Bersentuhan
dengan suku-suku yang mengasingkan diri dari kehidupan modern adalah pertama
kalinya saya lakukan saat mengunjungi Baduy. Urang Baduy atau Urang Kanekes
menghuni sekitar kawasan Pegunungan Kendeng, sejauh 40 km dari kota
Rangkasbitung. Suasana dingin pegunungan ditambah kicauan burung menjadi ucapan
selamat datang begitu menginjakkan kaki disana. Suku Baduy ini dibagi menjadi
dua bagian ada Baduy Luar dan Baduy Dalam. Baduy Luar terlihat lebih santai
dalam memegang adat mereka, meskipun itu tidak berarti mereka meninggalkannya. Ciri
yang terlihat lainnya adalah dari ikat kepala berwarna biru yang disandang oleh
para Baduy luar, sedangkan Baduy Dalam menggunakan ikat kepala putih, begitu
pula dengan pakaian yang mereka kenakan, Baduy Dalam mengenakan baju kampret
berwarna putih sedangkan Baduy Luar berwarna hitam. Kawasan wisata Baduy
menjadi sangat populer karena membuat orang penasaran; bagaimanakah orang Baduy
mampu bertahan dengan tradisi mereka ditengah gempuran kehidupan modern dimana-mana.
|
Kang Mul bersama anak gadisnya |
Kami akan menuju rumah Kang Mul,
seorang warga Baduy Luar yang menjadi tuan rumah kami di perjalanan ini. Seperti
trekking pada umumnya, kami melewati jalanan naik turun yang menguras tenaga
habis-habisan. Rute yang kami tempuh adalah Ciboleger-Kaduketug-Balimbing-Marengo-Gajeboh
yang masuk dalam kawasan Baduy Luar.
Sepenglihatan saya memang orang-orang Baduy tidak memakai alas kaki,
bahkan ke jalan aspal yang panas sekalipun! Menurut Kang Mul hal ini merupakan
bentuk kesyukuran terhadap yang Maha Kuasa, mereka memanfaatkan semaksimal
mungkin pemberian yang murni tanpa harus ada penambahan apapun.
Beberapa bocah melintas dengan
polosnya, memangku durian di pundak, berjalan berduyun-duyun seakan-akan bakal
ada hajatan besar hari ini. Hasil hutan yang mereka kumpulkan dibawa kearah
Ciboleger dan dikumpulkan oleh pengepul. Saya rasa bocah sekecil mereka pun
memiliki keuletan yang luar biasa, ditambah medan yang naik turun, stamina
bocah ini pasti kuat bukan main. Kami mencoba mengabadikan beberapa momen yang
kami rasa unik. Senyuman mengembang dibibir mereka.
"Mereka
memang terbiasa keluar masuk hutan" kata Kang Mul
|
Beratnya durian tidak membuat langkah mereka terhenti |
Sepanjang perjalanan kami
mengamati beberapa rumah yang kami lewati, semuanya tidak menggunakan paku untuk merekatkan satu dengan yang lain
melainkan diikat, dan pondasi bangunan menggunakan sebuah batu yang digunakan
untuk menopang agar tidak menyetuh tanah. Selain untuk menjaga keseimbangan
rumah karena kontur tanah yang bergelombang, hal ini juga merupakan salah satu
adat dalam pendirian rumah, termasuk cara hadap rumah ke utara-selatan.
Beberapa rumah menjual camilan layaknya toko kelontong, mungkin ini efek dari
banyaknya wisatawan yang berdatangan ke wilayah mereka. Selain rumah, kami juga
mendapati leuit, tempat penyimpanan padi. Bentukannya cukup menyerupai
rumah namun dengan ukuran yang lebih kecil. Konon leuit bisa menyimpan
padi sampai bertahun-tahun lamanya dan terbebas dari jerat hama seperti tikus.
Padi juga tidak boleh dijual, sebagai tanda hormat kepada Dewi Sri, sang dewi
alam.
|
Diantara rumah-rumah tradisional Baduy |
Pondok teu meunang disambung, nu
panjang teu meunang dipotong , begitulah pepatah suku Baduy dalam menjaga harmoni
dengan alam.
Berbeda dengan kita yang hidup
di perkotaan. Dengan segala kemoderanan kita merampas kekayaan alam semena-mena
atas dasar keserakahan. Hutan hujan dijadikan lahan sawit beribu-ribu hektar,
tambang yang tidak direstorasi, hingga PLTU yang mematikan penyu. Lebih banyak
merusak dibanding memelihara.
Kami kemudian melewati jembatan
akar yang menjadi kawasan populer bagi wisatawan. Spot ini terlihat menarik
bagi kami, terbuat dari bambu dan akar pohon yang disambung sehingga memberikan
kesan unik sekaligus misterius. Kami turun ke tepi sungai Cisemet demi
merehatkan sejenak kaki kami yang pegal.
|
Pose di Jembatan Akar |
Asyik berjalan kami lupa bahwa
awan hitam yang semenjak sampai di Ciboleger terus mengikuti kami. Sejurus
kemudian hujan deras datang menghambur dari langit. Untungnya kami dapati
sebuah saung yang kosong untuk tempat berteduh. Intensitas hujan cukup deras,
hingga sekonyonh-konyongnya air menuruni jalan berbukit di hadapan kami dengan
cepatnya. Suasana ini kami manfaatkan untuk bertanya banyak hal mengenai Baduy
ke Kang Mul.
Hampir saja malam mulai menutup
langit barulah kami tiba di rumah Kang Mul. Setelah tadi cuman melihat dari luar,
sekarang kami mulai masuk ke dalam rumah adat. Kami disambut hangat oleh
keluarga Kang Mul. Durian hasil panen juga dipersilahkan kepada kami untuk
dicicipi. Kami duduk melingkar sembari dijamu makan malam. Jantung pisang
mentah juga menjadi sajian yang tidak lupa saya nikmati, meskipun terasa sepat
di lidah saya.
"Nyi Pohaci Sanghyang Asri
bagi kami sangat penting sebagai dewi yang menyuburkan tanah-tanah kami"
ucap Kang Mul. Orang Baduy juga percaya nabi Adam awal turunnya ke sasaka
domas pusat semesta yang sekarang menjadi bagian hutan terlarang. "Hutan
terlarang tidak boleh dijamah sembarangan dan hanya bisa dimasuki oleh tetua
adat karna merupakan kawasan yang suci". Kang Mul juga bercerita bahwa
sejak jaman dulu pemerintah sudah ingin mendirikan sekolah di kawasan Baduy
tapi hal itu ditolak mentah-mentah. "Kalau nanti pada sekolah, punya ilmu
tinggi, merantau ke tempat jauh dan tidak mau tinggal di Baduy lagi, siapa lagi
yang akan melestarikan adat kami?"
Benar juga. Kalangan terdidik
biasanya menjadi egois, menanggap budaya nenek moyang sebagai hal kolot yang
tidak berguna. Jarang ada yang membangun kampungnya kembali, terlebih sudah
bisa hidup enak dan kerja nyaman. Boro-boro mau kerja di Indonesia, tujuan
utama kalau tidak Eropa ya Amerika. Mungkin hal ini lah yang ditakutkan warga
Baduy ketika pendidikan masuk ke tempat mereka. Kacang lupa kulitnya.
|
Mencoba menjadi ala ala Baduy |
Besok paginya kami harus jalan
ke tempat keluarga Kang Mul yang berjualan cinderamata khas, ada ikat kepala,
gelang , kain tenun, juga madu. Saya dikasih tahu cara memakai ikat kepala ala
Baduy. Ikatannya sederhana dan mudah dipelajari, seperti hidup mereka, sederhana
dan memberi arti. Mungkin saya harus kembali lagi, memuaskan dahaga akan rasa
penasaran akan kehidupan mereka yang bersahaja.
|
Kain tenun khas Baduy
*Tulisan ini pernah dimuat di telusuri.id dengan judul Pelajaran dari Baduy
|