Sabtu, 23 Desember 2017

Pesona Dewi Anjani di Kepulauan Sunda Kecil (Part 3 of Backpackeran Baluran-Lombok)

    Sewaktu di dalam pesawat, aku pernah membaca artikel yang diterbitkan oleh majalah salah satu maskapai penerbangan di Indonesia tentang eloknya Rinjani, salah satu gunung tertinggi di Indonesia. Saat itu terbesit dalam benakku untuk mengunjunginya nanti. Bertahun-tahun setelah kejadian tersebut, akhirnya pada tanggal 2 Agustus 2017 aku diberi kesempatan untuk menginjakkan kaki di Gunung Rinjani. Rinjani, yang berasal dari kata Anjani, nama seorang dewi, sudah menjadi langganan baik bagi turis lokal maupun interlokal sebagai destinasi jika mengunjungi Pulau Lombok. Terletak di tiga kabupaten yaitu Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat serta memiliki tiga jalur resmi pendakian yaitu Sembalun, Senaru, serta Torean.
    Sesampainya di Lombok dari Padang Bai, kami istirahat selama dua hari di kostan seorang teman yang berbaik hati menawarkan tumpangan meski dia sendiri sedang tidak berada di Lombok. Melanjutkan perjalanan ke Rinjani bukanlah hal yang mudah, kita dilema akan dua hal; kalau kita jalan kaki kemungkinan lama baru sampai, kalau kita naik angkutan duit kita berkurang drastis. Setelah membandingkan baik dan buruknya,  kami memutuskan untuk berjalan kaki. Eh nasib memang mujur, kami bertemu seorang ibu bernama Bu Yulita yang berbaik hati memberikan kami tumpangan menuju Aikmel. Tidak kusangka Bu Yulita ini jualah yang akhirnya menjadi juru selamat kami selama di Lombok. Sepanjang perjalanan, Bu Yulita cerita tentang masa mudanya yang juga suka berkelana, karena melihat kami berdualah, si ibu seakan-akan melihat dirinya yang lain di waktu yang berbeda. Bu Yulita mengajak kami makan sebelum diturunkan di Aikmel. Kami berterima kasih dengan segala kebaikan Bu Yulita. Di Aikmel, kami harus menawar harga sebelum ikut mobil bak. Cukup alot memang tawar menawar karena kami tidak mau harga yang terlalu mahal. Kami sepakat diharga 20.000 per orang.
Pintu Gerbang Pendakian via Sembalun
    Kami melakukan pendakian melalui jalur Sembalun. Jalur Sembalun kami pilih berdasarkan letak yang cukup dekat dari Mataram dan juga katanya memiliki pemandangan terindah dibanding jalur lainnya. Pukul tiga siang kami start dari basecamp Sembalun menuju pos 1. Kami menyusuri setapak demi setapak jalan aspal hingga memasuki jalan setapak yang mengarah ke kaki Rinjani. Keindahan Rinjani dapat dirasakan dari awal pendakian. Padang savana seolah mendadah kami yang takjub akan keindahannya. Dikarenakan banyaknya jalur sapi, kami kehilangan arah hingga akhirnya terpaksa menginap di kaki gunungnya.
    
    Besoknya, 3 Agustus 2017, kami melanjutkan perjalanan ke pos 1 yang tertunda. Sayangnya, Jordi memutuskan untuk kembali ke Mataram karena dia merasa tidak cukup kuat untuk melakukan pendakian kali ini. Meski kucoba meyakinkan Jordi, dia tetap pada keputusanya untuk tida mendaki Rinjani. Setelah mengantarkan Jordi kembali ke basecamp, aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sendiri. Perjalanan sendiri memang akan terasa lebih cepat tetapi juga terasa sepi. 
    Aku berhasil mencapai pos 1 dalam waktu yang relatif singkat, sekitar dua jam saja. Perjalanan ke pos 1 lebih didominasi padang-padang savana, sesekali bukit-bukit kecil. Kalau kalian kehausan saat mendaki, ada beberapa penduduk sekitar yang berjualan minuman dingin. Harganya semakin keatas semakin mencekik kantong hehehe. Aku hanya beristirahat lima menit untuk tetap bisa sampai Plawangan Sembalun sebelum malam. Perjalanan dari pos 1 ke pos 2 pun relatif sama, didominasi perbukitan dan sesekali tanah datar.
Plang Pos II Sembalun
    Pada pos 3 inilah kesabaran kita diuji. Kita harus melalui tujuh bukit penyesalan sebelum bisa mencapai Plawangan Sembalun. Sesuai namanya, tujuh bukit penyesalan ini bakal menyiksa dengkul para pendaki. Aku pun dibuatnya meringis karena bukit-bukit ini seakan tidak ada habisnya. Cuaca diatas pun cukup mendung, membuatku khawatir kalau-kalau hujan datang mengguyur. Sebenarnya di pos berapapun kita bisa mendirikan tenda, tapi aku ingin lebih cepat sampai di Plawangan Sembalun, biar bisa berlama-lama di puncak hehehe. Setiap perjalananku tak ketinggalan ritual merenung. Entahlah kenapa aku mulai membiasakan diri setiap perjalanan melakukan perenungan, mungkin ini caraku berkomunikasi dengan sang pencipta.

    Tepat pukul tujuh aku sampai di Plawangan Sembalun. Tempat tersebut penuh sesak akan para pendaki yang didominasi oleh pendaki dari luar negeri. Kebanyakan pendaki dari luar negeri menyewa porter untuk membawakan alat-alat serta memasak untuk mereka. Setelah mencari tempat yang kosong, aku pun mendirikan tenda. Malam itu aku pun memakan bekal seadanya untuk mempersiapkan tenaga untuk summit attack.
Bangun Pagi dengan View Danau? Hanya di plawangan Sembalun!

    Alarm berbunyi pukul tiga pagi. Aku yang masih mengantuk berusaha mencoba bangun. Ternyata udara dingin mampu melenakanku untuk tetap berada di tenda sampai matahari terbit. Aku menikmati matahari terbit di ketinggian 2639 mdpl. Baru naik ke puncak sekitar pukul tujuh pagi, disaat orang-orang sudah mulai turun kembali. Aku menjadi orang yang terakhir naik ke puncak hari itu. Jalur menuju puncak Rinjani adalah trek berpasir, yang membuatku melangkah lebih lambat. Pemandangan sekeliling sangatlah indah, terutama Danau Segara Anak. Aku bertemu dua orang asal Surabaya yang akhirnya menjadi teman seperjalanan.
Puncak Rinjani
Sisa kita doang yang di puncak :')

    Setelah kembali turun ke Plawangan Sembalun dan beristirahat aku pun melanjutkan perjalanan menuju Danau Segara Anak. Awalnya aku dan dua orang Surabaya berencana menuju danau bersama-sama tetapi karena mereka tidak menemukan tendaku di Plawangan Sembalun akhirnya mereka turun lebih dahulu. Kami kembali bertemu di perjalanan menuju Segara Anak bersama anak-anak dari Bogor juga. Ah, memang perjalanan takkan pernah benar-benar sendiri, selalu menemukan teman seperjalanan :) Kehidupan di gunung rasanya nikmat sekali, sekat pembeda agama-ras-suku itu rasanya melebur bersama keindahan ciptaanNya. Kita sering kali menanyakan asal, bukan untuk berteman tapi untuk memperolok, entah karena warna kulit yang berbeda ataupun dari budaya yang berbeda. Tidak, di gunung tidak seperti itu. Budaya ngopi bareng dan kedinginan bareng, tidak memandang asal kamu darimana dan kamu anak siapa. Kita tidak peduli. As long as you want to sit with us.
Danau Segara Anak
Makan Sini Makan!
Segara Anak Menjelang Malam
    Kami benar-benar menikmati Segara Anak. Memancing ikan Mujair, berenang, memasak bersama, hingga bercerita menjadi agenda kami hari itu. Rasanya ingin tinggal di situ selamanya. Semua cerita pasti ada akhir, begitu pula perjalanan kami. Kami memutuskan untuk pulang melalui jalur Senaru. Jalur Senaru sebenarnya sama lelahnya dengan Sembalun tetapi jalur ini di dominasi oleh hutan pegunungan yang akan lebih teduh saat didaki. Kami akhirnya menginap di pintu masuk Senaru dan harus berpisah keesokan paginya.
Kami Akhirnya Berpisah disini

    Perjalanan kali ini merupakan pendakian terjauh serta terpanjang yang pernah kujalani, selama lima hari. Banyak sekali pengalaman serta pelajaran hidup yang didapat. Salah satunya adalah untuk tetap melanjutkan perjalanan meski kau harus sendiri menempuhnya. Selamanya, selama kita penuh keyakinan dan asa untuk berjalan, tuhan selalu mengirimkan orang-orang yang akan menemani sepanjang perjalanan, entah untuk sementara ataupun selamanya. Terima kasih Rinjani! Semoga bisa mendakimu lagi kapan-kapan.

1 komentar: