Dulu,
dulu sekali kita pernah sekelas berdua. Semenjak diruangan tersebut desir hati
mengungkap bahwa ada cinta yang mulai tumbuh di hati. Seiring waktu kita
menjadi banyak obrolan, mulai obrolan seputar ribetnya sebagai mahasiswa
semester dua, tentang bagaimana kamu menyukai pendakian, atau pengalaman kamu
di masa silam. Ah, kalau ingat hal tersebut rasanya aku ingin hidup di waktu
itu saja. Petaka mulai menghampiri kala aku dengan berani (ceroboh?) mulai
menyatakan kekagumanku kepadamu. Terang saja kau lama-lama mulai menjauhiku.
Aku coba membujuk temanku yang juga temanmu untuk mulai meng-spionase tentang
kamu. Tentang hal-hal yang belum kuketahui sepenuhnya. Malang memang, bukan
sambutan yang ramah buatku, kamu lebih memilih menghindar dan memblokir semua
kontak-kontakku.
Setelah melewati masa-masa 3 bulan
tanpa kabarmu, aku mulai mencoba strategi lainnya. Mungkin dia belum melihat
kesungguhan pikirku. Segera setelah itu mulai ku coba mengontakmu kembali dari
nomor yang kudapat dari grups Whatsapp kelas. Ternyata kamu merespon meski
sedikit, tidak apa-apa ku syukuri itu. Hari-hari terus berjalan. Meski kita
sering berkontak kontakan, namun kayaknya lebih dominan aku yang menananyakan
segala macam hal. Datar dan kadang lebih sering dibalas singkat. Dingin mungkin
tapi mau gimana lagi? Toh dia bilang gak mau mikirin hal cinta-cintaan dulu.
Sampai suatu saat aku masih usaha mencari celah-celah waktu hanya sekedar untuk
bisa berkegiatan bareng lagi. Kamu ingat kan saat kita sedang ikut kegiatan
bakti sosial? Aku yang sering bantu-bantu angkat-angkat barang menuju dapur
karena kamu bagian konsumsi. Yah tapi responmu masih dingin.
Aku masih belum kehilangan
harapan. Ku niatkan dalam hati untuk menulis namamu di puncak-puncak gunung
yang kudaki. Bukan main! Aku langsung mendaki 4 gunung sekaligus demi
menyematkan namamu di puncak-puncaknya. Sepulangnya pun aku masih ingin ngasi
kamu oleh-oleh. Kamu menerimanya. Duh senangnya! Tapi ketika aku menawarkan
bantuan untuk menemanimu ke stasiun, kamu menolak mentah-mentah. Kamu bilang
kamu bisa sendiri dan gak perlu bantuan siapapun. Semenjak itu aku makin yakin
berusaha. Aku juga sadar pembuktian cinta tidak melulu harus menyeberang lautan
ataupun mendaki puncak gunung, materi masih memegang peran terpenting dalam
kelangsungan hubungan. Aku mulai berusaha kecil-kecilan mulai dari berjualan
kue pisang, ikut jaga alat penelitian, sampai kerja apapun kulakoni demi
membuktikan kesungguhan cintaku.
Februari 2017 tepatnya, datang
kabar yang meruntuhkan hati. Seandainya hati ini made in china duh sudah
dari dulu jadi rongsokan. Kamu menelponku tiba-tiba katanya ingin menyampaikan
sesuatu. Deg! Kupikir aku ada salah kepadamu karena tulisanku tentangmu sudah
terlanjur aku post di blogku. Bukan itu yang kamu maksud. Kamu bilang sekarang
kamu sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Ya Allah, aku merasa tiang
langit sudah keropos seakan mau menghantam ubun-ubunku. Leleh juga akhirnya air
mata ini saking kabar ini gak kuduga sebelumnya. Kamu pun minta maaf dan
memintaku untuk mulai menjauhimu. Aku menghela nafas panjang, seakan-akan
alasan yang kamu buat dahulu itu hanya tipu muslihat.
Semenjak kejadian itu aku merasa
kesungguhanku ini gak ada gunanya. Buat apa coba aku yang berusaha mati-matian
toh bukan aku yang akhirnya kamu pilih. Kalau kamu suruh pilih mending sakit
hati atau sakit fisik, ya aku bakal menjawab mending badanku yang luka daripada
harus hati yang infeksi, sakit. Mula-mula beberapa bulan aku harus membiasakan
diri dengan kesedihaan. Jordi teman baikku pun menilai aku yang terlalu lebay
disini. Mungkin dia benar, mungkin aku yang harus mengalah. Sebulan berikutnya
lagi-lagi aku masih saja pengen berusaha, mencari celah diantara hubungan
kalian. Eh kamu pun membalas lagi pesan-pesan yang kukirim, kukira ini mungkin
kesempatanku(?). Malah chattingan kita lebih intens dari yang dulu-dulu. Aku
sempat berpikir aku hanya pelarian dari hubungan kamu yang mungkin bermasalah.
Tak apalah, aku menikmati kesempatan ini. Mengantarkanmu ke stasiun saat kamu
mau berangkat menuju Cirebon adalah momen terindah yang kumiliki bersamamu. Berlanjut
kamu memintaku untuk mencarikanmu kost-kostan baru, menggambar peta Asia
Tenggara, minum kopi bersama.
Delusiku
terus berlanjut sampai akhirnya kamu mulai mengusiknya dengan permintaan. Hanya
satu, tolong jauhin aku. Kenapa? Kenapa saat kurasa rintik hujan yang turun
mulai melambat ini kemudian menjadi deras lagi? Semenjak itu kamu mulai jaga
jarak lagi denganku. Pesan-pesan ku hanya dibalas dengan ok, engga, gapapa,
makasih, singkat padat menyakitkan.
Mungkin
cowokmu tidak terima dengan kehadiranku yang menggangu hubungan kalian. Dia
mulai menelponku berkali-kali meminta untuk bertemu. Dengan nada yang angkuh
dia mengirim pesan singkat padaku yang menjelaskan dia gamau berurusan dengan
polisi. Duh, ini kok anak sombong banget? Kamu pikir aku takut? Singkatnya
setelah besoknya bertemu, lagak dia yang kupikir bakal sok jagoan berbanding
terbalik. Muka pucat, bibir gemetar, dan berlari menemui satpam seakan aku
ingin membunuhnya ditambah dia yang mulai sesak nafas. Laki macam apa itu yang
dengan gertakan sudah mewek? Kupikir kamu salah pilih orang na!
Kejadian
itu pun berlalu, kamu akhirnya benar-benar memblokir kontakku. Tidak ada lagi
kabar darimu semenjak kejadian tersebut. Ku pun penasaran kadang-kadang kucoba
lagi untuk memulai pesan, sayang selama dua tahun chatku hanya menjadi angin
lalu. Kita masih sering berpapasan. Hatiku mulai angkuh merasa kamu benar-benar
memusuhiku, tak nampak suatu sapaan apapun meski kita pernah satu kelas lagi.
Kita benar-benar seperti orang asing.
Dua
tahun berlalu, jangan kira aku buta kabarmu. Melalui teman-temanmu aku sesekali
aku bertanya kabarmu. Kamu bakal lulus tahun ini. Kupikir apa salahnya jika
kuucapkan selamat. Yah coba saja siapa tahu gak diblokir lagi. Teng! Centang
dua! Kamu mulai membacanya dan membalasanya, meminta maaf akan kejadian yang
lalu. Alhamdulillah kontakku sudah tidak diblokir lagi. Mukjizat macam apa yang
masih terjadi abad ini? Aku bahagia.
Jangan
kamu anggap hidup ini bakal ada happy ending seperti di film kebanyakan.
Patrick bilang "hidup ini memang tidak adil jadi biasakanlah!". Bukan
tanpa sebab aku berharap kesempatan yang tidak pernah kamu berikan kepadaku.
Kamu menelponku selama dua jam bercerita banyak hal bagaimana dua tahun berlalu
dan banyak berubah, bagaimana dia memperlakukanmu sampai kamu bersedih dan
bagaimana kamu bercerita perlakuan keluarganya dan depresi yang kamu derita dan
bagaimana sebenarnya kamu terpaksa menerimanya. Duh nana, aku pun juga depresi
seperti layaknya manusia. Aku pun bisa menangis, marah, kecewa sama seperti
yang kamu rasakan. Kamu juga bilang bahwa (lagi-lagi) kamu ingin sendiri karena
tidak ingin dikecewakan lagi. Aku memohon diberikan kesempatan selayaknya yang
kamu berikan kepadanya. Kamu bilang bahwa kamu ingin aku tau sisi burukmu dan
kamu rasa aku tidak mampu menerimanya. Jodoh segalanya adalah kuasa ilahi kamu
bilang maka sudahlah jangan berharap kepadaku.
Maaf
aku mungkin memaksa suratan takdir dengan tetap mencintaimu, aku lupa bahwa
jodoh, rejeki, dan kematian itu merupakan teritori yang Maha Kuasa. Tidak ada
urusannya dengan kesungguhan dan keyakinan. Semua sudah ditentukan. Manusia
hanya wayang, Tuhan jualah dalangnya.
Bagaimanapun alasanmu, kamu tetap tidak akan pernah
mencintaiku
Bagaimanapun perlakuanmu, aku tetap akan mencintaimu
0 komentar:
Posting Komentar