Rabu, 25 Maret 2020

Penggalian Arkeologi Benteng Surosowan



  Menjadi seorang arkeolog mungkin masih menjadi sebuah pekerjaan yang acapkali dipertanyakan orang-orang. "Kerja apaan tuh?" "Keren ih kayak di film-film" "Nyari-nyari fosil ya?" dan masih banyak lagi hal-hal yang menjadi pertanyaan lainnya. Sudah dua kali aku mengikuti penggalian arkeologi, yang pertama di Muara Jambi, sekaligus sebagai Kuliah Kerja Lapangan (KKL) yang menjadi mata kuliah tersendiri di jurusan arkeologi. Kedua saat saya mengikuti magang selama dua minggu bersama BPCB Banten dalam penggalian Benteng Surosowan.

Excavation Begin!



   Tujuan penggalian ini adalah untuk menampakkan sisi utara Benteng Surosowan agar sekiranya sisi tersebut terbebas dari pembangunan apapun. Diperkirakan sisi utara bekas pendopo kerajaan yang terhubung langsung dengan kanal-kanal disekitaranya. Pihak BPCB Banten sendiri bekerja sama dengan prodi arkeologi Universitas Indonesia dengan meminta langsung mahasiswa untuk terjun ke lapangan. Sekitar 40 mahasiswa menjalani magang tersebut dibagi pershift selama tiga bulan. Kami berempat mendapat giliran shift terakhir masuk dari pertengahan September.
 
Suasana saat penggalian
Tugas kami dalam penggalian dibagi kedalam tiga bagian:

1. Menggambar kotak gali
Seorang penggambar bertugas untuk menggambar semua kotak galian pada hari tersebut. Penggambar harus menggambar secara detil tampak awal serta tampak akhir dari penggalian kotak tersebut, termasuk mengukur apa saja penampakan temuan yang ada di kotak tersebut semisal penampakan struktur bata ataupun temuan lepas.

2. Laporan harian
Bertugas untuk melaporkan keadaan pada hari penggalian semisal berapa kotak galian yang dibuat pada hari itu, temuan apa saja yang didapat hari itu, jumlahnya berapa, beserta kesulitan yang dialami. Tugasnya ya mirip-mirip bikin buku harian cuman bahasanya ya harus formal.

3. Bagian Temuan
Bertugas membersihkan, mencatat, dan mengklasifikasi temuan pada hari tersebut. Hal ini nantinya akan memudahkan pihak yang berkepentingan selanjutnya untuk proses inventarisasi temuan.

    Temuan yang sangat menarik pada shift kami ini adalah beberapa anak tangga serta adanya sumber air yang diperkirakan merupakan kanal yang dahulunya langsung melewati sisi utara benteng ini. Yang paling mencengangkan adalah ketika penggalian dilakukan banyak tumpukan sampah yang didapat pada lapisan tanah utara benteng yang artinya lapisan tanah pada daerah tersebut sudah tercampur. Memang pada sepuluh tahun yang lalu sisi utara benteng sempat dijadikan tempat mendirikan warung-warung. Sampah-sampah tersebut menjadi tanda seberapa parah bumi kita memang darurat plastik. Selain itu juga ditemukan tulang-tulang yang diduga berupa sapi.
Suasana penggalian saat siang hari
Salah satu temuan koin berlogo VOC

Salah satu temuan keramik
Tangga di sisi utara benteng, diperkirakan langsung berbatasan dengan kanal


  Kami menyempatkan jalan-jalan setelah usai dengan penggalian pada sore hari, biasanya berkeliling di sekitar Benteng Surosowan, Benteng Speelwijk, Mesjid Agung Banten, Keraton Kaibon, Danau Tasikardi. Peninggalan-peninggalan bersejarah disini masih banyak yang terawat hingga kini dari bangunan hingga makam-makam. Karena dekat dengan laut, banyak juga pantai-pantai di sekitar Surosowan, namun kondisinya memang memprihatinkan, airnya keruh dan banyak sampah dimana-mana. Banten terasa lebih terik dari daerah lain, entah mengapa padahal Bima memegang gelar sebagai kota terpanas di Indonesia. Nampaknya angin yang tidak bertiup ikut andil menjadikan Banten Lama daerah yang panas. 
Danau Tasikardi
Salah satu sudut Benteng Surosowan

Pantai Pasir Putih


Jumat, 10 Januari 2020

Bima: Si Kota Tepian Air Nan Panas (Overland Backpacker: Jawa, Bali, NTT)


            Pulang lewat Bima adalah satu-satunya cara untuk kembali ke Bali semenjak kami kehabisan tiket Bajo-Benoa. Sape adalah salah satu kecamatan yang terletak di sebelah timur Kabupaten Bima. Sape juga satu-satunya kecamatan yang memiliki pelabuhan sehingga menjadi penghubung antar NTB-NTT. Tiket kapal laut Bajo-Sape berkisar 60.000 rupiah per orang. Durasi perjalanan berkisar 7-8 jam, terasa cukup lama namun kita akan disuguhi gugusan pulau-pulau yang ada di sekitaran Labuan Bajo dan Pulau Sumbawa. Pulau Sangeang yang menjadi panorama utama perjalanan ini, terlihat begitu gagah menjulang dikelilingi laut disekitarnya. Sesampainya di Sape kami langsung mencari penginapan untuk beristirahat dan melanjutkan perjalanan. Sebelum meninggalkan Sape, kami menyempatkan diri mengambil beberapa foto. Sape memang terasa lebih panas, lebih-lebih saat musim kemarau dimana yang terlihat semua berwarna coklat dan gersang.

Duh Panasnya!
            Kami berinisiatif untuk mencari tumpangan menuju Kota Bima, namun kami harus menempuh 4 km sebelum akhirnya mendapatkan tumpangan mobil bak bersama seorang ibu-ibu. Sang sopir sangat ramah kepada kami bahkan membelikan kami minuman di tengah perjalanan. Si ibu bercerita bahwa numpang-menumpang bukanlah suatu hal yang asing di sini, sudah menjadi kebiasaan orang Bima untuk memberikan tumpangan kepada orang-orang lain yang di temukan sepanjang perjalanan. Kebiasaan ini terjadi karena memang transportasi umum di Pulau Sumbawa masih minim. Hal ini tentu membawa keberkahan bagi backpacker yang kerjaannya nebeng. 
 
Dekil
            Sepanjang perjalanan bukit-bukit tandus nan eksotis memanjakan mata kami. Jalanan naik turun bukit serta kelokan yang tajam menjadi teman perjalanan menikmati keindahan Pulau Sumbawa. Tak terasa kami pun sampai di Kota Bima. Bima memang bukan kota yang memanjakan masyarakatnya dengan mall-mall ataupun transportasi modern, lebih dari itu Bima adalah sejarah panjang Kerajaan Bima Mbojo yang bermula abad ke-13 sampai akhirnya bergabung dengan Indonesia. Kami mengunjungi beberapa tempat di Bima semisal Museum Asi Mbojo, Mesjid Sultan Muhammad Salahuddin, Alun-Alun Sera Suba, dan lain-lain.
 
Salah Satu Sudut Kota Bima
Walaupun Sempat Hancur, Mesjid Ini Berhasil Dibangun Ulang
            Museum Asi Mbojo yang awalnya adalah Istana Kesultanan Bima yang dibangun pada masa Sultan Ibrahim. Arsitektur istana ini adalah arsitektur campuran dari arsitektur khas Bima dan arsitektur Belanda. Pembangunan istana ini memakan waktu 3 tahun dari 1927-1929. Istana ini berdekatan dengan alun-alun dan Mesjid Sultan Muhammad Salahuddin, yang dipengaruhi oleh konsep tata kota Jawa pada masa Islam. Mesjid Sultan Muhammad Salahuddin dibangun pada tahun 1770 M oleh Sultan Abdul Kadim Zilullah. Mesjid ini sempat mengalami kerusakan pada masa perang kemerdekaan akibat terkena bom oleh pasukan sekutu, namun kembali direhab atas inisiatif Hj Siti Maryam yang merupakan putri mendiang Sultan Muhammad Salahuddin. Alun-alun Sera Suba merupakan sebuah lapangan terbuka yang terletak di depan Museum Asi Mbojo dan Mesjid Sultan muhammad Salahuddin. Alun-alun ini sekarang banyak difungsikan baik sebagai sarana olahraga, berkumpul, festival dan lain-lain. Kami juga mengunjungi Mesjid Terapung Amahami yang menjadi ikon wisata baru Kota Bima. Mesjid ini terlihat begitu mencolok diantara bebukitan dan laut, dengan desain unik yang merupakan hasil karya tim Universitas Petra Surabaya.

Dulunya Istana Sultan Sekarang Udah Jadi Museum
Makam Keluarga Sultan Tepat Disamping Mesjid
Mesjid Terapung Amahami

           
Setelah puas mengitari Kota Bima dengan berjalan kaki, kami memutuskan untuk memesan tiket kembali ke Bali. Sayangnya loket pemesanan tiket di pelabuhan Bima seringkali kami jumpai tutup maka dari itu kami pun membeli tiket secara online. Kami menginap di sebuah musola yang berada di daerah Pelabuhan Bima. Selama jelajah Bima dua hari, tiap pagi kami menitipkan tas di pos polisi dan malamnya kembali lagi ke musola untuk tidur.

Pelabuhan Bima
            Mencari makanan murah di Bima sangatlah mudah, untuk warung-warung tenda kebanyakan harganya standar kisaran 10-15 ribu rupiah namun untuk yang ada di Pelabuhan Bima harga sebungkus nasi cuman 5000 rupiah, meskipun sedikit kami sangat terbantu dengan adanya porsi murah ini, apalagi dengan lauk ayam. Semoga abang-abang yang jualan selalu dilimpahkan rejeki yang barokah. Beda dengan Labuan Bajo yang memang daerah wisata sehingga tarif makan yang dipasang lumayan mahal.
Nelayan Di Laut Bima
Jauh Dari Hiruk Pikuk Kemacetan

            Itulah Kota Bima dan sedikit bagian Pulau Sumbawa yang kami kunjungi. Kalau ditanya sepanas apa Kota Bima di siang hari ya kami akan jawab Kota Bima adalah kota terpanas yang pernah kami singgahi, dibalik itu Bima selalu menyenangkan untuk dikunjungi. Bukit-bukit tandus senantiasa melambai kepada para manusia untuk kembali lagi ke Bima entah untuk sekedar singgah ataupun menetap. Lautnya yang biru tak sungkan untuk diambil ikannya ataupun sekedar mengabadikan keindahan Pulau Sumbawa. Semoga kami bisa kembali, untuk melihat adatnya lebih jauh ataupun sekedar melihat gagahnya Tambora yang belum pernah kami daki!

Selasa, 03 Desember 2019

Perbandingan Peta Wilayah Pulau Tatas Tahun 1892 dan 2018



Abstrak
    Sejak kedatangan Belanda ke Indonesia, Pergantian pola kependudukan mulai terlihat terutama terciptanya kota-kota besar yang menopang Nusantara saat itu. Kota-kota yang ramai dengan aktifitas serta strategis mulai mendapat tata pola pemukiman yang teratur. Belanda datang dan mulai mengatur tata pemukiman untuk memperkuat kedudukannya di Nusantara. Pendirian benteng, pusat administrasi, bangunan umum, serta sarana transportasi adalah pemodelan baru kota-kota di Indonesia. Sebelumnya kota-kota Indonesia kebanyakan bercorak Islam seperti adanya alun-alun, mesjid, dan keraton. Kedatangan Belanda merupakan sebuah era baru tata pemukiman di Indonesia yang mempunyai ciri tersendiri. Perubahan pemukiman dari masa islam ke masa kolonial menandai adanya perubahan masyarakat akan kebutuhan akan pemukiman dan perangkat pendukungnya.
     Tulisan ini membahas mengenai perkembangan serta perubahan tata kota Banjarmasin, khususnya wilayah Pulau Tatas dan sekitarnya. Banjarmasin yang dulunya merupakan kota bandar terkenal karena menghasilkan lada serta menjadi penghubung antara Indonesia Timur dan Indonesia Barat, maka tak heran jika Banjarmasin merupakan incaran VOC untuk dikuasai. Perkembangan dan perubahan tata kota meliputi hilangnya suatu bangunan, semakin padatnya pemukiman, adanya jalan-jalan baru, dan beralih fungsinya suatu gedung.

Peta Pulau Tatas (Dok: Idwar Saleh)