Tiga hari lamanya aku beristirahat
di rumah salah seorang teman bernama Royhan di Wonosobo. Royhan ini merupakan
sejawatku di pondok pesantren Al-Amien Prenduan, orangnya baik dan berperawakan
kekar. Selama tiga hari itu aku mencuci baju, jalan-jalan ke Situs Liyangan,
serta berfoto ria di Alun-alun Wonosobo. Tidak terasa waktu tiga hari berjalan
begitu cepat, mengingatkanku akan rencana selanjutnya. Gunung Merbabu merupakan
destinasi selanjutnya. Aku akan melakukan pendakian via Selo yang katanya
merupakan jalur pendakian terbaik Merbabu.Kali ini aku naik bis ke Solo lalu turun
di Boyolali. Rute yang dilalui adalah melalui Secang, Seroto, Ambarawa,
Salatiga, hingga Boyolali.
Hari sudah malam ketika menginjakkan
kaki di terminal Boyolali. Aku pun memutuskan untuk mencari tempat yang layak
untuk tidur malam itu.Awalnya aku duduk di depan w umum sembari mengisi daya
hp. Ternyata tepat disampingnya ada musola, juga beberapa orang yang baru turun
dari pendakian. Aku masuk ke dalam dan beristirahat. Di dalam musola ada
kira-kira lima orang. Sebagian dari mereka ingin mendaki, sebagian lagi cuman
mampir sholat Isya. Disitulah awal mula aku berkenalan dengan salah satu
bapak-bapak (lupa namanya!) beserta sang ponakan, Huda. Huda merupakan seorang
siswa SMA yang gemar menjelajah, sedangkan pakdenya dulunya juga suka hiking.
Karena tujuan kami sama, maka kita memutuskan menjadi satu rombongan.
Pagi-pagi
sekali setelah sholat subuh, kita bersiap-siap menunggu angkutan umum menuju
Pasar Cepogo. Ojek-ojek serta mobil carteran tidak mau kalah menawari kami.
Kupikir akan mahal tentunya biaya ngojek ke basecamp Merbabu, makanya kutolak.
Jam tujuh pagi baru beroperasi angkutan umum menuju Pasar Sapi Boyolali.
Angkutan umum di Pasar Sapi Boyolali seperti halnya kopaja di Jakarta. Penuh
sesak diisi ibu-ibu yang selesai berdagang maupun mau berdagang dengan barang
bawaan yang berjubel. Orang-orang disini sangat ramah. Dari Pasar Sapi kita
naik lagi angkutan umum jurusan Cepogo terus naik lagi menuju Selo. Total biaya
perjalanan cuman habis sepuluh ribu!
Hello Merbabu, We Are ready! |
Kami turun pas didepan gerbang
komplek pendakian Selo. Berjalan sekitar
dua kilometer menuju basecamp Selo. Aku baru tau kalau ternyata di Selo
ada dua basecamp yang tidak berjauhan. Kami memilih untuk melewati jalur baru.
Meluangkan waktu sejenak di basecamp, makan nasi telur serta ritual mandi sebelum
pendakian dimulai.
Dari basecamp menuju pos 1 kita akan
disuguhi pemandangan berupa kebun-kebun warga, tempat wisata, serta semak
belukar. Umumnya tidak terlalu beda dengan gunung-gunung lainnya. Pos 1 berada
di ketinggian 2000 mdpl. Kabut mulai turun saat kami menanjak menuju pos 2.
Banyak orang-orang beristirahat disini. Aku beristirahat disini sembari
menunggu Huda dan pakdenya yang ketinggalan di belakang. Sebenarnya ini
disebabkan egoku yang memuncak. Aku tidak suka terlalu sering beristirahat di
jalan. Bagiku istirahat itu ya di pos pendakian. Jadi aku berjalan mendahului
mereka(jangan ditiru ya!). Akhirnya Huda dan pakde sampai di pos 2. Nama lain
dari pos 2 ini adalah tikungan macan(?) Total waktu kami beristirahat disini
hampir satu jam. Lanjut naik sembari kabut yang mulai berubah menjadi bulir-bulir
air tetapi bukan hujan.
Papan Plang Pos 2 |
Menuju pos Sabana 1 kita disuguhi vegetasi yang mulai terbuka dan
banyak sabananya. Ada tempat terbuka yang cukup luas untuk berkemah. Kami tidak
berkemah disini karena sudah terlalu penuh dan juga karena kami tidak membawa
tenda sebenarnya hehehe, perjalanan pun kami lanjutkan menuju pos Sabana 1.
Akhirnya setelah melalui beberapa tanjakan yang cukup menguras tenaga, kami
sampai di pos Sabana 1. Pos ini merupakan tempat favorit para pendaki untuk
mendirikan tenda. Tempatnya luas dengan latar belakang puncak Merbabu serta
Gunung Merapi. Kami berkeliling sebelum mencari tempat untuk membuat bivak
sarang macan karena dibutuhkan pepohonan yang kokoh untuk mengikat flysheet.
Kami mendirikan bivak tepat di arah Selatan pos Sabana 1. Tempatnya sangat
strategis, sudah ada parit-parit serta terisolasi dari tenda yang lain. Cuaca
saat itu sedang berawan, kami tidak dapat menyaksikan kekokohan Merapi dari
seberang. Selesai mendirikan bivak, kami berjalan-jalan sekaligus silaturahmi
ke tetangga, membantu mendirikan tenda kelompok-kelompok lainnya. Seperti
kebiasaan aku setiap naik gunung, aku selalu menyempatkan diri merenung.
Berjalan ke arah sunyi dan merenungkan kehidupanku.
Sore pun menjelang, karena ketiadaan
kompor, kami memasak menggunakan kayu bakar yang di dapatkan pakde dari
pohon-pohon mati. Rumput kering menjadi pemantik yang sangat pas. Mie sarimi
yang kami bawa pun dimakan dengan lahap. Sengaja bara api sisa memasak tidak
kami matikan untuk menghangatkan diri di sore yang dingin itu.
Malam hari, aku, Huda serta Pakde
berbagi kisah hidup kami. Huda yang sangat menyukai kegiatan outdoor bercerita
dia pernah ikut suatu kegiatan ke Papua. Sementara Pakde bercerita pendakian
jaman dahulu yang hanya beralaskan sendal jepit serta bivak alam. Aku pun
belajar bahasa Jawa dari Huda yang memang berasal dari pekalongan, mulai dari
Ngoko, Madya, sampai Inggil. Ternyata bahasa Jawa itu sangat kaya dan ribet
belajarnya kalau cuman sehari!
Mau Kemanakah Anda? |
Sabana 1 Terselubung Kabut |
Bivak Sarang Macan: Sederhana namun elegan |
Sambil bercerita panjang lebar,
matapun mulai memejamkan diri, berangsur angsur tertidur satu per satu. Suara
berisik kembang api pada tengah malam membangunkanku dari tidur ayam. Hujan
juga mulai turun sehingga kami merapatkan diri ke tengah. Paginya kami berangkat
untuk summit attack pukul empat subuh. Berbondong-bondong bersama ratusan
manusia ingin menyaksikan matahri terbit dari puncak Merbabu. Perjalanan ke
puncak harus melewati Sabana 2 serta puncak-puncak tipuan lainnya. Perjalanan
yang disertai kabut selalu membawa harap-harap cemas; matahari takkan nampak.
Waktu menunjukkan pukul 6 lebih
tetapi kabut masih tak beranjak dari angkasa di atas kami. Sesampainya di
puncak Trianggulasi, kami mendapati bahwa kabut menyelimuti sebagian besar
langit sehingga sang surya tidak terlihat sama sekali. Kami berjalan menuju
puncak lainnya, Keteng Songo. Puncak Keteng Songo memiliki ketinggian 3142
mdpl. Padatnya manusia yang menunggu kabut sirna membuat kami beralih lagi ke
puncak Trianggulasi yang masih lumayan sepi. Satu jam setengah kami menuggu,
tidak ada tanda-tanda kabut akan turun. Dengan berat hati kami menyudahi
keberadaan kami di puncak. Kami turun perlahan sembari berfoto ria. Ternyata
pas kami sampai di Watu Lumpang (antara puncak dan Sabana 2) cuaca
berangsur-angsur cerah bahkan panas! Walhasil kami hanya cengengesan meratapi
nasib yang berlalu.
Sampai Juga Akhirnya Di Puncak Merbabu |
Kembali ke Pos Sabana 1, merapikan
barang-barang bawaan. Kami pun turun dengan kecepatan maksimal. Turun melewati
jalur Selo yang lama biar dapat view yang berbeda dari kemaren. Alhasil kami
berhasil sampai ke basecamp dalam kurun waktu tiga jam saja. Perjalanan saya
bersama Huda dan Pakde harus berakhir di basecamp ini. Huda dan Pakde ingin
segera balik ke Pekalongan dan aku yang ingin melanjutkan pendakian selanjutnya
ke Merapi. Kami sempatkan bertukar nomor dan foto sebelum berpisah.
Keren kan? Wkwkw |
Pelajaran yang sangat berharga
kupetik disini. Aku yang selalu berjalan dengan langkah cepat kedepannya harus
bisa menyesuaikan dengan rombongan. Apa gunanya menjadi tercepat jika kecepatan
hanya akan meninggalkan kawan-kawanmu dibelakang? Ketika kamu dipercaya
memimpin maka lunturkan ego pribadimu demi rombongan yang berada di barisanmu.
Terima kasih Huda dan Pakde, kalian adalah guru yang mengajarkanku meruntuhkan
egoku! Sampai ketemu lagi.
cad lu sendirian dri depok ?
BalasHapusiya bim sendiri
Hapustrus hikingnya nimbrung2 sm rombongan ,which is even u dont know at all?
BalasHapuskenalan dulu atuh nanti juga akrab dan jadi temen :)
Hapus