Rabu, 07 Juni 2017

Merapi, Guru Terbaik Adalah Pengalaman Sendiri

`        Merapi merupakan salah satu gunung yang paling populer di Indonesia. Pada erupsi Merapi tahun 2010, kisah yang paling terkenal adalah Mbah Marijan, juru kunci Merapi. Siapa yang tidak kenal Mbah Marijan? Kisahnya yang tetap berada di gunung saat erupsi merupakan gambaran betapa bahwa Gunung Merapi adalah tempat yang sakral bagi penduduk Yogyakarta dan sekitarnya.
Menuju Basecamp Merapi

       Setelah tiba di basecamp Selo Merbabu, aku beristirahat sejenak sembari mandi dan menyiapkan energi. Jarak antara basecamp Merbabu dan basecamp Merapi tidak terlalu jauh, sekitar 7 kilometer. Sebenarnya aku masih dilanda kelelahan, namun aku mulai memaksa diriku untuk beranngkat ke basecamp Merapi sebelum sore. Kurang lebih satu jam di basecamp Merbabu, aku mulai berpamitan kepada kawan-kawan pendaki yang ada di basecamp. Berjalanlah aku seorang diri, melewati kampung-kampung serta jalanan penuh debu. Dari kejauhan nampak sang Merapi yang semakin benderang oleh sinar matahari siang.
            Meskipun terasa kunang-kunang karena teriknya siang, aku berhasil sampai di basecamp Merapi. Basecamp Merapi terasa sangat gelap dan kecil dibandingkan basecamp lainnya yang pernah kusinggahi. Aku memutuskan untuk naik saat malam tiba, walau saat itu akupun tidak membawa senter. Matahari mulai beranjak dari peraduan, terasa sekali hawa pegunungan mulai turun. Dingin menusuk. Aku enggan untuk mandi lagi, hanya sekedar membasahi tubuh untuk berwudhu. Kulihat segerombolan anak-anak yang berasal dari pondok pesantren sedang bersiap-siap untuk naik, dibimbing oleh salah satu gurunya. Melihat mereka mengingatkanku saat pramuka dulu. Dahulu pondok kami mewajibkan kegiatan berkemah sebagai agenda wajib enam bulanan. Santri dari kelas satu sampai kelas empat wajib mengikuti kegiatan ini.
           Air mulai menetes dari langit. Langit tampak mendung, tak ada satu bintang pun yang muncul. Jelas ini pertanda hujan akan semakin deras dan lama. Malam itu pun hujan dengan derasnya turun dari langit. Mengurungkan niatku yang ingin naik malam itu.  Baiklah, ini hanya masalah waktu, sembari menunggu kupejamkan mataku dalam sleeping bag. Jam dua malam aku terbangun. Ternyata hujan tak semudah itu meninggalkan bumi Merapi. Kondisi masih hujan diliputi angin kencang. Aku memutuskan naik saat pagi menjelang.
           Pagi itu tak seberkas cahaya pun dapat menembus tebalnya awan. Hujan masih deras, akupun menunggu sampai hujan agak reda. Akhirnya hujan agak reda, aku pun bergegas melakukan pendakian. Pendakian ini aku lakukan hanya tek-tok, untuk mempersingkat waktu.
            Perjalanan kali ini ditemani hujan rintik. Tidak ada teman dalam perjalanan ini. Langkah kaki terasa lebih berat karena kondisi medan basah. Dari basecamp ke gerbang New Selo hanya memakan waktu 15 menit, Dari New Selo menuju ke pos 1 kita akan disuguhi pemandangan perkebunan warga hingga hutan tropis.
            Dari New Selo perjalanan akan mulai menanjak ke pos 1. Kondisi saat itu masih hujan intik membuatku mengenakan jas hujan. Di perjalanan menuju pos 1, hujan tiba-tiba menjadi deras, mau tak mau akupun mempercepat langkahku agar sampai di pos 1 untuk berteduh. Kulihat di pos 1 ada tempat berteduh tetapi sudah diisi oleh orang dengan sebuah tenda, akhirnya aku pun nyempil agar bisa berteduh ;(
Pos 1 (Watu Belah)

            Setelah hujan agak reda, kupacu kakiku agar terus bergerak ke atas. Pos 2 merupakan selanjutnya yang akan kutemui. Ditengah-tenah perjalanan kulihat anak-anak dari pondok kemaren mulai turun. Salah satunya memberi tahuku bahwa ada badai di Pasar Bubrah sehingga mereka memutuskan untuk segera turun. Aku dilanda kebingungan. Apakah harus terus menuju puncak? Atau aku kembali turun bersama mereka? Aku tertahan sejenak mencoba mengambil keputusan terbaik ditengah-tengah rintik, menimbang-nimbang. Aku memutuskan untuk lanjut. Entah apa yang ada dipikiranku. Salah satu keputusan bodoh yang pernah kuambil dalam hidup yang nantinya akan memberikan pelajaran berharga.
Pos 2 Merapi

            Lama aku berjalan, berselisih dengan beberapa orang yang juga turun karena badai, sambil menatapku heran. Akhirnya sampai juga di perbatasan vegetasi. Tidak ada lagi pepohonan, Trek berganti menjadi bebatuan dan pasir. Pertanda sudah memasuki kawasan Pasar Bubrah. Kondisi cuaca semakin memburuk disini, badai kencang disertai hujan rintik. Kulihat plank Pasar Bubrah disertai beberapa pendaki yang pernah gugur disini. Aku berjalan yakin menembus badai. Jalur sudah tidak terlihat lagi sehingga harus sangat pelan. Aku melihat tower alarm penanda gempa sebagai patokan untuk berjalan.
Plang Nama  Pasar Bubrah 

            Kulihat ada satu-dua tenda yang ada di Pasar Bubrah. Tampak seperti ditinggalkan pemiliknya yang turun ke bawah, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Papan plang "batas aman pendakian" kutemui. Tanpa pikir panjang, kutapaki sedikit demi sedikit jalur ke puncak. Kesulitan lainnya selain badai adalah aku hanya memakai sendal gunung. Sering sekali selip sepanjang perjalanan. Trek berpasir sangat tidak cocok untuk sendal gunung. Baru beberapa langkah naik, aku harus rela jatuh terguling karena berpijakan pada batu yang kukira masif. Ternyata ini hanyalah permulaan. Sesaat kemudian aku harus merangkak maju menggunakan tangan dan kaki. Tidak ada lagi yang bisa dijadikan pijakan. Kulihat ke bawah, kalau aku jatuh cukup untuk mejadikanku tidak bisa berjalan kembali ke basecamp. Alam sangat tidak bersahabat, intensitas angin menajdi semakin deras. Kacamataku berembun. Lagi lagi jatuh saat aku kehilangan keseimbangan. Aku terhemapas jatuh kebawah, berguling. Satu tangan kuraih batu yang kulihat, berhasil! Aku jatuh tidak terlalu jauh ke bawah.
            Tak lama kulihat puncak tusuk gigi. Gagahnya Merapi saat badai, seakan akan aku memasuki sebuah pintu gerbang. Dalam hati terbesit, aku satu-satunya orang yang berani (tapi bodoh) naik ke puncak sewaktu badai. Aku masuk disela sela bebatuan tinggi, mencari celah agar bisa naik ke atas. Perlu perjuangan lebih agar bisa keatas, mengandalkan kekuatan tangan agar bisa menaikkan tubuh.
Berlindung dari Badai Kencang :(

            Setelah naik, kulihat sekeliling. Tidak ada lagi caraku untuk naik ke atas baik langsung maupun memutar. Aku menunggu dibalik batu, berharap badai segera reda. Tapi bulu-bulu tangan kulihat mulai membentuk serpihan es. Artinya pendakianku akan kucukupkan disini. Setengah jam berlalu, tidak ada tanda-tanda badai berhenti. Aku memutuskan untuk turun.
In The Middle of Storm

            Perjalanan turun juga tidak lebih mudah dari naik. Aku harus merosot jatuh (lagi). Turun dengan merosot menempuh waktu lebih cepat. Daripada mencoba berjalan dan bakal jatuh lagi, maka aku merosot sampai ke bawah.
            Setibanya di daerah Pasar Bubrah, aku berjalan lurus ke bawah. Seingatku hanya perlu berjalan lurus ke bawah setelah melihat plang batas aman pendakian. Disini aku mulai sadar, aku kehilangan buku catatanku saat turun tadi. Aku kembali menuju ke arah puncak, berusaha mencari buku catatan tersebut. Hasilnya nihil! Aku kembali turun.
Plang Batas Aman Pendakian

            Berjalan menembus badai, berharap secepatnya bisa sampai ke basecamp. Kutemui didepan mataku jurang yang menganga lebar. Tidak ada jalan turun terlihat. Oke, disini aku mencoba berpikir positif, mungkin saja aku terlalu berbelok ke kiri saat turun. Aku memutuskan kembali ke plang, menelesuri jejak serta patokan-patokan. Aku berjalan lurus. Tetap saja, yang kulihat hanya jurang. Aku melipir menyusuri jurang. Tampaknya jurang tidak ada habis.
            Saat kembali menuju plang, kudapati batu besar yang dari tadi tidak pernah kulihat. Pikiranku mulai lelah, tanganku mulai terasa beku. Memang Pasar Bubrah terkenal akan berbagai mitos yang menyelimutinya. Sekelilingku memang banyak batu batu bersusun yang seakan-akan membentuk kotak-kotak tersendiri. Masa bodoh, aku ingin pulang. Batu-batu tadi pun menjadi sasaran tendangku.
        Sayup-sayup terdengar suara di seberang jurang. Suara yang tidak jelas memanggil siapa. Kuikuti suara itu sebagai pedoman turun. Kupikir dengan turun ke jurang, aku bisa menemukan jalan naik lainnya. Sayang, saat aku turun ke jurang dan menyisir malah aku tambah tersesat. Aku kembali naik ke atas.
            Ditengah kepanikan karena aku hanya memutar-mutar Pasar Bubrah selama dua jam. Tenda yang semula kulihat saat sampai, tidak ada lagi padahal aku ingat persis tempatnya. Dilanda keputus asaan serta cuaca yang tak kunjung membaik, Aku berteriak sekeras mungkin. Tidak ada balasan.Akhirnya aku berpasrah (sambil terus mencari jalan). Memang ada keadaan diluar batas manusia (force majure) yang mengingatkan diriku betapa lemahnya aku yang hina ini. Dalam sempoyongan, kulihat samar-samar dikejauhan tower alarm. Sekarang aku berada di jalur yang benar entah bagaimana!  Aku berlari dengan senyum lebar.
            Sesampainya di basecamp, kuucapkan terima kasih kepada Merapi. Merapi memberikan pengalaman berharga dan akan menjadi kisah tersendiri dalam fase kehidupanku. Aku harus belajar melepas ke-egoisanku. Semumpuni atau setangguh apapun manusia, takkan pernah luput dari cobaan alam.  Ceroboh dan gegabah adalah hal yang harus dihindari, terlebih saat melakukan pendakian solo.



" Perjalanan yang sukses adalah perjalanan yang bisa membuatmu menanggalkan baju kesombonganmu"

0 komentar:

Posting Komentar