Senin, 22 Februari 2021

Arkeologi Alternatif sebagai Alternatif Beropini dalam Arkeologi

    Saat tinggal di suatu pedesaan antara Gunung Gede dan Gunung Salak yang masih asri. Menikmati dinginnya udara khas pegunungan yang semilir menerpa wajah, kami berkumpul di saung setelah lelah berlatih salah satu silat tradisional. Nikmatnya singkong goreng yang masih basah oleh minyak panas, ditaburi penyedap rasa untuk menambah kelezatannya dan teh panas untuk mengalahkan hawa pegunungan yang menusuk. Perlahan-lahan kuhirup teh yang masih berasap, rasanya seperti ada bara api di lidah, menggoyahkan kerongkongan yang sedari tadi menunggu air mengalir.

    Sembari asyik menikmati cemilan, Uwak Buyut yang sedari tadi asyik berbicara, mulai bercerita mengenai batu-batu yang berada di kaki Gunung Salak yang dia kunjungi beberapa waktu silam. Batu-batu tersebut konon merupakan peninggalan Kerajaan Salakanagara. Mendengar hal tersebut, saya tertarik mendengar penuturan Uwak mengenai kerajaan Salakanagara lebih lanjut. Teman-teman disekitar juga ikut merapat mendengarkan. Kisahnya terus berlanjut sampai Uwak mengisahkan Salakanagara adalah kerajaan tertua yang ada di Nusantara. Konon, Kerajaan Salakanagara sudah berdiri sejak abad ke-2 Masehi, jauh lebih dahulu ketimbang Kerajaan Kutai Martadipura yang baru berdiri sejak abad ke-4. Meskipun diklaim lebih dahulu berdiri, sampai sekarang belum ada temuan lebih lanjut yang bisa melegitimasi pernyataan tersebut.

      Mendengarkan cerita, mitos, atau legenda memang lebih seru ketimbang mendengar penjelasan ilmiah yang kadang justru membosankan dan membingungkan. Terlebih legenda dapat membangkitkan imajinasi menjadi lebih aktif dan liar daripada pemaparan ilmiah. Mungkinkah ini sebabnya penjelasan non ilmiah lebih digandrungi oleh masyarakat?

         Pertanyaan ini berlanjut ke meja kuliah yang mana waktu itu diisi oleh Irmawati Marwoto-Johan, salah satu dosen arkeologi Universitas Indonesia yang menjelaskan tentang arkeologi alternatif.

"Masyarakat punya interpretasi sendiri dalam memaknai tinggalan arkeologi, jadi meskipun tidak berlandaskan ilmiah, interpretasi itu tetap harus diberi ruang sendiri" jelasnya. Hal inilah yang mendasari para ahli mengamini arkeologi alternatif sebagai bagian pseudo scientific archaeology.Dalam jurnalnya, Irmawati Marwoto-Johan menjelaskan penggunaan kata arkeologi alternatif dicetuskan oleh Tim Schadla-Hall (2004) sebagai padanan pseudo scientific archaeology ataupun fantasy archaeology yang mana hal ini lekat dengan penafsiran masyarakat awam atas benda cagar budaya yang ada di sekitar mereka.

        Lantas dimanakah posisi arkeologi alternatif dalam ilmu arkeologi dan masyarakat indonesia?

      Kebanyakan arkeolog menolak interpretasi yang di berikan oleh non-arkeolog. Mengapa begitu? Sebab pada dasarnya pengetahuan yang diberikan oleh para arkeolog sudah melewati tahapan ilmiah yang panjang sebelum menjadi suatu kesimpulan. Layaknya ilmu yang berkembang, kesimpulan ini boleh dibantah dengan penelitian selanjutnya yang juga berlandaskan ilmiah. Maka langkah arkeologi alternatif dinilai sebuah penyimpangan yang jauh mendekati kata "benar" karena hanya berlandaskan mitos atau legenda yang keabsahannya tentu diragukan.

               

                Keberadaan mitos-mitos di suatu benda atau bangunan termasuk kepercayaan lama yang ada di Indonesia, jauh sebelum ilmu arkeologi berkembang. Hal ini akhirnya menjadi legenda di suatu benda/tempat yang berakhir dengan pengeramatan. Bahkan tak jarang saking angkernya suatu tempat, penelitian ilmiah sering dihalang-halangi agar penduduk sekitar tidak mendapatkan bencana apabila mengganggu tempat tersebut. Tentunya interpretasi masyarakat tersebut tidaklah bisa disalahkan sepenuhnya, mengingat mereka hidup berdampigan dengan cagar budaya tersebut.    

                Arkeolog rupanya sudah memperhatikan aspek kedekatan masyarakat dengan benda cagar budaya; meletakkan hubungan mereka dalam harmoni saat pendataan namun juga berupaya untuk mengesampingkan fakta serta mitos dari masyarakat setempat. Hal inilah yang mengukuhkan status arkeolog sebagai interpreter utama. Malangnya, informasi penelitian yang harusnya menjadi konsumsi masyarakat hanya berakhir ditumpukan jurnal dan berakhir sesak di perpustakaan. Tak jarang ilmu-ilmu yang terangkup dari kertas berakhir di tangan pengepul ataupun penjual gorengan.

  Alhasil untuk memuaskan dahaga ketidaktahuan, maka masyarakat mulai berpaling kepada interpreter-interpreter yang lebih membumi. Paranormal, dukun atau sekarang populer juga dengan sebutan indigo. Masyarakat akhirnya mengesampingkan produk ilmiah dengan bahasa yang rumit dan mulai melihat penjelasan supranatural sebagai penjelasan utama. Perspektif masyarakat dalam menilai cagar budaya sangat dipengaruhi lingkup tempat tinggal serta pengalaman dalam berinteraksi dengan cagar budaya.

       Sebagai contoh kasus arkeologi alternatif adalah situs Trowulan yang penelitiannya terus dilakukan dari tahun 70 sampai sekarang, kurang mendapat antusias masyarakat dalam ulasan arkeologi. Situs Pendopo Agung misalnya yang dibangun oleh Kolonel Sampurna dianggap masyarakat sebagai pendopo keraton tempat Raden Wijaya dan juga pertapaannya. Banyak masyarakat yang berziarah dan bersemedi sembari memohon tuah dari tempat tersebut. Lain halnya dengan situs Siti Inggil yang dianggap sebagai makam Raden Wijaya dan istrinya, meskipun tidak ada bukti ilmiah, namun kepercayaan masyarakat akan makam tersebut sangat kuat. Sama halnya dengan Gunung Padang yang dianggap masyarakat sebagai piramida dan dikeramatkan.



Gambar 1. Pendopo Agung ( Sumber: Welly Handoko/travellingyuk.com)

               


Gambar 2. Siti Inggil yang diyakini masyarakat sebagai makam Raden Wijaya (Sumber: Dinas Pariwisata Mojokerto/disparpora.mojokertokab.go.id

      Selain masyarakat umum, ada beberapa kelompok yang menunjukkan eksistensinya dalam menilai benda cagar budaya dengan kacamata pseudo science, yang paling terkenal adalah Turangga Seta, komunitas pencinta sejarah dan budaya. Mereka banyak menafsirkan cagar budaya tanpa didasari narasi ilmiah atas ketidakpuasan terhadap tafsir sejarawan maupun arkeolog. Mereka memilih dupa dan roh leluhur sebagai medianya. Selain itu, terdapat pula interpretasi arkeologi alternatif yang sudah dibukukan semisal buku tentang Borobudur peninggalan Nabi Sulaiman.

    Dengan mudahnya masyarakat melakukan penafsiran, benda cagar budaya menjadi lebih rawan rusak atau penyimpangan sejarah demi pemantapan tafsir seperti kasus prasasti palsu Sungai Ci Mandiri Sukabumi, penggalian Gunung Padang, ataupun kasus lainnya.



Gambar 3. Prasasti palsu yang diklaim ditemukan di Sungai Ci Mandiri Sukabumi (Sumber: Lutfi Yondri/tirto.id)

Gambar 4. Buku Borobudur Peninggalan Nabi Sulaiman karya Fahmi Basya (Sumber: Google)

   Pada akhirnya, peran arkeolog dalam dekade ini  tidak hanya menggali lalu mengolah temuan arkeologi, tetapi juga mendampingi masyarakat dalam melakukan penafsiran, serta mengedukasi apa saja hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap cagar budaya. Sah-sah saja masyarakat ikut andil dalam penafsiran, entah itu penafsiran tunggal maupun kelompok. Interpretasi- interpretasi non arkeolog dimaksudkan untuk memberikan ruang dan melabelkan istilah "alternatif" daripada mengintimidasi mereka dengan mengatakan "palsu".

   Jelasnya, apapun penafsiran yang dilakukan, jangan sampai hal tersebut merusak cagar budaya ataupun memalsukan temuan. Barangkali kalau para arkeolog masih merasa kesusahan dalam menjangkau publik, boleh saja menilik arkeologi alternatif sebagai penyampaian informasi sekunder yang diselingi narasi ilmiah yang ringan, dan tentunya tidak keberatan jika dikisahkan layaknya  novel.


Minggu, 27 Desember 2020

Silat Cimande, Warisan Leluhur Sunda yang Berjaya

 

Gerak kepal tangannya menembus udara di sekitar kami hingga berhembus. Tangan yang mengayun dengan kokoh, membentuk semacam pagar penghalang bagi siapapun yang mencoba menyentuh badannya. Otot-otot tangan mengeras, terasa seperti sebuah ancaman halus dari balik kulit. Di tempat ini, meskipun dingin mengerubungi, semangat saya tetap menyala menyaksikan warisan tak benda ini diperagakan. Kelid, begitu nama jurus ini, diperagakan oleh Uwa Dama dan Ki Didih. Saya bersorak melihat jurus ketiga dalam Silat Cimande ini dipraktekkan langsung dihadapan saya.

Setelah usai, kami berbincang sembari menikmati kopi panas. Kebul asap kopi naik, perlahan-lahan menghilang dilalap udara dingin.

“Cimande itu meskipun terlihat keras, sebenarnya tekniknya tidak untuk membunuh, hanya menegur” terang Uwa Dama.

“Kuda-kuda yang dipakaipun jalannya mundur, itulah filosofi yang orang Cimande pegang tara pasea raga ” tambah Ki DIdih.

Memang Cimande diajarkan untuk menegur, bukan membunuh apalagi memusnahkan. Ki Didih, salah satu guru besar Cimande, menambahkan bahwa dasar Cimande itu adalah Taleq atau sumpah yang diambil sebelum menjadi murid. Taleq didasari atas ajaran agama Islam, oleh karena itu Cimande ini kental sekali dengan unsur Islam, meskipun belajar silat ini tidak terbatas untuk kalangan tertentu. Ada 14 poin dalam taleq ini yang harus dipatuhi seluruh pesilat Cimande. Salah satunya adalah belajar cimande bukan untuk gagah-gagahan tapi untuk mencari keselamatan dunia akhirat.


Silat Cimande diakui merupakan bentuk silat tertua di Tanah Pasundan oleh aliran silat lainnya. Silat Cimande berasal dari Desa Cimande terletak di Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Suasana desanya asri, dihimpit antara dua gunung, Gede dan Salak, selalu dihembusi angin baik siang dan malam menjadikan suasana sejuk dikala siang dan dingin dikala malam menjelang. Ada 5 kampung yang membentuk desa ini yaitu Tarikolot, Nangor,  Babakan, Lemah Duhur, dan Kampung Baru.

Dalam beberapa versi asal usul silat ini, Abah Khaer merupakan tokoh yang berjasa menyebar luaskan aliran ini hingga menjadi terkenal. Berdasarkan versi Kampung Tarikolot, Silat Cimande merupakan keterampilan yang diajarkan serta diwariskan oleh leluhur-leluhur Cimande untuk menjadi pelajaran bagi anak cucu. Gerakannya terinspirasi dari gerakan tubuh sehari-hari sehingga silat ini lekat dalam kehidupan.

Ada tiga bentuk jurus yang diajarkan dalam Silat Cimande yaitu  Kelid Cimande, Pepedangan, dan  Tepak Selancar. Belajarnya pun tidak diawali dengan kuda-kuda berdiri, tetapi duduk terlebih dahulu. Hal ini mengandung makna bahwa manusia memulai sesuatu secara berangsur-angsur. Tiada berdiri tanpa duduk terlebih dahulu.

Ki Didih merupakan keturunan langsung dari sesepuh Cimande Tarikolot. Diajari oleh beliau merupakan berkah tersendiri bagi saya sebagai penggemar beladiri tradisional. Beberapa jurus dasar beliau ajarkan kepada saya. Kelihatan keras tangan beliau mulai menghantam tangan saya yang kurus. Sebentar saja tangan saya mulai terasa nyeri. Hasilnya langsung terlihat. Bengkak.

Setelah dirasa cukup, bukannya menyudahi latihan, beliau malah menambah porsi latihan dengan kecer tangan. Kata beliau tangan saya belum cukup terlatih, maka perlu ditambah lagi. Kecer tangan memang menjadi bagian dari tahapan latihan Silat Cimande, fungsinya adalah menggeser serat daging yang ada di tulang, hingga nantinya mengurangi rasa sakit ketika tangan menghantam tangan. Kecer tangan menggunakan media tebu yang sudah dipadarkan dalam sekam padi yang panas hingga air tebunya hilang dan menjadi lebih keras.

Tebu mulai diayunkan. Puk puk puk, suara tebu bertemu dengan tangan saya. Tangan menjadi memerah, lama-lama terlihat membiru. Rasanya nyeri seperti terantuk meja sekolah.

Peurih kudu jadi peurah” ucap Ki Didih kepada saya. Dan memang belajar silat inilah tujuan saya datang kemari.

Hari-hari selanjutnya ketika tangan saya sudah terlihat seperti raksasa, barulah tangan saya mulai diurut Ki Didih.

“Orang tua kita dahulu mewariskan ilmu tidak tanggung-tanggung, kita juga diajarkan untuk mengurut sebagai bagian dari latihan Silat Cimande” papar Ki Didih dihadapan saya. Nyut-nyutan rasanya ketika balur penca diusapkan ke tangan. Balur Penca dibuat khusus oleh guru-guru yang mempunyai silsilah, tidak sembarangan orang bisa membuat minyak ini.

Sembari memperhatikan, saya juga diajari cara mengurut tangan saya yang bengkak. Cimande bukan cuma diajarkan “merusak” tapi juga diajarkan cara memperbaikinya.

Saung Penca tempat Ki Didih melatih, tidak pernah sepi dari orang-orang yang datang berkunjung, entah untung belajar silat, silaturahmi, atau bahkan urut. Bahkan orang-orang dari luar negeri yang penasaran dengan Silat Cimande langsung datang belajar kesini. Inilah  mungkin sebagian keberkahan ilmu sesepuh Cimande yang hingga kini dirasakan, sesepuh Cimande tidak pernah kemana-mana tapi Cimande terkenal dimana mana.

Pesilat Cimande cilik mempraktikkan jurusnya

Ki Didih mengajari anak-anak Silat Cimande

Bersama Ki Didih

Latihan rutin setiap malam minggu


*Tulisan ini pernah dimuat di telusuri.id


Senin, 10 Agustus 2020

Obrolan Dikala Memancing

 

 

                Pagi ini secerah pagi-pagi biasanya. Kami berencana memancing hari ini. Sehabis masa PSBB yang mengurangi waktu diluar rumah, memancing terasa lebih istimewa daripada biasanya. Meski masih harus menggunakan masker, kami melajukan kendaraan kami menuju toko pemancingan yang menjual semua kebutuhan pemancing. Membeli joran baru dan umpan pancing. Tampaknya umpan ludes diborong para pemancing yang berhamburan hari ini. Kami disisai sedikit saja, sekedar cukup memuaskan hasrat memancing yang beberapa waktu yang lalu sempat dilarang pemerintah daerah.

                Kami menuju spot pemancingan, terletak dibelakang perumahan yang dulunya adalah rawa-rawa serta sawah. Umpan kami sisitkan, kail kami turunkan dan satu-dua ikan mulai masuk ke ember kami. Menggelepar.

                Tak jauh dari kami ada seseorang yang nampaknya sedang membersihkan belukar yang mulai tumbuh disela sela tanaman padi. Mimiknya serius. Nampaknya begitulah kerja harian yang dia lakukan sehabis menanam padi. Beliau menghampiri kami dan menanyakan hasil pancingan kami hari ini. Pembicaraan seputar korona seakan menjadi menu wajib obrolan. Beliau mengeluhkan kenapa harus rumah ibadah yang ditutup? Toh mall-mall tetap bisa buka dengan protokol kesehatan yang ketat. Sedangkan mesjid, kenapa tidak? Apa karena masuk mesjid 5x sehari sehingga ditakutkan menjadi episentrum penyebaran korona? Toh siapa yang bakal masuk mall sehari 5x? Mending dibuka saja toh yang ke mall pasti orang berduit ini? Kata pemerintah kan penyebaran penyakit dari orang miskin ini. Bukan orang kaya.

                 "Memang manusianya udah lama kiamat meski dunianya belum" ucap Pak Aman. Benar juga, kelakuan manusia sudah dari dulu kiamat. Katanya semakin mendekati kiamat, maka kelakuan manusia semakin rusak. Lha kan dari awal manusia itu udah rusak sampai malaikat saja bingung dengan maksud penciptaan kita yang katanya bakal membawa kerusakan di muka bumi. Beliau mengakhiri pembicaraan dengan mengajak kami mampir di rumahnya suatu saat kalau memancing lagi. Kami mengganguk tanda setuju dengan tawaran tersebut. Lagipula menambah banyak relasi justru menyenangkan.

                Matahari sudah diatas kepala. Semenjak Pak Aman pergi,ikan ikan juga nampaknya tak lagi menghampiri pancingan kami. Kami berpindah tempat menuju tempat yang kami perkirakan lebih banyak ikannya. Berharap pulang sembari membawa sebakul ikan. Ternyata tempat baru tidak seindah yang dibayangkan. Ikan yang kami dapat lebih sedikit dari sebelumnya. Namun sebaliknya, pemancing lain nampak membawa ember berisi ikan-ikan besar. Dongkol rasanya mengetahui kenyataan tersebut. Pancing yang sama umpan yang sama tapi hasil yang berbeda. Apakah ini adil? Kami menyadari kami keliru kala beriri hati. Memancing adalah pembelajaran untuk menjadi sabar. Tolak ukur umpan tak dapat dijadikan patokan besarnya ikan, panjang joran tidak membuatmu lebih banyak menangkap ikan. Terus apa patokannya? Tentu saja tidak ada. Seperti hidup apa patokan sukses? Kaya kah? Jabatan kah? Tidak tahu, saya tidak bisa menjawab.


Kami hanya berharap kami beruntung hari ini.

 

                Seorang petani jeruk menyuruh kami mengambil berapa saja jeruk yang ada di kebunnya, di tempat kami memancing. Dia berbicara banyak kepada kami mengenai hasil panen tahun ini atau bagaimana orang memborong jeruknya dalam sehari. Senyumnya saat berbicara mampu membuat siapa saja betah mendengarkan ceritanya. Menurut dia Jeruk Madang, yang dia tanam mempunyai rasa yang berbeda daripada jeruk dari daerah lain di Kalsel. Tidak terlalu masam dan juga tidak terlamapau manis. Sedang saja. Menurutnya lagi rasa secukupnya inilah yang membuat Jeruk Madang digemari di daerah Kalsel. Pemancing disebelah kami ikut senyum-senyum mendengar cerita sang petani meski kelihatannya umpannya tak kunjung disambar ikan. Konon kalau terlambat panen, si petani bakal kehilangan jeruk dalam jumlah banyak, soalnya sering ada pencurian hasil panen besar-besaran yang bakal merugikan si petani.

                Sebelum pulang kami diberi oleh oleh beberapa Jeruk Madang oleh beliau. Beberapa kami simpan, sisanya kami bagikan kepada para pemancing yang juga ada disekitar kami. Sudah selayaknya kami tidak nikmati sendiri hadiah dari sang petani.

                Puas kami rasakan hari ini meskipun ikan yang kami peroleh hanya sedikit.



   Buah cemot yang sudah mulai jarang terlihat

                                          

Jeruk Madang, konon memiliki kulit tipis dan daging tebal dengan wangi semerbak

                Jeruk Madang, konon memiliki kulit tipis dan daging tebal dengan wangi semerbak