Pulang lewat Bima
adalah satu-satunya cara untuk kembali ke Bali semenjak kami kehabisan tiket
Bajo-Benoa. Sape adalah salah satu kecamatan yang terletak di sebelah timur
Kabupaten Bima. Sape juga satu-satunya kecamatan yang memiliki pelabuhan
sehingga menjadi penghubung antar NTB-NTT. Tiket kapal laut Bajo-Sape berkisar
60.000 rupiah per orang. Durasi perjalanan berkisar 7-8 jam, terasa cukup lama
namun kita akan disuguhi gugusan pulau-pulau yang ada di sekitaran Labuan Bajo
dan Pulau Sumbawa. Pulau Sangeang yang menjadi panorama utama perjalanan ini,
terlihat begitu gagah menjulang dikelilingi laut disekitarnya. Sesampainya di
Sape kami langsung mencari penginapan untuk beristirahat dan melanjutkan
perjalanan. Sebelum meninggalkan Sape, kami menyempatkan diri mengambil
beberapa foto. Sape memang terasa lebih panas, lebih-lebih saat musim kemarau
dimana yang terlihat semua berwarna coklat dan gersang.
|
Duh Panasnya! |
Kami berinisiatif
untuk mencari tumpangan menuju Kota Bima, namun kami harus menempuh 4 km
sebelum akhirnya mendapatkan tumpangan mobil bak bersama seorang ibu-ibu. Sang
sopir sangat ramah kepada kami bahkan membelikan kami minuman di tengah
perjalanan. Si ibu bercerita bahwa numpang-menumpang bukanlah suatu hal yang
asing di sini, sudah menjadi kebiasaan orang Bima untuk memberikan tumpangan
kepada orang-orang lain yang di temukan sepanjang perjalanan. Kebiasaan ini
terjadi karena memang transportasi umum di Pulau Sumbawa masih minim. Hal ini
tentu membawa keberkahan bagi backpacker yang kerjaannya nebeng.
|
Dekil |
Sepanjang
perjalanan bukit-bukit tandus nan eksotis memanjakan mata kami. Jalanan naik
turun bukit serta kelokan yang tajam menjadi teman perjalanan menikmati
keindahan Pulau Sumbawa. Tak terasa kami pun sampai di Kota Bima. Bima memang
bukan kota yang memanjakan masyarakatnya dengan mall-mall ataupun transportasi
modern, lebih dari itu Bima adalah sejarah panjang Kerajaan Bima Mbojo yang
bermula abad ke-13 sampai akhirnya bergabung dengan Indonesia. Kami mengunjungi
beberapa tempat di Bima semisal Museum Asi Mbojo, Mesjid Sultan Muhammad
Salahuddin, Alun-Alun Sera Suba, dan lain-lain.
|
Salah Satu Sudut Kota Bima |
|
Walaupun Sempat Hancur, Mesjid Ini Berhasil Dibangun Ulang |
Museum Asi Mbojo
yang awalnya adalah Istana Kesultanan Bima yang dibangun pada masa Sultan
Ibrahim. Arsitektur istana ini adalah arsitektur campuran dari arsitektur khas
Bima dan arsitektur Belanda. Pembangunan istana ini memakan waktu 3 tahun dari
1927-1929. Istana ini berdekatan dengan alun-alun dan Mesjid Sultan Muhammad
Salahuddin, yang dipengaruhi oleh konsep tata kota Jawa pada masa Islam. Mesjid
Sultan Muhammad Salahuddin dibangun pada tahun 1770 M oleh Sultan Abdul Kadim
Zilullah. Mesjid ini sempat
mengalami kerusakan pada masa perang kemerdekaan akibat terkena bom oleh
pasukan sekutu, namun kembali direhab atas inisiatif Hj Siti Maryam yang
merupakan putri mendiang Sultan Muhammad Salahuddin. Alun-alun Sera Suba merupakan sebuah lapangan terbuka yang terletak di depan Museum Asi Mbojo dan Mesjid Sultan muhammad Salahuddin. Alun-alun ini sekarang banyak difungsikan baik sebagai sarana olahraga, berkumpul, festival dan lain-lain. Kami juga mengunjungi Mesjid Terapung Amahami yang menjadi ikon wisata baru Kota Bima. Mesjid ini terlihat begitu mencolok diantara bebukitan dan laut, dengan desain unik yang merupakan hasil karya tim Universitas Petra Surabaya.
|
Dulunya Istana Sultan Sekarang Udah Jadi Museum |
|
Makam Keluarga Sultan Tepat Disamping Mesjid |
|
Mesjid Terapung Amahami |
Setelah
puas mengitari Kota Bima dengan berjalan kaki, kami memutuskan untuk memesan
tiket kembali ke Bali. Sayangnya loket pemesanan tiket di pelabuhan Bima
seringkali kami jumpai tutup maka dari itu kami pun membeli tiket secara
online. Kami menginap di sebuah musola yang berada di daerah Pelabuhan Bima.
Selama jelajah Bima dua hari, tiap pagi kami menitipkan tas di pos polisi dan
malamnya kembali lagi ke musola untuk tidur.
|
Pelabuhan Bima |
Mencari
makanan murah di Bima sangatlah mudah, untuk warung-warung tenda kebanyakan
harganya standar kisaran 10-15 ribu rupiah namun untuk yang ada di Pelabuhan
Bima harga sebungkus nasi cuman 5000 rupiah, meskipun sedikit kami sangat
terbantu dengan adanya porsi murah ini, apalagi dengan lauk ayam. Semoga
abang-abang yang jualan selalu dilimpahkan rejeki yang barokah. Beda dengan
Labuan Bajo yang memang daerah wisata sehingga tarif makan yang dipasang
lumayan mahal.
|
Nelayan Di Laut Bima |
|
Jauh Dari Hiruk Pikuk Kemacetan |
Itulah
Kota Bima dan sedikit bagian Pulau Sumbawa yang kami kunjungi. Kalau ditanya
sepanas apa Kota Bima di siang hari ya kami akan jawab Kota Bima adalah kota
terpanas yang pernah kami singgahi, dibalik itu Bima selalu menyenangkan untuk
dikunjungi. Bukit-bukit tandus senantiasa melambai kepada para manusia untuk
kembali lagi ke Bima entah untuk sekedar singgah ataupun menetap. Lautnya yang
biru tak sungkan untuk diambil ikannya ataupun sekedar mengabadikan keindahan
Pulau Sumbawa. Semoga kami bisa kembali, untuk melihat adatnya lebih jauh
ataupun sekedar melihat gagahnya Tambora yang belum pernah kami daki!
0 komentar:
Posting Komentar