Sabtu, 27 Mei 2017

Merbabu, Together We Achieved More


          Tiga hari lamanya aku beristirahat di rumah salah seorang teman bernama Royhan di Wonosobo. Royhan ini merupakan sejawatku di pondok pesantren Al-Amien Prenduan, orangnya baik dan berperawakan kekar. Selama tiga hari itu aku mencuci baju, jalan-jalan ke Situs Liyangan, serta berfoto ria di Alun-alun Wonosobo. Tidak terasa waktu tiga hari berjalan begitu cepat, mengingatkanku akan rencana selanjutnya. Gunung Merbabu merupakan destinasi selanjutnya. Aku akan melakukan pendakian via Selo yang katanya merupakan jalur pendakian terbaik Merbabu.Kali ini aku naik bis ke Solo lalu turun di Boyolali. Rute yang dilalui adalah melalui Secang, Seroto, Ambarawa, Salatiga, hingga Boyolali.
           Hari sudah malam ketika menginjakkan kaki di terminal Boyolali. Aku pun memutuskan untuk mencari tempat yang layak untuk tidur malam itu.Awalnya aku duduk di depan w umum sembari mengisi daya hp. Ternyata tepat disampingnya ada musola, juga beberapa orang yang baru turun dari pendakian. Aku masuk ke dalam dan beristirahat. Di dalam musola ada kira-kira lima orang. Sebagian dari mereka ingin mendaki, sebagian lagi cuman mampir sholat Isya. Disitulah awal mula aku berkenalan dengan salah satu bapak-bapak (lupa namanya!) beserta sang ponakan, Huda. Huda merupakan seorang siswa SMA yang gemar menjelajah, sedangkan pakdenya dulunya juga suka hiking. Karena tujuan kami sama, maka kita memutuskan menjadi satu rombongan.
          Pagi-pagi sekali setelah sholat subuh, kita bersiap-siap menunggu angkutan umum menuju Pasar Cepogo. Ojek-ojek serta mobil carteran tidak mau kalah menawari kami. Kupikir akan mahal tentunya biaya ngojek ke basecamp Merbabu, makanya kutolak. Jam tujuh pagi baru beroperasi angkutan umum menuju Pasar Sapi Boyolali. Angkutan umum di Pasar Sapi Boyolali seperti halnya kopaja di Jakarta. Penuh sesak diisi ibu-ibu yang selesai berdagang maupun mau berdagang dengan barang bawaan yang berjubel. Orang-orang disini sangat ramah. Dari Pasar Sapi kita naik lagi angkutan umum jurusan Cepogo terus naik lagi menuju Selo. Total biaya perjalanan cuman habis sepuluh ribu!
Hello Merbabu, We Are ready!

            Kami turun pas didepan gerbang komplek pendakian Selo. Berjalan sekitar  dua kilometer menuju basecamp Selo. Aku baru tau kalau ternyata di Selo ada dua basecamp yang tidak berjauhan. Kami memilih untuk melewati jalur baru. Meluangkan waktu sejenak di basecamp, makan nasi telur serta ritual mandi sebelum pendakian dimulai.
          Dari basecamp menuju pos 1 kita akan disuguhi pemandangan berupa kebun-kebun warga, tempat wisata, serta semak belukar. Umumnya tidak terlalu beda dengan gunung-gunung lainnya. Pos 1 berada di ketinggian 2000 mdpl. Kabut mulai turun saat kami menanjak menuju pos 2. Banyak orang-orang beristirahat disini. Aku beristirahat disini sembari menunggu Huda dan pakdenya yang ketinggalan di belakang. Sebenarnya ini disebabkan egoku yang memuncak. Aku tidak suka terlalu sering beristirahat di jalan. Bagiku istirahat itu ya di pos pendakian. Jadi aku berjalan mendahului mereka(jangan ditiru ya!). Akhirnya Huda dan pakde sampai di pos 2. Nama lain dari pos 2 ini adalah tikungan macan(?) Total waktu kami beristirahat disini hampir satu jam. Lanjut naik sembari kabut yang mulai berubah menjadi bulir-bulir air tetapi bukan hujan.
Papan Plang Pos 2

           Menuju pos Sabana 1  kita disuguhi vegetasi yang mulai terbuka dan banyak sabananya. Ada tempat terbuka yang cukup luas untuk berkemah. Kami tidak berkemah disini karena sudah terlalu penuh dan juga karena kami tidak membawa tenda sebenarnya hehehe, perjalanan pun kami lanjutkan menuju pos Sabana 1. Akhirnya setelah melalui beberapa tanjakan yang cukup menguras tenaga, kami sampai di pos Sabana 1. Pos ini merupakan tempat favorit para pendaki untuk mendirikan tenda. Tempatnya luas dengan latar belakang puncak Merbabu serta Gunung Merapi. Kami berkeliling sebelum mencari tempat untuk membuat bivak sarang macan karena dibutuhkan pepohonan yang kokoh untuk mengikat flysheet. Kami mendirikan bivak tepat di arah Selatan pos Sabana 1. Tempatnya sangat strategis, sudah ada parit-parit serta terisolasi dari tenda yang lain. Cuaca saat itu sedang berawan, kami tidak dapat menyaksikan kekokohan Merapi dari seberang. Selesai mendirikan bivak, kami berjalan-jalan sekaligus silaturahmi ke tetangga, membantu mendirikan tenda kelompok-kelompok lainnya. Seperti kebiasaan aku setiap naik gunung, aku selalu menyempatkan diri merenung. Berjalan ke arah sunyi dan merenungkan kehidupanku.
            Sore pun menjelang, karena ketiadaan kompor, kami memasak menggunakan kayu bakar yang di dapatkan pakde dari pohon-pohon mati. Rumput kering menjadi pemantik yang sangat pas. Mie sarimi yang kami bawa pun dimakan dengan lahap. Sengaja bara api sisa memasak tidak kami matikan untuk menghangatkan diri di sore yang dingin itu.
            Malam hari, aku, Huda serta Pakde berbagi kisah hidup kami. Huda yang sangat menyukai kegiatan outdoor bercerita dia pernah ikut suatu kegiatan ke Papua. Sementara Pakde bercerita pendakian jaman dahulu yang hanya beralaskan sendal jepit serta bivak alam. Aku pun belajar bahasa Jawa dari Huda yang memang berasal dari pekalongan, mulai dari Ngoko, Madya, sampai Inggil. Ternyata bahasa Jawa itu sangat kaya dan ribet belajarnya kalau cuman sehari!
Mau Kemanakah Anda?

Sabana 1 Terselubung Kabut

Bivak Sarang Macan: Sederhana namun elegan

            Sambil bercerita panjang lebar, matapun mulai memejamkan diri, berangsur angsur tertidur satu per satu. Suara berisik kembang api pada tengah malam membangunkanku dari tidur ayam. Hujan juga mulai turun sehingga kami merapatkan diri ke tengah. Paginya kami berangkat untuk summit attack pukul empat subuh. Berbondong-bondong bersama ratusan manusia ingin menyaksikan matahri terbit dari puncak Merbabu. Perjalanan ke puncak harus melewati Sabana 2 serta puncak-puncak tipuan lainnya. Perjalanan yang disertai kabut selalu membawa harap-harap cemas; matahari takkan nampak.
            Waktu menunjukkan pukul 6 lebih tetapi kabut masih tak beranjak dari angkasa di atas kami. Sesampainya di puncak Trianggulasi, kami mendapati bahwa kabut menyelimuti sebagian besar langit sehingga sang surya tidak terlihat sama sekali. Kami berjalan menuju puncak lainnya, Keteng Songo. Puncak Keteng Songo memiliki ketinggian 3142 mdpl. Padatnya manusia yang menunggu kabut sirna membuat kami beralih lagi ke puncak Trianggulasi yang masih lumayan sepi. Satu jam setengah kami menuggu, tidak ada tanda-tanda kabut akan turun. Dengan berat hati kami menyudahi keberadaan kami di puncak. Kami turun perlahan sembari berfoto ria. Ternyata pas kami sampai di Watu Lumpang (antara puncak dan Sabana 2) cuaca berangsur-angsur cerah bahkan panas! Walhasil kami hanya cengengesan meratapi nasib yang berlalu.
Sampai Juga Akhirnya Di Puncak Merbabu

            Kembali ke Pos Sabana 1, merapikan barang-barang bawaan. Kami pun turun dengan kecepatan maksimal. Turun melewati jalur Selo yang lama biar dapat view yang berbeda dari kemaren. Alhasil kami berhasil sampai ke basecamp dalam kurun waktu tiga jam saja. Perjalanan saya bersama Huda dan Pakde harus berakhir di basecamp ini. Huda dan Pakde ingin segera balik ke Pekalongan dan aku yang ingin melanjutkan pendakian selanjutnya ke Merapi. Kami sempatkan bertukar nomor dan foto sebelum berpisah.

Keren kan? Wkwkw


            Pelajaran yang sangat berharga kupetik disini. Aku yang selalu berjalan dengan langkah cepat kedepannya harus bisa menyesuaikan dengan rombongan. Apa gunanya menjadi tercepat jika kecepatan hanya akan meninggalkan kawan-kawanmu dibelakang? Ketika kamu dipercaya memimpin maka lunturkan ego pribadimu demi rombongan yang berada di barisanmu. Terima kasih Huda dan Pakde, kalian adalah guru yang mengajarkanku meruntuhkan egoku! Sampai ketemu lagi.

4 komentar:

  1. cad lu sendirian dri depok ?

    BalasHapus
  2. trus hikingnya nimbrung2 sm rombongan ,which is even u dont know at all?

    BalasHapus
    Balasan
    1. kenalan dulu atuh nanti juga akrab dan jadi temen :)

      Hapus