Taman Nasional Bali Barat merupakan sebuah taman nasional yang
terletak di bagian barat Pulau Bali. Taman nasional ini merupakan habitat
terakhir Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) yang populasinya merosot drastis
karena perburuan ilegal. Memiliki luas sebesar 19.002,89 ha ini merupakan
satu-satunya taman nasional yang ada di bali. Ini merupakan tujuan utama kami
di Bali, karena jaraknya yang sangat dekat dengan Pelabuhan Gilimanuk.
Setelah dari Baluran, untuk menghemat, kami memutuskan jalan kaki ke
pelabuhan. Tak berapa lama jalan kaki, kami diberikan tumpangan lagi oleh salah
satu penjaga Baluran. Bahkan kami juga diberikan uang saku oleh si penjaga,
katanya dia teringat anaknya yang juga suka berkelana. Tentunya kami sangat
senang dapat tambahan uang saku. Setelah sampai dan berpamitan, kami langsung
masuk ke dalam pelabuhan.
Biaya dari Ketapang-Gilimanuk sangat murah, hanya Rp. 6.500 per
orang. Sesampainya di Gilimanuk, kami menginap di musola pelabuhan. Paginya
barulah kami menjelajahi sekitaran pelabuhan sembari sarapan. TNBB terletak
tidak jauh dari pelabuhan Gilimanuk, hanya sekitaran 3 Km. Pemandangan yang
disajikan di Bali sangat berbeda dengan daerah lain yang aku kunjungi. Pura-pura
terlihat di kiri dan kanan, menjulang anggun. Patung Dewa Siwa seakan
mempersilahkan kami untuk menikmati panorama Bali. Untuk kesan pertama kali
menginjak Bali, aku merasa tertegun, suasana Bali seakan kembali mengajakku ke
abad-13 pada saat Majapahit dan Agama Hindu dominan dalam kehidupan masyarakat
Jawa. I'm really excited to see their culture!
Pantai Bali Barat yang sunyi |
Kami sempat singgah di kantor pusat TNBB untuk menanyakan
informasi sekaligus melihat penangkaran Jalak Bali. Pintu masuk TNBB ternyata
terletak agak jauh dari jalan raya, masuk lagi ke dalam perkampungan sekitar 2
Km. Kami yang merencanakan menginap di Pantai Bali Barat harus gigit jari,
karena menurut pengurus TNBB, untuk melakukan kegiatan yang mengharuskan
menginap harus ada surat izin. Akhirnya kami berencana hanya sehari di sini.
Pariwisata yang tersedia di kawasan TNBB ada banyak seperti Pura Pulaki, Pulau Menjangan, Pura Bakungan, dll. Kami memasuki TNBB dengan berjalan kaki, di tengah jalan kami ditawari tumpangan oleh supir angkot yang mau menjemput para peneliti. Kawasan TNBB, sama seperti TN Baluran, banyak terdapat monyet-monyet berekor panjang. Kicau burung yang tidak bisa kami lihat menemani sepanjang perjalanan menuju pantai. Tujuan-tujuan lainnya mungkin akan kami kunjungi dilain waktu, setidaknya setelah mendapat pemberitahuan bahwa tidak boleh ngecamp di pantai, alhasil kami hanya berniat mengunjungi pantainya.
Pariwisata yang tersedia di kawasan TNBB ada banyak seperti Pura Pulaki, Pulau Menjangan, Pura Bakungan, dll. Kami memasuki TNBB dengan berjalan kaki, di tengah jalan kami ditawari tumpangan oleh supir angkot yang mau menjemput para peneliti. Kawasan TNBB, sama seperti TN Baluran, banyak terdapat monyet-monyet berekor panjang. Kicau burung yang tidak bisa kami lihat menemani sepanjang perjalanan menuju pantai. Tujuan-tujuan lainnya mungkin akan kami kunjungi dilain waktu, setidaknya setelah mendapat pemberitahuan bahwa tidak boleh ngecamp di pantai, alhasil kami hanya berniat mengunjungi pantainya.
Gunung Raung dari kejauhan |
Sesampainya di pantai kami menemukan babi hutan yang sedang
menikmati timbunan sampah. Agak menyeramkan melihat babi hutan yang menatap
tajam ke kami, tetapi seekor monyet yang bermain-main membuat marah sang babi
hutan. Melihat Gunung Ijen di kejauhan membuat latar pantai ini sangat
indah. Pulau Jawa dan Bali terlihat sangat dekat disini. Ojan seakan tidak mau
keduluan untuk berfoto ria. Meskipun terik, kami melepas baju untuk berburu
ikan teri yang mengerumuni kaki kami. Halusnya pasir pantai melenakan kami
untuk berjemur seperti bule-bule, alhasil kulit kami menjadi gosong. Airnya
sangat biru. Pantainya sangat sepi, sampah-sampah yang berasal dari laut banyak
ditemukan di sepanjang pantai. Hal ini mengecewakan tentunya melihat alam yang
indah harus dikotori oleh sampah-sampah plastik yang tentunya sangat mencemari. Pantai yang sunyi memang berasa pantai pribadi, mengingat
sepanjang garis pantai ini hanya kami manusianya Setelah puas bermain air, kami
menuju pondokan yang ada di pinggir pantai. Kami terlelap diiringi deru ombak
serta sepoi-sepoi angin. Betapa nikmatnya hidup ini!
Sembari tiduran akupun merenung meresapi apa saja yang telah aku
jalani selama 22 tahun. Ternyata hidupku memang kurang bersyukur. Apa-apa yang
telah aku dapatkan selama ini mungkin belum tentu bisa dinikmati orang lain.
Mungkin dalam hidupku, saatnya untuk lebih banyak melihat ke bawah sebagai
refleksi. Aku juga merenungi makna perjalanan yang seringkali aku jalani.
Foto-foto yang bagus bolehlah sebagai kenang-kenagan, namun inti dari
perjalanan juga aku harus resapi, setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang
adalah guru.
Panas terik mulai berganti naung.
Saatnya terbangun dari mimpi. Dalam keadaan setengah sadar karena masih
ngantuk, aku membangunkan Ojan dan Jordi. "Ah bentar lagi, kapan lagi
tiduran di sini" kata Jordi. Memang benar kata Jordi, perjalanan ini harus
dinikmati meskipun kami tidak jadi camping disini, bagi Jordi, tidur siang di
sini merupakan berkah tersendiri. Jauh dari kebisingan, benar-benar sunyi. Kata
Jordi, kami merupakan makhluk yang terberkati. Semoga benar katamu Jor, kita
diberkati untuk berjalan di lain waktu.
Sambil pulang berjalan kaki menuju ke jalan besar, ternyata
seram juga ya berada diantara hutan dan perkampungan penduduk. Hari yang mulai
senja ditambah lolongan anjing yang mengikuti kami menambah suasana menjadi
seram. Untungnya kami bertiga, seengaknya bisa saling bahu-membahu jikalau ada
kesulitan. Melintasi perkebunan, kami dikejutkan dengan lolongan anjing yang
semakin dekat. Sumber cahaya terlihat dikejauhan, agak remang, tapi setidaknya
menenangkan kami yang panik ditengah perkebunan.
Sesampainya jalan besar pun, kami masih kesulitan menemukan
tebengan untuk ke pertigaan menunggu bus. Setidaknya perlu waktu setengah jam
barulah ketemu orang yang melintas. Kami menumpang pick up dan turun di
pertigaan menunggu bus malam menuju Denpasar. Bus malam yang kami tumpangi
hanya bisa mengantarkan sampai Terminal Mengwi, yang jaraknya masih jauh ke
Denpasar. Walhasil, kami harus menunggu pagi untuk melanjutkan perjalanan ke
Denpasar. Selama di Denpasar, kami hanya menjelajahi Pantai Kuta dan sekitarnya
dikarenkan keterbatasan biaya. Akhirnya kami harus melanjutkan perjalanan hanya
berdua setelah Ojan memutuskan untuk kembali ke rumahnya di Kebumen.
Nyantai dulu di Pantai Kuta |
Lagi-lagi biaya
perjalanan kami siasati dengan berjalan kaki menuju Pelabuhan Padang Bai. Benar,
jalan kaki dengan jarak tempuh 42,4 km. Sekitar 15 km kami habiskan untuk
berjalan kaki. Untuk mempersingkat waktu kami menggunakan Google Maps untuk
menuju ke jalan Pelabuhan Padang Bai, eh nyatanya kami dibawa berliku melewati
perkampungan penduduk. Disitu kami juga beberapa kali dikepung oleh anjing dan
ditanya sama warga kampung. Mungkin aneh keliatannya kali ya masuk kampung yang
bukan daerah wisata membaw tas keril segede gaban. Kami dua kali menumpang
mobil untuk mempersingkat waktu dan akhirnya sampai menuju Pelabuhan. Let's
heading to Lombok then!
0 komentar:
Posting Komentar