Senin, 10 Agustus 2020

Obrolan Dikala Memancing

 

 

                Pagi ini secerah pagi-pagi biasanya. Kami berencana memancing hari ini. Sehabis masa PSBB yang mengurangi waktu diluar rumah, memancing terasa lebih istimewa daripada biasanya. Meski masih harus menggunakan masker, kami melajukan kendaraan kami menuju toko pemancingan yang menjual semua kebutuhan pemancing. Membeli joran baru dan umpan pancing. Tampaknya umpan ludes diborong para pemancing yang berhamburan hari ini. Kami disisai sedikit saja, sekedar cukup memuaskan hasrat memancing yang beberapa waktu yang lalu sempat dilarang pemerintah daerah.

                Kami menuju spot pemancingan, terletak dibelakang perumahan yang dulunya adalah rawa-rawa serta sawah. Umpan kami sisitkan, kail kami turunkan dan satu-dua ikan mulai masuk ke ember kami. Menggelepar.

                Tak jauh dari kami ada seseorang yang nampaknya sedang membersihkan belukar yang mulai tumbuh disela sela tanaman padi. Mimiknya serius. Nampaknya begitulah kerja harian yang dia lakukan sehabis menanam padi. Beliau menghampiri kami dan menanyakan hasil pancingan kami hari ini. Pembicaraan seputar korona seakan menjadi menu wajib obrolan. Beliau mengeluhkan kenapa harus rumah ibadah yang ditutup? Toh mall-mall tetap bisa buka dengan protokol kesehatan yang ketat. Sedangkan mesjid, kenapa tidak? Apa karena masuk mesjid 5x sehari sehingga ditakutkan menjadi episentrum penyebaran korona? Toh siapa yang bakal masuk mall sehari 5x? Mending dibuka saja toh yang ke mall pasti orang berduit ini? Kata pemerintah kan penyebaran penyakit dari orang miskin ini. Bukan orang kaya.

                 "Memang manusianya udah lama kiamat meski dunianya belum" ucap Pak Aman. Benar juga, kelakuan manusia sudah dari dulu kiamat. Katanya semakin mendekati kiamat, maka kelakuan manusia semakin rusak. Lha kan dari awal manusia itu udah rusak sampai malaikat saja bingung dengan maksud penciptaan kita yang katanya bakal membawa kerusakan di muka bumi. Beliau mengakhiri pembicaraan dengan mengajak kami mampir di rumahnya suatu saat kalau memancing lagi. Kami mengganguk tanda setuju dengan tawaran tersebut. Lagipula menambah banyak relasi justru menyenangkan.

                Matahari sudah diatas kepala. Semenjak Pak Aman pergi,ikan ikan juga nampaknya tak lagi menghampiri pancingan kami. Kami berpindah tempat menuju tempat yang kami perkirakan lebih banyak ikannya. Berharap pulang sembari membawa sebakul ikan. Ternyata tempat baru tidak seindah yang dibayangkan. Ikan yang kami dapat lebih sedikit dari sebelumnya. Namun sebaliknya, pemancing lain nampak membawa ember berisi ikan-ikan besar. Dongkol rasanya mengetahui kenyataan tersebut. Pancing yang sama umpan yang sama tapi hasil yang berbeda. Apakah ini adil? Kami menyadari kami keliru kala beriri hati. Memancing adalah pembelajaran untuk menjadi sabar. Tolak ukur umpan tak dapat dijadikan patokan besarnya ikan, panjang joran tidak membuatmu lebih banyak menangkap ikan. Terus apa patokannya? Tentu saja tidak ada. Seperti hidup apa patokan sukses? Kaya kah? Jabatan kah? Tidak tahu, saya tidak bisa menjawab.


Kami hanya berharap kami beruntung hari ini.

 

                Seorang petani jeruk menyuruh kami mengambil berapa saja jeruk yang ada di kebunnya, di tempat kami memancing. Dia berbicara banyak kepada kami mengenai hasil panen tahun ini atau bagaimana orang memborong jeruknya dalam sehari. Senyumnya saat berbicara mampu membuat siapa saja betah mendengarkan ceritanya. Menurut dia Jeruk Madang, yang dia tanam mempunyai rasa yang berbeda daripada jeruk dari daerah lain di Kalsel. Tidak terlalu masam dan juga tidak terlamapau manis. Sedang saja. Menurutnya lagi rasa secukupnya inilah yang membuat Jeruk Madang digemari di daerah Kalsel. Pemancing disebelah kami ikut senyum-senyum mendengar cerita sang petani meski kelihatannya umpannya tak kunjung disambar ikan. Konon kalau terlambat panen, si petani bakal kehilangan jeruk dalam jumlah banyak, soalnya sering ada pencurian hasil panen besar-besaran yang bakal merugikan si petani.

                Sebelum pulang kami diberi oleh oleh beberapa Jeruk Madang oleh beliau. Beberapa kami simpan, sisanya kami bagikan kepada para pemancing yang juga ada disekitar kami. Sudah selayaknya kami tidak nikmati sendiri hadiah dari sang petani.

                Puas kami rasakan hari ini meskipun ikan yang kami peroleh hanya sedikit.



   Buah cemot yang sudah mulai jarang terlihat

                                          

Jeruk Madang, konon memiliki kulit tipis dan daging tebal dengan wangi semerbak

                Jeruk Madang, konon memiliki kulit tipis dan daging tebal dengan wangi semerbak

0 komentar:

Posting Komentar