hasil studi pustaka, kosa-kata yang ada di prasasti ini merujuk ke kosakata Banjar Hulu, lebih tepatnya ke daerah Banua Lima yang sekarang menjadi Kabupaten Hulu Sungai Utara dan sebagian daerah Kabupaten Tabalong.

Saya menumpang di rumah sepupu saya sekaligus mengkoreksi hasil terjemahan saya, maklum mereka adalah orang asli daerah sana sehingga saya harap mereka bisa menjadi sumber sekunder saya. Pengkoreksian malam itu cukup menyita waktu. Sembari berdiskusi saya menikmati hidangan yang disediakan bibi saya: ikan papuyu (betok) goreng dengan cacapan. Makanan khas Banjar ini berhasil memicu diskusi menjadi lebih intens diselingi candaan ala Alabio yang terkenal seantero Kalsel.

Mesjid Jami Pandulangan, salah satu mesjid tua yang ada di kabupaten HSU

Setelah mendapatkan masukan mengenai pembacaan prasasti, besoknya saya diajak oleh sepupu saya untuk menikmati keindahan Danau Panggang sekaligus memancing disana. Danau Panggang merupakan sebuah  nama kecamatan yang terletak di Kabupten Hulu Sungai Utara. Daerah ini 65% bagiannya terdiri dari rawa-rawa dan sungai. Rumah-rumah penduduk berdiri rapi diatas sungai dan rawa, terpisah dari jalan aspal dan dihubungkan oleh titian-titian kayu antar rumah.

Mata pencaharian penduduk kebanyakan adalah penangkap ikan. ikan hasil tangkapan menjadi ladang ekonomi bagi masyarakat, sebagian diolah menjadi ikan asin ataupun dijual dalam keadaan segar. Selain itu sebagian masyarakat membuat tambak ikan dipinggir sungai. Pentingnya sungai berarti juga mengikat pada pentingnya transportasi air. Hampir semua rumah mempunyai perahu; baik perahu kecil atau yang biasa disebut perahu cas ataupun perahu besar yang disebut kelotok

Sepat asin yang menjadi komoditas di Danau Panggang

Sebelum berangkat ke Danau Bitin, saya singgah ke rumah salah seorang keluarga yang berprofesi sebagai pencari ikan. Sembari menunggu persiapan memancing, saya ngobrol dengan seorang kakek yang tampaknya sudah sangat sepuh. Dari informasi yang saya peroleh, kampung ini sudah lama berdiri, bahkan jauh sebelum Kerajaan Banjar berdiri.

"Di kampung ini bahkan tidak ada perantau dari daerah lain, mungkin mereka tidak mau tinggal diatas sungai dan rawa" kata sang kakek.

 Berbanding lurus dengan pernyataan sang kakek, menurut Hikayat Banjar, daerah Danau Panggang dulunya merupakan pusat Kerajaan Kuripan berdiri, sezaman dengan Kerajaan Kutai Martadipura. Setelah persiapan telah lengkap, saya berpamitan dengan si kakek dan memulai perjalanan menyusuri Danau Bitin. Kami berangkat bertiga bersama Paman Usup dan temannya. Sayangnya, sepupu saya memilih untuk batal ikut serta karna suatu hal. 

Mancing ditengah danau yang panas!

Danau Bitin tidak seperti danau pada umumnya, danau ini terlihat lebih mirip dengan sungai bercampur rawa yang luas. Menyusuri danau, terdapat beberapa perkampungan yang berdiri diatas air tanpa jalan raya sama sekali, bahkan tiang listrik ikut menancap diatas air. Toko kelontong buka melayani pembeli yang berbelanja dari atas perahu. Hilir mudik perahu memecah kesunyian danau dan menimbulkan gelombang air. Perahu yang kami naiki sangat kecil sehingga gelombang terasa sangat mengombang-ambingkan perahu. Selama di perahu, kita tidak boleh banyak bergerak yang tidak perlu, dan jangan panik ketika ada gelombang air datang.

Salah satu sudut Danau Panggang

Berbeda dengan memancing di daratan yang selalu ada tempat untuk bernaung, memancing di tengah danau harus tahan siksaan panas matahari yang siang itu bersinar tanpa dihalangi awan. Kesabaran mutlak dibutuhkan dalam memancing. Biasanya para pemancing meluangkan waktu hampir 12 jam di perahu apabila hasil tangkapan kurang memadai. Beberapa kali juga kami harus pindah spot karena kurangnya hasil tangkapan. Tidak ada umpan khusus yang digunakan, hanya remah remah roti di rumah yang kemudian dikeraskan. Ikan yang kami dapat kali ini kebanyakan berupa ikan Patin Sungai yang lemaknya lebih sedikit daripada Patin Tambak.


Sore sudah mulai tiba namun hasil tangkapan terlalu sedikit untuk dibawa pulang. Akhirnya Paman Usup memutuskan untuk tinggal lebih lama dan saya dititipkan naik perahu kenalan yang kebetulan habis pulang dari hilir. Hari itu ditutup sunset yang sangat indah di danau, dengan latar belakang  perkampungan diatas air.

Asa manusia terus memungkinkan untuk bertahan ditengah kondisi alam yang tidak memungkinkan hingga akhirnya muncul sebuah kebudayaan baru. Rawa dan sungai menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kebudayaan masyarakat Banjar terutama dalam menyambung hidup. Banyaknya produk budaya seperti alat-alat menangkap ikan tradisional memperlihatkan ikatan yang kuat antara orang Banjar dengan sungai dan rawa. Begitupun sebagai sarana transportasi, berbagai macam jenis perahu diciptakan untuk berlayar dari hulu ke hilir.

Seminggu setelahnya saya berkunjung lagi ke Alabio, juga ditemani sepupu saya. Tujuan kali ini adalah mendapatkan data tentang bambu di daerah sini dan cara pengolahannya dengan melihat langsung ke tempat kerajinan alat menangkap ikan dari bambu. Bambu menjadi esensial dalam penelitian ini karena disebutkan dalam prasasti bahwa dilarang mencuri berbagai jenis bambu seperti Batung, Buluh, dan Paring. Kemungkinan bambu-bambu itu ditulis karena berkaitan dengan tempat yang diatur oleh prasasti tersebut terdapat banyak bambu.

Tidak jauh dari rumah sepupu saya, hanya berjalan kaki sekitar 5 menit maka sampailah kami di depan rumah sang pengrajin, Amir Husin . Amir dan bapaknya adalah pengrajin alat-alat menangkap ikan yang diteruskan secara turun temurun. Amir, yang usianya tidak terpaut jauh denganku menjelaskan secara rinci jenis-jenis bambu yang digunakan, cara pengolahannya, termasuk juga hasil kerajinannya. 

Ada beberapa alat seperti lukah, sarakap, tangguk, tantaran, dan lainnya yang bahannya terbuat dari bambu. Bambu yang digunakan juga terdiri dari beberapa jenis semisal batung, buluh, paring, dan lainnya. Hal ini tentu menjadi informasi yang berharga untuk pengerjaan penelitian bahwa kawasan sentral pengrajin alat-alat penangkap ikan semenjak dahulu ada di Hulu Sungai karena tersedianya bahan baku.

 
Sarakap
Tangguk

Keesokan harinya, saya kembali melakukan pengambilan data lagi kepada para pedagang perkakas menangkap ikan di sekitar pasar Alabio. Beberapa dari mereka yang saya wawancarai sudah berusia sepuh. Mereka sangat antusias ketika saya mulai menanyakan beberapa pertanyaan. Mereka mengaku menyambung hidup dari hasil berjualan kerajinan ini dari turun-temurun, usaha yang lanjutkan dari generasi ke generasi. Sedangkan untuk hasil kerajinan kebanyakan didatangkan dari daerah Sungai Limas. Hasil kerajinan di Sungai Limas tidak terbatas pada alat penangkap ikan, tetapi juga perkakas rumah tangga seperti wadah, kursi, dan tikar.

Salah satu hal yang paling dirasakan para pengrajin dan pedagang sekarang adalah bahan baku sudah semakin sulit dicari mengakibatkan harga barang menjadi naik.

 "Mencari bambu sekarang sulit sekali rasanya, habitat aslinya tergerus sehingga sebagian harus didatangkan dari Kalimantan Tengah, makanya harganya jadi naik" ucap Haji Bahrun, salah satu narasumber seraya membenarkan pecinya. "Misalnya paikat yang lebih banyak tumbuh di daerah Barito, langsung datangkan dari sana. Selebihnya bambu yang lain ya dari daerah sini, tapi memang jumlahnya sudah tidak banyak".

 "Sekarang pun banyak yang mencari ikan dengan cara yang tidak bertanggung jawab seperti menyetrum yang mengakibatkan matinya benih-benih ikan dan mematikan usaha mencari ikan tradisional". tambahnya lagi

Curhatan ini seakan membukakan mataku betapa hubungan manusia dengan alam sudah tidak sehat. Menangkap ikan dengan setrum justru mematikan benih benih ikan serta biota rawa lainnya. Pihak berwajib tentunya sudah menangani hal ini tapi tetap saja pencari ikan yang bandel akan tetap melakukannya lagi dan lagi. Perlu regulasi yang tidak main-main untuk penyetrum ikan ataupun pengguna racun ikan agar sekiranya jera untuk mengulangi perbuatannya. 


Bersama para pedagang kerajinan di Pasar Alabio 


Setelah selesai mengumpulkan data di daerah Hulu Sungai Utara, ternyata masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang belum berhasil terjawab. Selanjutnya saya akan menyusuri ke Tamban, daerah asal prasasti diketemukan,yang berjarak sejauh 187 km dari Hulu Sungai Utara. Untuk menyatukan fragmen-fragmen yang terpisah menjadi satu kesatuan cerita utuh, saya harus mencari tahu langsung kesana.

*Tulisan ini pernah dimuat di telusuri.id