Kamis, 22 Agustus 2019

Bagaimanapun alasanmu, kamu tetap tidak akan pernah mencintaiku


          Dulu, dulu sekali kita pernah sekelas berdua. Semenjak diruangan tersebut desir hati mengungkap bahwa ada cinta yang mulai tumbuh di hati. Seiring waktu kita menjadi banyak obrolan, mulai obrolan seputar ribetnya sebagai mahasiswa semester dua, tentang bagaimana kamu menyukai pendakian, atau pengalaman kamu di masa silam. Ah, kalau ingat hal tersebut rasanya aku ingin hidup di waktu itu saja. Petaka mulai menghampiri kala aku dengan berani (ceroboh?) mulai menyatakan kekagumanku kepadamu. Terang saja kau lama-lama mulai menjauhiku. Aku coba membujuk temanku yang juga temanmu untuk mulai meng-spionase tentang kamu. Tentang hal-hal yang belum kuketahui sepenuhnya. Malang memang, bukan sambutan yang ramah buatku, kamu lebih memilih menghindar dan memblokir semua kontak-kontakku.
                Setelah melewati masa-masa 3 bulan tanpa kabarmu, aku mulai mencoba strategi lainnya. Mungkin dia belum melihat kesungguhan pikirku. Segera setelah itu mulai ku coba mengontakmu kembali dari nomor yang kudapat dari grups Whatsapp kelas. Ternyata kamu merespon meski sedikit, tidak apa-apa ku syukuri itu. Hari-hari terus berjalan. Meski kita sering berkontak kontakan, namun kayaknya lebih dominan aku yang menananyakan segala macam hal. Datar dan kadang lebih sering dibalas singkat. Dingin mungkin tapi mau gimana lagi? Toh dia bilang gak mau mikirin hal cinta-cintaan dulu. Sampai suatu saat aku masih usaha mencari celah-celah waktu hanya sekedar untuk bisa berkegiatan bareng lagi. Kamu ingat kan saat kita sedang ikut kegiatan bakti sosial? Aku yang sering bantu-bantu angkat-angkat barang menuju dapur karena kamu bagian konsumsi. Yah tapi responmu masih dingin.
                Aku masih belum kehilangan harapan. Ku niatkan dalam hati untuk menulis namamu di puncak-puncak gunung yang kudaki. Bukan main! Aku langsung mendaki 4 gunung sekaligus demi menyematkan namamu di puncak-puncaknya. Sepulangnya pun aku masih ingin ngasi kamu oleh-oleh. Kamu menerimanya. Duh senangnya! Tapi ketika aku menawarkan bantuan untuk menemanimu ke stasiun, kamu menolak mentah-mentah. Kamu bilang kamu bisa sendiri dan gak perlu bantuan siapapun. Semenjak itu aku makin yakin berusaha. Aku juga sadar pembuktian cinta tidak melulu harus menyeberang lautan ataupun mendaki puncak gunung, materi masih memegang peran terpenting dalam kelangsungan hubungan. Aku mulai berusaha kecil-kecilan mulai dari berjualan kue pisang, ikut jaga alat penelitian, sampai kerja apapun kulakoni demi membuktikan kesungguhan cintaku.
                Februari 2017 tepatnya, datang kabar yang meruntuhkan hati. Seandainya hati ini made in china duh sudah dari dulu jadi rongsokan. Kamu menelponku tiba-tiba katanya ingin menyampaikan sesuatu. Deg! Kupikir aku ada salah kepadamu karena tulisanku tentangmu sudah terlanjur aku post di blogku. Bukan itu yang kamu maksud. Kamu bilang sekarang kamu sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Ya Allah, aku merasa tiang langit sudah keropos seakan mau menghantam ubun-ubunku. Leleh juga akhirnya air mata ini saking kabar ini gak kuduga sebelumnya. Kamu pun minta maaf dan memintaku untuk mulai menjauhimu. Aku menghela nafas panjang, seakan-akan alasan yang kamu buat dahulu itu hanya tipu muslihat.
                Semenjak kejadian itu aku merasa kesungguhanku ini gak ada gunanya. Buat apa coba aku yang berusaha mati-matian toh bukan aku yang akhirnya kamu pilih. Kalau kamu suruh pilih mending sakit hati atau sakit fisik, ya aku bakal menjawab mending badanku yang luka daripada harus hati yang infeksi, sakit. Mula-mula beberapa bulan aku harus membiasakan diri dengan kesedihaan. Jordi teman baikku pun menilai aku yang terlalu lebay disini. Mungkin dia benar, mungkin aku yang harus mengalah. Sebulan berikutnya lagi-lagi aku masih saja pengen berusaha, mencari celah diantara hubungan kalian. Eh kamu pun membalas lagi pesan-pesan yang kukirim, kukira ini mungkin kesempatanku(?). Malah chattingan kita lebih intens dari yang dulu-dulu. Aku sempat berpikir aku hanya pelarian dari hubungan kamu yang mungkin bermasalah. Tak apalah, aku menikmati kesempatan ini. Mengantarkanmu ke stasiun saat kamu mau berangkat menuju Cirebon adalah momen terindah yang kumiliki bersamamu. Berlanjut kamu memintaku untuk mencarikanmu kost-kostan baru, menggambar peta Asia Tenggara, minum kopi bersama.
            Delusiku terus berlanjut sampai akhirnya kamu mulai mengusiknya dengan permintaan. Hanya satu, tolong jauhin aku. Kenapa? Kenapa saat kurasa rintik hujan yang turun mulai melambat ini kemudian menjadi deras lagi? Semenjak itu kamu mulai jaga jarak lagi denganku. Pesan-pesan ku hanya dibalas dengan ok, engga, gapapa, makasih, singkat padat menyakitkan.
Mungkin cowokmu tidak terima dengan kehadiranku yang menggangu hubungan kalian. Dia mulai menelponku berkali-kali meminta untuk bertemu. Dengan nada yang angkuh dia mengirim pesan singkat padaku yang menjelaskan dia gamau berurusan dengan polisi. Duh, ini kok anak sombong banget? Kamu pikir aku takut? Singkatnya setelah besoknya bertemu, lagak dia yang kupikir bakal sok jagoan berbanding terbalik. Muka pucat, bibir gemetar, dan berlari menemui satpam seakan aku ingin membunuhnya ditambah dia yang mulai sesak nafas. Laki macam apa itu yang dengan gertakan sudah mewek? Kupikir kamu salah pilih orang na!
              Kejadian itu pun berlalu, kamu akhirnya benar-benar memblokir kontakku. Tidak ada lagi kabar darimu semenjak kejadian tersebut. Ku pun penasaran kadang-kadang kucoba lagi untuk memulai pesan, sayang selama dua tahun chatku hanya menjadi angin lalu. Kita masih sering berpapasan. Hatiku mulai angkuh merasa kamu benar-benar memusuhiku, tak nampak suatu sapaan apapun meski kita pernah satu kelas lagi. Kita benar-benar seperti orang asing.
                Dua tahun berlalu, jangan kira aku buta kabarmu. Melalui teman-temanmu aku sesekali aku bertanya kabarmu. Kamu bakal lulus tahun ini. Kupikir apa salahnya jika kuucapkan selamat. Yah coba saja siapa tahu gak diblokir lagi. Teng! Centang dua! Kamu mulai membacanya dan membalasanya, meminta maaf akan kejadian yang lalu. Alhamdulillah kontakku sudah tidak diblokir lagi. Mukjizat macam apa yang masih terjadi abad ini? Aku bahagia.
            Jangan kamu anggap hidup ini bakal ada happy ending seperti di film kebanyakan. Patrick bilang "hidup ini memang tidak adil jadi biasakanlah!". Bukan tanpa sebab aku berharap kesempatan yang tidak pernah kamu berikan kepadaku. Kamu menelponku selama dua jam bercerita banyak hal bagaimana dua tahun berlalu dan banyak berubah, bagaimana dia memperlakukanmu sampai kamu bersedih dan bagaimana kamu bercerita perlakuan keluarganya dan depresi yang kamu derita dan bagaimana sebenarnya kamu terpaksa menerimanya. Duh nana, aku pun juga depresi seperti layaknya manusia. Aku pun bisa menangis, marah, kecewa sama seperti yang kamu rasakan. Kamu juga bilang bahwa (lagi-lagi) kamu ingin sendiri karena tidak ingin dikecewakan lagi. Aku memohon diberikan kesempatan selayaknya yang kamu berikan kepadanya. Kamu bilang bahwa kamu ingin aku tau sisi burukmu dan kamu rasa aku tidak mampu menerimanya. Jodoh segalanya adalah kuasa ilahi kamu bilang maka sudahlah jangan berharap kepadaku.
            Maaf aku mungkin memaksa suratan takdir dengan tetap mencintaimu, aku lupa bahwa jodoh, rejeki, dan kematian itu merupakan teritori yang Maha Kuasa. Tidak ada urusannya dengan kesungguhan dan keyakinan. Semua sudah ditentukan. Manusia hanya wayang, Tuhan jualah dalangnya.

Bagaimanapun alasanmu, kamu tetap tidak akan pernah mencintaiku
Bagaimanapun perlakuanmu, aku tetap akan mencintaimu



0 komentar:

Posting Komentar