` Merapi
merupakan salah satu gunung yang paling populer di Indonesia. Pada erupsi Merapi tahun 2010, kisah yang paling terkenal adalah Mbah Marijan, juru kunci Merapi. Siapa yang tidak
kenal Mbah Marijan? Kisahnya yang tetap berada di gunung saat erupsi merupakan
gambaran betapa bahwa Gunung Merapi adalah tempat yang sakral bagi penduduk Yogyakarta dan sekitarnya.
Menuju Basecamp Merapi |
Setelah tiba di basecamp Selo
Merbabu, aku beristirahat sejenak sembari mandi dan menyiapkan energi. Jarak
antara basecamp Merbabu dan basecamp Merapi tidak terlalu jauh, sekitar 7
kilometer. Sebenarnya aku masih dilanda
kelelahan, namun aku mulai memaksa diriku untuk beranngkat ke basecamp Merapi
sebelum sore. Kurang lebih satu jam di basecamp Merbabu, aku mulai berpamitan
kepada kawan-kawan pendaki yang ada di basecamp. Berjalanlah aku seorang diri,
melewati kampung-kampung serta jalanan penuh debu. Dari kejauhan nampak sang
Merapi yang semakin benderang oleh sinar matahari siang.
Meskipun terasa kunang-kunang karena
teriknya siang, aku berhasil sampai di basecamp Merapi. Basecamp Merapi terasa
sangat gelap dan kecil dibandingkan basecamp lainnya yang pernah kusinggahi.
Aku memutuskan untuk naik saat malam tiba, walau saat itu akupun tidak membawa
senter. Matahari mulai beranjak dari peraduan, terasa sekali hawa pegunungan
mulai turun. Dingin menusuk. Aku enggan untuk mandi lagi, hanya sekedar
membasahi tubuh untuk berwudhu. Kulihat segerombolan anak-anak yang berasal
dari pondok pesantren sedang bersiap-siap untuk naik, dibimbing oleh salah satu
gurunya. Melihat mereka mengingatkanku saat pramuka dulu. Dahulu pondok kami
mewajibkan kegiatan berkemah sebagai agenda wajib enam bulanan. Santri dari
kelas satu sampai kelas empat wajib mengikuti kegiatan ini.
Air mulai menetes dari langit.
Langit tampak mendung, tak ada satu bintang pun yang muncul. Jelas ini pertanda
hujan akan semakin deras dan lama. Malam itu pun hujan dengan derasnya turun
dari langit. Mengurungkan niatku yang ingin naik malam itu. Baiklah, ini hanya masalah waktu, sembari
menunggu kupejamkan mataku dalam sleeping bag. Jam dua malam aku terbangun.
Ternyata hujan tak semudah itu meninggalkan bumi Merapi. Kondisi masih hujan
diliputi angin kencang. Aku memutuskan naik saat pagi menjelang.
Pagi itu tak seberkas cahaya pun
dapat menembus tebalnya awan. Hujan masih deras, akupun menunggu sampai hujan
agak reda. Akhirnya hujan agak reda, aku pun bergegas melakukan pendakian.
Pendakian ini aku lakukan hanya tek-tok, untuk mempersingkat waktu.
Perjalanan kali ini ditemani hujan
rintik. Tidak ada teman dalam perjalanan ini. Langkah kaki terasa lebih berat
karena kondisi medan basah. Dari basecamp ke gerbang New Selo hanya memakan
waktu 15 menit, Dari New Selo menuju ke pos 1 kita akan disuguhi pemandangan
perkebunan warga hingga hutan tropis.
Dari New Selo perjalanan akan mulai
menanjak ke pos 1. Kondisi saat itu masih hujan intik membuatku mengenakan jas
hujan. Di perjalanan menuju pos 1, hujan tiba-tiba menjadi deras, mau tak mau
akupun mempercepat langkahku agar sampai di pos 1 untuk berteduh. Kulihat di
pos 1 ada tempat berteduh tetapi sudah diisi oleh orang dengan sebuah tenda, akhirnya
aku pun nyempil agar bisa berteduh ;(
Pos 1 (Watu Belah) |
Setelah hujan agak reda, kupacu
kakiku agar terus bergerak ke atas. Pos 2 merupakan selanjutnya yang akan
kutemui. Ditengah-tenah perjalanan kulihat anak-anak dari pondok kemaren mulai
turun. Salah satunya memberi tahuku bahwa ada badai di Pasar Bubrah sehingga
mereka memutuskan untuk segera turun. Aku dilanda kebingungan. Apakah harus
terus menuju puncak? Atau aku kembali turun bersama mereka? Aku tertahan
sejenak mencoba mengambil keputusan terbaik ditengah-tengah rintik,
menimbang-nimbang. Aku memutuskan untuk lanjut. Entah apa yang ada dipikiranku.
Salah satu keputusan bodoh yang pernah kuambil dalam hidup yang nantinya akan
memberikan pelajaran berharga.
Pos 2 Merapi |
Lama aku berjalan, berselisih dengan
beberapa orang yang juga turun karena badai, sambil menatapku heran. Akhirnya
sampai juga di perbatasan vegetasi. Tidak ada lagi pepohonan, Trek berganti
menjadi bebatuan dan pasir. Pertanda sudah memasuki kawasan Pasar Bubrah.
Kondisi cuaca semakin memburuk disini, badai kencang disertai hujan rintik.
Kulihat plank Pasar Bubrah disertai beberapa pendaki yang pernah gugur disini.
Aku berjalan yakin menembus badai. Jalur sudah tidak terlihat lagi sehingga
harus sangat pelan. Aku melihat tower alarm penanda gempa sebagai patokan untuk
berjalan.
Plang Nama Pasar Bubrah |
Kulihat ada satu-dua tenda yang ada
di Pasar Bubrah. Tampak seperti ditinggalkan pemiliknya yang turun ke bawah,
tidak ada tanda-tanda kehidupan. Papan plang "batas aman pendakian"
kutemui. Tanpa pikir panjang, kutapaki sedikit demi sedikit jalur ke puncak.
Kesulitan lainnya selain badai adalah aku hanya memakai sendal gunung. Sering
sekali selip sepanjang perjalanan. Trek berpasir sangat tidak cocok untuk
sendal gunung. Baru beberapa langkah naik, aku harus rela jatuh terguling
karena berpijakan pada batu yang kukira masif. Ternyata ini hanyalah permulaan.
Sesaat kemudian aku harus merangkak maju menggunakan tangan dan kaki. Tidak ada
lagi yang bisa dijadikan pijakan. Kulihat ke bawah, kalau aku jatuh cukup untuk
mejadikanku tidak bisa berjalan kembali ke basecamp. Alam sangat tidak
bersahabat, intensitas angin menajdi semakin deras. Kacamataku berembun. Lagi
lagi jatuh saat aku kehilangan keseimbangan. Aku terhemapas jatuh kebawah,
berguling. Satu tangan kuraih batu yang kulihat, berhasil! Aku jatuh tidak
terlalu jauh ke bawah.
Tak lama kulihat puncak tusuk gigi.
Gagahnya Merapi saat badai, seakan akan aku memasuki sebuah pintu gerbang. Dalam
hati terbesit, aku satu-satunya orang yang berani (tapi bodoh) naik ke puncak
sewaktu badai. Aku masuk disela sela bebatuan tinggi, mencari celah agar bisa
naik ke atas. Perlu perjuangan lebih agar bisa keatas, mengandalkan kekuatan
tangan agar bisa menaikkan tubuh.
Berlindung dari Badai Kencang :( |
Setelah naik, kulihat sekeliling. Tidak ada lagi caraku untuk naik ke atas baik langsung maupun memutar. Aku menunggu dibalik batu, berharap badai segera reda. Tapi bulu-bulu tangan kulihat mulai membentuk serpihan es. Artinya pendakianku akan kucukupkan disini. Setengah jam berlalu, tidak ada tanda-tanda badai berhenti. Aku memutuskan untuk turun.
In The Middle of Storm |
Perjalanan turun juga tidak lebih mudah
dari naik. Aku harus merosot jatuh (lagi). Turun dengan merosot menempuh waktu
lebih cepat. Daripada mencoba berjalan dan bakal jatuh lagi, maka aku merosot
sampai ke bawah.
Setibanya di daerah Pasar Bubrah,
aku berjalan lurus ke bawah. Seingatku hanya perlu berjalan lurus ke bawah
setelah melihat plang batas aman pendakian. Disini aku mulai sadar, aku
kehilangan buku catatanku saat turun tadi. Aku kembali menuju ke arah puncak,
berusaha mencari buku catatan tersebut. Hasilnya nihil! Aku kembali turun.
Plang Batas Aman Pendakian |
Berjalan menembus badai, berharap
secepatnya bisa sampai ke basecamp. Kutemui didepan mataku jurang yang menganga
lebar. Tidak ada jalan turun terlihat. Oke, disini aku mencoba berpikir
positif, mungkin saja aku terlalu berbelok ke kiri saat turun. Aku memutuskan
kembali ke plang, menelesuri jejak serta patokan-patokan. Aku berjalan lurus.
Tetap saja, yang kulihat hanya jurang. Aku melipir menyusuri jurang. Tampaknya
jurang tidak ada habis.
Saat kembali menuju plang, kudapati
batu besar yang dari tadi tidak pernah kulihat. Pikiranku mulai lelah, tanganku
mulai terasa beku. Memang Pasar Bubrah terkenal akan berbagai mitos yang
menyelimutinya. Sekelilingku memang banyak batu batu bersusun yang seakan-akan
membentuk kotak-kotak tersendiri. Masa bodoh, aku ingin pulang. Batu-batu tadi
pun menjadi sasaran tendangku.
Sayup-sayup terdengar suara di
seberang jurang. Suara yang tidak jelas memanggil siapa. Kuikuti suara itu
sebagai pedoman turun. Kupikir dengan turun ke jurang, aku bisa menemukan jalan
naik lainnya. Sayang, saat aku turun ke jurang dan menyisir malah aku tambah
tersesat. Aku kembali naik ke atas.
Ditengah kepanikan karena aku hanya
memutar-mutar Pasar Bubrah selama dua jam. Tenda yang semula kulihat saat
sampai, tidak ada lagi padahal aku ingat persis tempatnya. Dilanda keputus
asaan serta cuaca yang tak kunjung membaik, Aku berteriak sekeras mungkin.
Tidak ada balasan.Akhirnya aku berpasrah (sambil terus mencari jalan). Memang
ada keadaan diluar batas manusia (force majure) yang mengingatkan diriku betapa
lemahnya aku yang hina ini. Dalam sempoyongan, kulihat samar-samar dikejauhan
tower alarm. Sekarang aku berada di jalur yang benar entah bagaimana! Aku berlari dengan senyum lebar.
Sesampainya di basecamp, kuucapkan
terima kasih kepada Merapi. Merapi memberikan pengalaman berharga dan akan
menjadi kisah tersendiri dalam fase kehidupanku. Aku harus belajar melepas
ke-egoisanku. Semumpuni atau setangguh apapun manusia, takkan pernah luput dari
cobaan alam. Ceroboh dan gegabah adalah
hal yang harus dihindari, terlebih saat melakukan pendakian solo.
" Perjalanan
yang sukses adalah perjalanan yang bisa membuatmu menanggalkan baju
kesombonganmu"
0 komentar:
Posting Komentar