Jumat, 10 Januari 2020

Bima: Si Kota Tepian Air Nan Panas (Overland Backpacker: Jawa, Bali, NTT)


            Pulang lewat Bima adalah satu-satunya cara untuk kembali ke Bali semenjak kami kehabisan tiket Bajo-Benoa. Sape adalah salah satu kecamatan yang terletak di sebelah timur Kabupaten Bima. Sape juga satu-satunya kecamatan yang memiliki pelabuhan sehingga menjadi penghubung antar NTB-NTT. Tiket kapal laut Bajo-Sape berkisar 60.000 rupiah per orang. Durasi perjalanan berkisar 7-8 jam, terasa cukup lama namun kita akan disuguhi gugusan pulau-pulau yang ada di sekitaran Labuan Bajo dan Pulau Sumbawa. Pulau Sangeang yang menjadi panorama utama perjalanan ini, terlihat begitu gagah menjulang dikelilingi laut disekitarnya. Sesampainya di Sape kami langsung mencari penginapan untuk beristirahat dan melanjutkan perjalanan. Sebelum meninggalkan Sape, kami menyempatkan diri mengambil beberapa foto. Sape memang terasa lebih panas, lebih-lebih saat musim kemarau dimana yang terlihat semua berwarna coklat dan gersang.

Duh Panasnya!
            Kami berinisiatif untuk mencari tumpangan menuju Kota Bima, namun kami harus menempuh 4 km sebelum akhirnya mendapatkan tumpangan mobil bak bersama seorang ibu-ibu. Sang sopir sangat ramah kepada kami bahkan membelikan kami minuman di tengah perjalanan. Si ibu bercerita bahwa numpang-menumpang bukanlah suatu hal yang asing di sini, sudah menjadi kebiasaan orang Bima untuk memberikan tumpangan kepada orang-orang lain yang di temukan sepanjang perjalanan. Kebiasaan ini terjadi karena memang transportasi umum di Pulau Sumbawa masih minim. Hal ini tentu membawa keberkahan bagi backpacker yang kerjaannya nebeng. 
 
Dekil
            Sepanjang perjalanan bukit-bukit tandus nan eksotis memanjakan mata kami. Jalanan naik turun bukit serta kelokan yang tajam menjadi teman perjalanan menikmati keindahan Pulau Sumbawa. Tak terasa kami pun sampai di Kota Bima. Bima memang bukan kota yang memanjakan masyarakatnya dengan mall-mall ataupun transportasi modern, lebih dari itu Bima adalah sejarah panjang Kerajaan Bima Mbojo yang bermula abad ke-13 sampai akhirnya bergabung dengan Indonesia. Kami mengunjungi beberapa tempat di Bima semisal Museum Asi Mbojo, Mesjid Sultan Muhammad Salahuddin, Alun-Alun Sera Suba, dan lain-lain.
 
Salah Satu Sudut Kota Bima
Walaupun Sempat Hancur, Mesjid Ini Berhasil Dibangun Ulang
            Museum Asi Mbojo yang awalnya adalah Istana Kesultanan Bima yang dibangun pada masa Sultan Ibrahim. Arsitektur istana ini adalah arsitektur campuran dari arsitektur khas Bima dan arsitektur Belanda. Pembangunan istana ini memakan waktu 3 tahun dari 1927-1929. Istana ini berdekatan dengan alun-alun dan Mesjid Sultan Muhammad Salahuddin, yang dipengaruhi oleh konsep tata kota Jawa pada masa Islam. Mesjid Sultan Muhammad Salahuddin dibangun pada tahun 1770 M oleh Sultan Abdul Kadim Zilullah. Mesjid ini sempat mengalami kerusakan pada masa perang kemerdekaan akibat terkena bom oleh pasukan sekutu, namun kembali direhab atas inisiatif Hj Siti Maryam yang merupakan putri mendiang Sultan Muhammad Salahuddin. Alun-alun Sera Suba merupakan sebuah lapangan terbuka yang terletak di depan Museum Asi Mbojo dan Mesjid Sultan muhammad Salahuddin. Alun-alun ini sekarang banyak difungsikan baik sebagai sarana olahraga, berkumpul, festival dan lain-lain. Kami juga mengunjungi Mesjid Terapung Amahami yang menjadi ikon wisata baru Kota Bima. Mesjid ini terlihat begitu mencolok diantara bebukitan dan laut, dengan desain unik yang merupakan hasil karya tim Universitas Petra Surabaya.

Dulunya Istana Sultan Sekarang Udah Jadi Museum
Makam Keluarga Sultan Tepat Disamping Mesjid
Mesjid Terapung Amahami

           
Setelah puas mengitari Kota Bima dengan berjalan kaki, kami memutuskan untuk memesan tiket kembali ke Bali. Sayangnya loket pemesanan tiket di pelabuhan Bima seringkali kami jumpai tutup maka dari itu kami pun membeli tiket secara online. Kami menginap di sebuah musola yang berada di daerah Pelabuhan Bima. Selama jelajah Bima dua hari, tiap pagi kami menitipkan tas di pos polisi dan malamnya kembali lagi ke musola untuk tidur.

Pelabuhan Bima
            Mencari makanan murah di Bima sangatlah mudah, untuk warung-warung tenda kebanyakan harganya standar kisaran 10-15 ribu rupiah namun untuk yang ada di Pelabuhan Bima harga sebungkus nasi cuman 5000 rupiah, meskipun sedikit kami sangat terbantu dengan adanya porsi murah ini, apalagi dengan lauk ayam. Semoga abang-abang yang jualan selalu dilimpahkan rejeki yang barokah. Beda dengan Labuan Bajo yang memang daerah wisata sehingga tarif makan yang dipasang lumayan mahal.
Nelayan Di Laut Bima
Jauh Dari Hiruk Pikuk Kemacetan

            Itulah Kota Bima dan sedikit bagian Pulau Sumbawa yang kami kunjungi. Kalau ditanya sepanas apa Kota Bima di siang hari ya kami akan jawab Kota Bima adalah kota terpanas yang pernah kami singgahi, dibalik itu Bima selalu menyenangkan untuk dikunjungi. Bukit-bukit tandus senantiasa melambai kepada para manusia untuk kembali lagi ke Bima entah untuk sekedar singgah ataupun menetap. Lautnya yang biru tak sungkan untuk diambil ikannya ataupun sekedar mengabadikan keindahan Pulau Sumbawa. Semoga kami bisa kembali, untuk melihat adatnya lebih jauh ataupun sekedar melihat gagahnya Tambora yang belum pernah kami daki!

Selasa, 03 Desember 2019

Perbandingan Peta Wilayah Pulau Tatas Tahun 1892 dan 2018



Abstrak
    Sejak kedatangan Belanda ke Indonesia, Pergantian pola kependudukan mulai terlihat terutama terciptanya kota-kota besar yang menopang Nusantara saat itu. Kota-kota yang ramai dengan aktifitas serta strategis mulai mendapat tata pola pemukiman yang teratur. Belanda datang dan mulai mengatur tata pemukiman untuk memperkuat kedudukannya di Nusantara. Pendirian benteng, pusat administrasi, bangunan umum, serta sarana transportasi adalah pemodelan baru kota-kota di Indonesia. Sebelumnya kota-kota Indonesia kebanyakan bercorak Islam seperti adanya alun-alun, mesjid, dan keraton. Kedatangan Belanda merupakan sebuah era baru tata pemukiman di Indonesia yang mempunyai ciri tersendiri. Perubahan pemukiman dari masa islam ke masa kolonial menandai adanya perubahan masyarakat akan kebutuhan akan pemukiman dan perangkat pendukungnya.
     Tulisan ini membahas mengenai perkembangan serta perubahan tata kota Banjarmasin, khususnya wilayah Pulau Tatas dan sekitarnya. Banjarmasin yang dulunya merupakan kota bandar terkenal karena menghasilkan lada serta menjadi penghubung antara Indonesia Timur dan Indonesia Barat, maka tak heran jika Banjarmasin merupakan incaran VOC untuk dikuasai. Perkembangan dan perubahan tata kota meliputi hilangnya suatu bangunan, semakin padatnya pemukiman, adanya jalan-jalan baru, dan beralih fungsinya suatu gedung.

Peta Pulau Tatas (Dok: Idwar Saleh)



Senin, 02 Desember 2019

Kenapa Kita Harus Mencoba Backpacker Sekali Seumur Hidup


       
   Backpacker kalau dilihat dari sudut pandang manapun tetaplah dilihat sebagai pejalan kere, lusuh, dan modal dengkul. Dibalik semua itu backpacker menyimpan beberapa unsur seni kehidupan yang niscaya akan membuat hidupmu (setidaknya) lebih baik. Kenapa saya menyukai jalan-jalan menggunakan backpack dan lebih banyak berjalan kaki? Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari berjalan kaki menyusuri tempat baru. Siapa sih yang mau jalan-jalan malah mandi keringat ataupun jadi bau badan? Tapi percayalah ketika kamu melakukan suatu perjalanan dengan berjalan kaki, hal-hal kecil yang biasa terlewatkan ketika kamu menggunakan kendaraan akan kamu jumpai. Memperhatikan hal-hal kecil itu menarik semisal melihat bagaimana interaksi bocah-bocah bermain, merasakan panas aspal jalanan, mengamati lalu lalang orang, dan masih banyak lagi. Tatapan orang-orang pun akan menjadikanmu sebagai ”objek asing" yang membawa ransel berat menyusuri jalanan mereka. Tidak heran kalau kamu suatu saat backpackeran akan dilihat sebagai orang aneh, terutama di Indonesia yang kultur backpackernya masih terbilang rendah.
Pemanasan Dulu

                Backpacker memang tujuan utamanya adalah berhemat. Hemat pangkal selamat, tapi hemat juga akan mempertemukanmu dengan orang-orang baik. Saya bertemu orang-orang luar biasa di hidup saya! Bertemu orang lokal dan bermalam di tempat mereka akan mengajarkanmu banyak budaya. Ketika di Nepal saya bertemu Kunga, orang yang memberikan tumpangan bahkan makanan selama saya di Kathmandu. Kunga adalah seorang penganut Budha yang taat bahkan sempat menjalani pembelajaran sebagai biksu. Dia mengajarkan saya bahwa toleransi tidak cuman berupa omong kosong diudara tapi pengamalan ketika bertemu dengan orang-orang yang berbeda agama. Bahkan kami beribadah masing-masing tanpa sekat yang menutupi. Kunga yang membuat saya percaya bahwa semua orang perlu mengajarkan kebaikan anpa melihat latar belakang orang tersebut. Ada lagi Ghulam Rasool atau yang akrab saya sapa Papa Kashmir, seorang pedagang kashmir yang hidup di Pokhara berjualan kerajinan khas Kashmir. Papa Kashmir mau menampung saya selama seminggu saat berada di Pokhara. Di rumahnya saya belajar memasak kari India, belajar berbahasa Kashmir, adu panco dengan Bilal keponakannya. Sampai sekarang dia masih sering menelpon saya sekedar menanyakan kabar ataupun berbagi cerita.

Me with Papa Kashmir

Keluarga Pak Zainal di Labuan Bajo
                Begitupun ketika saya berada di Lombok, saya bertemu Ibu Yulita yang menghampiri saya sewaktu jalan kaki menuju Gunung Rinjani. Ibu Yulita menawarkan tumpangan sampai ke Aikmel sehabis turun gunung pun ibu Yulita yang mengajak saya keliling Lombok, makan-makan enak, menjemput anaknya sekolah. Labuan Bajo juga tidak ketinggalan memberikan orang baik kepada saya yaitu pak Zainal. Pak Zainal adalah tetua kampung Bajo yang mempersilahkan saya menginap di rumahnya. Pak Zainal juga berbagi pengalaman spiritualnya mengenai agama Islam serta bagaimana pahit manis kehidupan seorang nelayan. Banyak lagi sebenarnya orang-orang yang saya temui dalam perjalanan yang menginspirasi, menyadarkan, seklaigus mengajarkan bahwa orang-orang baik akan selalu ada dimanapun.
Makan Dulu Sama Keluarga Bu Yulita
                Ketabahan seseorang pun diuji ketika melakukan backpacker. Backpacker tidak melulu jalan kaki sebagai kendaraan utama mencapai tujuan tapi kadangkala kita harus memanfaatkan angkutan umum ataupun tebengan orang-orang yang lewat. Interkasi sosial kita diuji ketika kita meminta tebengan kepada orang yang lewat. Tidak serta merta semua orang mau untuk memberikan tumpangan kalau skill negoisasi kita tidak bagus. Lebih bagus lagi kalian mempunyai skill mengemudi agar bisa gantian dengan supirnya. Saran saya untuk menumpang dengan orang adalah cari lampu merah! Disaat lampu merah orang-orang semua akan berhenti dan disaat itulah kita tawar menawar dengan sang empu mobil. Oh ya usahakan cari mobil bak terbuka agar mereka mudah menerima kita sebagai tamu tebengan.
Kita Lagi Nebeng Nih
                Backpacker juga melatih untuk tidak membuang-buang makanan/minuman. Penghematan yang kita lakukan akan sia-sia apabila makanan yang kita dapatkan entah dari hasil pemberian ataupun beli menjadi terbuang. Bagi backpacker pantang untuk tidak menghabiskan makanan, kecuali sudah busuk! Penghargaan akan makanan inilah nanti yang membantu menumbuhkan sikap dermawan kepada kita untuk membantu sesama yang kelaparan.
Kari India Hasil Masak Sendiri+Yogurt
                Sebenarnya masih banyak hal-hal positif yang didapat dari backpacker yang tidak dapat dituliskan satu persatu. Hal yang terpenting adalah sepulang dari perjalanan jauh, kita dapat memetik pelajaran berharga pada setiap langkah kita, terlebih menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih tangguh kedepannya.