Senin, 10 Agustus 2020

Prasasti Tamban: Kajian Epigrafi

 

 

Abstrak

     Prasasti Tamban dari Banjar merupakan sebuah prasasti kayu ulin yang beraksara Jawi dan berbahasa Banjar. Tahapan penelitan yang digunakan adalah tahap heuristik, tahap kritik teks, tahap interprestasi, dan tahap historiografi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui isi serta analisis isi dari prasasti Tamban, serta melihat kedudukan prasasti ini dalam sejarah Kerajaan Banjar. Hasil penelitian menunjukan bahwa prasasti Tamban ini berisi aturan regional yang berbentuk larangan yang ditulis oleh tetuha kampung atas dasar perintah Sultan Adam. Larangan-larangan tersebut diantaranya adalah memainkan meriam bambu, taruhan, serta mencuri bambu-bambu yang sudah ditebang. Kedudukan prasasti ini dalam sejarah Kerajaan Banjar adalah sebagai peraturan yang bersifat regional yang berlaku di daerah tertentu dan hanya dituliskan oleh tetuha kampung berdasarkan Undang-Undang Sultan Adam.

      Kata Kunci: Analisis, Banjar, Epigrafi, Prasasti

     

Abtract

      Tamban inscription from Banjar is an ironwood inscription with Jawi script and Banjar language. The research stages used are the heuristic stage, the stage of textual criticism, the stage of interpretation, and the stage of historiography. The purpose of this study was to determine the contents and analysis of the contents of the Tamban inscription, and see the position of this inscription in the history of the Banjar Kingdom. The results showed that the Tamban inscription contained regional rules in the form of a ban written by the village head on the orders of Sultan Adam. These prohibitions include playing bamboo cannon, betting, and stealing bamboo that has been cut down. The position of this inscription in the history of the Banjar Kingdom is as a regional regulation that applies in certain regions and is only written by the village head based on the Law of Sultan Adam.

 

      Key words:Analysis, Banjar, Ephigraphy , Inscription

download here

Menjadi Titik (2020)

 

Menjadi Titik

derita titik pada satu kalimat

hanya pelengkap untaian

tanpa ia kalimat akan baik-baik saja

meski terlihat acuh

.

lain waktu, titik menjadi pertanda

bagi nelayan mencari arah pulang

dari rimbaian selongsong kenangan

.

semesta hanya berisi titik titik

yang kemudian diisi dengan benar

 

Persimpangan Jalan

Rasa-rasanya dulu

dipersimpangann  jalan kita bertemu

Bersamping-sampingan tapi tetap terus jalan

 sampai kita berada di jalan yang lurus

Aku kira itulah penghujung jalan

yang berikut orang suci khutbahkan

Kita ternyata salah menyangka

Jalan yang lurus

hanya gang buntu di tengah cuap-cuap kota yang

sakit kena korona

 

Membaca

Sebenar-benarnya membaca

adalah membaca kesalahan diri sendiri

 

Kita Begitu

Begitulah kita

Menua

Menjadi Debu

Tanpa bisa bersatu

Kamis, 02 Juli 2020

Menyelami masa melewati batas: Jelajah Pulau Kelor, Cipir, dan Onrust


Gugusan pulau-pulau kecil yang menyebar di utara Jakarta dinamakan Kepulauan Seribu meskipun tentu saja jumlahnya tidaklah sampai seribu pulau. Kepulauan Seribu menjadi tujuan wisata utama terutama bagi penduduk ibukota Jakarta untuk menikmati deru air laut ataupun sekedar sunset di pantai. Secara administratif, Kepulauan Seribu sudah menjadi kabupaten sendiri (sebelumnya wilayah ini menjadi salah satu kecamatan di Kota Jakarta Utara).


Kepulauan seribu dari Google Maps

Saya berkesempatan mengunjungi Pulau Onrust, Cipir, dan juga Kelor untuk menuntaskan rasa penasaran mengenai tinggalan arkeologis yang terdapat di pulau-pulau tersebut. Sebagai mahasiswa baru arkeologi, rasa ingin tahu saya mengenai tinggalan kolonial sangat tinggi, terlebih di kota asal saya tidak banyak tinggalan kolonial yang tersisa. Kami berkumpul bersama di Kota Tua Jakarta untuk memudahkan mobilisasi rombongan yang kurang lebih berjumlah 10 orang. Kami berangkat menuju Pelabuhan Muara Kamal, titik start perjalanan kami kali ini. Memasuki dermaga tampak TPI hiruk pikuk dengan penjual dan pembeli yang berjejal. Air disekitar dermaga sangat hitam dan bau, pertanda air laut disini telah tercemar berat. Kapal berbaris hilir mudik  di dermaga, sebagian mengangkut hasil laut, sebagian lagi mengangkut penumpang dan barang.
Penangkaran kerang hijau yang kami lihat sepanjang perjalanan 

Kapal motor yang kami tumpangi mulai berjalan pelan meninggalkan dermaga. Kanan kiri kami mulai terlihat keramba bambu yang digunakan untuk membudidaya kerang hijau. Berdasarkan penelitian, kerang hijau di Teluk Jakarta sudah banyak tercemar logam berat dan berbahaya jika dikonsumsi manusia. Bagaimanapun, rasanya sulit untuk menghentikan konsumsi kerang hijau dari Teluk Jakarta yang masih menjadi komoditas di warteg-warteg Jabodetabek. Pulau-pulau reklamasi juga turut menghiasi perjalanan kali ini. Meski sudah banyak mendapatkan protes, pembangunan terus dilanjutkan . Lagi-lagi alasan ketersediaan lahan menjadi pemicu pemerintah kekeh dengan reklamasi.
Reklamasi yang mulai terlihat

40 menit berlalu, sampailah kami ke Pulau Kelor. Dibanding dua pulau lainnya yang akan kami kunjungi, pulau ini adalah yang terkecil. Meskipun terkecil, pulau ini punya ikon yang tidak dimiliki oleh pulau-pulau lainnya yaitu Benteng Martello yang masih kokoh berdiri. Bata merah benteng ini terlihat mencolok dengan latar laut dan langit biru. Berbentuk bundar dengan tinggi 9 meter dan diameter 14 meter, benteng ini sudah mengalami banyak kerusakan  meskipun bentuk aslinya masih terlihat utuh . Berdiri semenjak 1850, sebagai gerbang utama Batavia melalui jalur laut benteng ini difungsikan sebagai menara pengintai dan benteng pertahanan. Julukan lainnya pulau ini adalah Pulau Kuburan. Konon di pulau ini banyak terdapat kuburan-kuburan pribumi maupun orang-orang Belanda sekitaran Onrust yang nisannya sudah tidak terlihat lagi. Saya menemukan beberapa potongan tulang rahang binatang tercampur bersama terumbu karang yang mati.
Sisa Benteng Matello yang ada di Pulau Kelor

Puas melihat sekeliling, kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Cipir. Pasir putih menyambut kaki kami yang basah sehabis turun dari kapal. Terik matahari membuat kulit kami tebakar, beruntung Pulau ini cukup rindang untuk menaungi kami. Tidak jauh dari bibir pantai, sisa-sisa bangunan terbengkalai menjadi pemandangan menyeramkan sekaligus penuh sejarah. Bangunan ini dahulunya difungsikan sebagai rumah sakit karantina para jemaah haji pada masa pemerintahan Kolonial. Lorong demi lorong rusak saya masuki, warna bangunan yang memudar seakan bercerita kisah sedih jamaah haji yang seakan menjadi tahanan. Pemerintah Kolonial nampak khawatir dengan ide-ide perjuangan yang mereka dapatkan selama di tanah suci. Selepas mengelilingi puing-puing, kami duduk sejenak di pinggir pantai meregangkan kaki yang sudah lama berjalan.
 Rumah sakit haji yang sekarang tinggal puing
Pantai Cipir yang panas sekali

Matahari sudah tidak lagi diatas kepala, perjalanan selanjutnya adalah menuju Pulau Onrust. Onrust yang berarti unrest dalam bahasa inggris karena saking banyaknya kapal yang masuk ke galangan kapal di Onrust. Ditarik kebelakang, sejarah kepulauan seribu pada umumnya adalah tempat peristirahatan raja-raja Banten, namun karena sengketa dengan Jayakarta, Jayakarta mengizinkan VOC untuk mendirikan galangan kapal disana. Lambat laun VOC mulai menjadikan Onrust koloni dan mulai membangun benteng kecil pada 1656. Bahkan Sir James Cook pernah singgah ke Onrust untuk memperbaiki kapal dan mengisi perbekalan sebelum sampai di Australia. Setelah sempat diduduki Inggris pada periode 1810-1816, pembangunan Pulau Onrust dilanjutkan lagi oleh pemerintah Kolonial dan 1911 beralih fungsi menjadi tempat karantina haji. Tahun 1972, SK penetapan Pulau Onrust sebagai pulau bersejarah diterbitkan oleh gubernur DKI Ali Sadikin.
Benteng di Pulau Onrust memang sudah tidak bersisa, tetapi sebuah rumah yang masih tersisa disana kini dijadikan museum. Museum yang menjelaskan Pulau Onrut dari zaman VOC yang dijadikan galangan, sempat menjadi karantina haji  hingga akhirnya dijadikan penjara bagi tahanan politik pada zaman Jepang. Unsur mistis menjadi kental di pulau ini sebab kuburan-kuburan era kolonial masih utuh, yang paling terkenal dari mereka ialah Maria van de Velde yang konon masih bergentayangan di pulau ini. Selain itu ada sebuah dua buah makam keramat lainnya yang salah satunya dipercaya makam dari pemimpin DI/TII Kartosoewirjo.
Rumah peninggalan Belanda yang sekarang menjadi Museum Onrust
Inskripsi nisan Maria van de Velde

Sehabis selesai menyelesaikan tur hari ini, beberapa rombongan kami pamit untuk pulang. Kami mengantarkan mereka sampai dermaga Onrust. Tersisa kami bertiga bersama seorang senior kami yang juga sebagai kepala rombongan. Kami memang mau melanjutkan hari di Pulau Onrust sebelum pulang besok pagi.

Para pemancing yang sedari siang duduk menunggu ikan disambar menjadi teman ngobrol kami di sore hari. Sore itu langit tak ditutupi awan sehingga matahari bersinar kuning nampak terang berkilau. Saya menyingkir dari mereka bertiga , kembali mengunjungi makam Maria van de Velde. Meskipun rimbunan pohon beringin membuat suasana menjadi menyeramkan. Entahlah, aku merasakan aura kesunyian seorang wanita dengan penantiannya yang tidak berujung. Saya merasa iba.
Pemancing yng menjadi teman ngobrol kami di sore hari

Malam ini kami habiskan waktu bercengkrama di pinggir pantai. Dari seberang, cahaya lampu apartemen gemerlap menemani obrolan kami. Kami mengobrolkan banyak hal; tentang studi kami yang baru saja di masa awal, tentang tinggalan arkeologi seputaran Kepulauan Seribu, hingga cerita mistis pulau ini. Tidak ada api unggun, tidak ada perayaan. Selepas ngalor ngidul, kami menuju tenda dan beranjak tidur diantara sisa bangunan dan teluk Jakarta.


*Tulisan ini pernah dimuat di telusuri.id