Rabu, 24 Juni 2020

Pelajaran dari Baduy


                Bersentuhan dengan suku-suku yang mengasingkan diri dari kehidupan modern adalah pertama kalinya saya lakukan saat mengunjungi Baduy. Urang Baduy atau Urang Kanekes menghuni sekitar kawasan Pegunungan Kendeng, sejauh 40 km dari kota Rangkasbitung. Suasana dingin pegunungan ditambah kicauan burung menjadi ucapan selamat datang begitu menginjakkan kaki disana. Suku Baduy ini dibagi menjadi dua bagian ada Baduy Luar dan Baduy Dalam. Baduy Luar terlihat lebih santai dalam memegang adat mereka, meskipun itu tidak berarti mereka meninggalkannya. Ciri yang terlihat lainnya adalah dari ikat kepala berwarna biru yang disandang oleh para Baduy luar, sedangkan Baduy Dalam menggunakan ikat kepala putih, begitu pula dengan pakaian yang mereka kenakan, Baduy Dalam mengenakan baju kampret berwarna putih sedangkan Baduy Luar berwarna hitam. Kawasan wisata Baduy menjadi sangat populer karena membuat orang penasaran; bagaimanakah orang Baduy mampu bertahan dengan tradisi mereka ditengah gempuran kehidupan modern dimana-mana.
Kang Mul bersama anak gadisnya

                Kami akan menuju rumah Kang Mul, seorang warga Baduy Luar yang menjadi tuan rumah kami di perjalanan ini. Seperti trekking pada umumnya, kami melewati jalanan naik turun yang menguras tenaga habis-habisan. Rute yang kami tempuh adalah Ciboleger-Kaduketug-Balimbing-Marengo-Gajeboh yang masuk dalam kawasan Baduy Luar.  Sepenglihatan saya memang orang-orang Baduy tidak memakai alas kaki, bahkan ke jalan aspal yang panas sekalipun! Menurut Kang Mul hal ini merupakan bentuk kesyukuran terhadap yang Maha Kuasa, mereka memanfaatkan semaksimal mungkin pemberian yang murni tanpa harus ada penambahan apapun.
                Beberapa bocah melintas dengan polosnya, memangku durian di pundak, berjalan berduyun-duyun seakan-akan bakal ada hajatan besar hari ini. Hasil hutan yang mereka kumpulkan dibawa kearah Ciboleger dan dikumpulkan oleh pengepul. Saya rasa bocah sekecil mereka pun memiliki keuletan yang luar biasa, ditambah medan yang naik turun, stamina bocah ini pasti kuat bukan main. Kami mencoba mengabadikan beberapa momen yang kami rasa unik. Senyuman mengembang dibibir mereka.
"Mereka memang terbiasa keluar masuk hutan" kata Kang Mul
Beratnya durian tidak membuat langkah mereka terhenti

                Sepanjang perjalanan kami mengamati beberapa rumah yang kami lewati, semuanya tidak menggunakan  paku untuk merekatkan satu dengan yang lain melainkan diikat, dan pondasi bangunan menggunakan sebuah batu yang digunakan untuk menopang agar tidak menyetuh tanah. Selain untuk menjaga keseimbangan rumah karena kontur tanah yang bergelombang, hal ini juga merupakan salah satu adat dalam pendirian rumah, termasuk cara hadap rumah ke utara-selatan. Beberapa rumah menjual camilan layaknya toko kelontong, mungkin ini efek dari banyaknya wisatawan yang berdatangan ke wilayah mereka. Selain rumah, kami juga mendapati leuit, tempat penyimpanan padi. Bentukannya cukup menyerupai rumah namun dengan ukuran yang lebih kecil. Konon leuit bisa menyimpan padi sampai bertahun-tahun lamanya dan terbebas dari jerat hama seperti tikus. Padi juga tidak boleh dijual, sebagai tanda hormat kepada Dewi Sri, sang dewi alam.
               
 
Diantara rumah-rumah tradisional Baduy
                Pondok teu meunang disambung, nu panjang teu meunang dipotong , begitulah pepatah suku Baduy dalam menjaga harmoni dengan alam. 
                Berbeda dengan kita yang hidup di perkotaan. Dengan segala kemoderanan kita merampas kekayaan alam semena-mena atas dasar keserakahan. Hutan hujan dijadikan lahan sawit beribu-ribu hektar, tambang yang tidak direstorasi, hingga PLTU yang mematikan penyu. Lebih banyak merusak dibanding memelihara.
                Kami kemudian melewati jembatan akar yang menjadi kawasan populer bagi wisatawan. Spot ini terlihat menarik bagi kami, terbuat dari bambu dan akar pohon yang disambung sehingga memberikan kesan unik sekaligus misterius. Kami turun ke tepi sungai Cisemet demi merehatkan sejenak kaki kami yang pegal.
Pose di Jembatan Akar

                Asyik berjalan kami lupa bahwa awan hitam yang semenjak sampai di Ciboleger terus mengikuti kami. Sejurus kemudian hujan deras datang menghambur dari langit. Untungnya kami dapati sebuah saung yang kosong untuk tempat berteduh. Intensitas hujan cukup deras, hingga sekonyonh-konyongnya air menuruni jalan berbukit di hadapan kami dengan cepatnya. Suasana ini kami manfaatkan untuk bertanya banyak hal mengenai Baduy ke Kang Mul.
                Hampir saja malam mulai menutup langit barulah kami tiba di rumah Kang Mul. Setelah tadi cuman melihat dari luar, sekarang kami mulai masuk ke dalam rumah adat. Kami disambut hangat oleh keluarga Kang Mul. Durian hasil panen juga dipersilahkan kepada kami untuk dicicipi. Kami duduk melingkar sembari dijamu makan malam. Jantung pisang mentah juga menjadi sajian yang tidak lupa saya nikmati, meskipun terasa sepat di lidah saya.

                "Nyi Pohaci Sanghyang Asri bagi kami sangat penting sebagai dewi yang menyuburkan tanah-tanah kami" ucap Kang Mul. Orang Baduy juga percaya nabi Adam awal turunnya ke sasaka domas pusat semesta yang sekarang menjadi bagian hutan terlarang. "Hutan terlarang tidak boleh dijamah sembarangan dan hanya bisa dimasuki oleh tetua adat karna merupakan kawasan yang suci". Kang Mul juga bercerita bahwa sejak jaman dulu pemerintah sudah ingin mendirikan sekolah di kawasan Baduy tapi hal itu ditolak mentah-mentah. "Kalau nanti pada sekolah, punya ilmu tinggi, merantau ke tempat jauh dan tidak mau tinggal di Baduy lagi, siapa lagi yang akan melestarikan adat kami?"
                Benar juga. Kalangan terdidik biasanya menjadi egois, menanggap budaya nenek moyang sebagai hal kolot yang tidak berguna. Jarang ada yang membangun kampungnya kembali, terlebih sudah bisa hidup enak dan kerja nyaman. Boro-boro mau kerja di Indonesia, tujuan utama kalau tidak Eropa ya Amerika. Mungkin hal ini lah yang ditakutkan warga Baduy ketika pendidikan masuk ke tempat mereka. Kacang lupa kulitnya.
Mencoba menjadi ala ala Baduy

                Besok paginya kami harus jalan ke tempat keluarga Kang Mul yang berjualan cinderamata khas, ada ikat kepala, gelang , kain tenun, juga madu. Saya dikasih tahu cara memakai ikat kepala ala Baduy. Ikatannya sederhana dan mudah dipelajari, seperti hidup mereka, sederhana dan memberi arti. Mungkin saya harus kembali lagi, memuaskan dahaga akan rasa penasaran akan kehidupan mereka yang bersahaja.
 
Kain tenun khas Baduy

*Tulisan ini pernah dimuat di telusuri.id dengan judul Pelajaran dari Baduy

0 komentar:

Posting Komentar