Tampilkan postingan dengan label Petualangan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Petualangan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 14 Desember 2017

Bali Barat The Hidden Paradise (Part 2 of Backpackeran Baluran-Lombok)

    Taman Nasional Bali Barat merupakan sebuah taman nasional yang terletak di bagian barat Pulau Bali. Taman nasional ini merupakan habitat terakhir Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) yang populasinya merosot drastis karena perburuan ilegal. Memiliki luas sebesar 19.002,89 ha ini merupakan satu-satunya taman nasional yang ada di bali. Ini merupakan tujuan utama kami di Bali, karena jaraknya yang sangat dekat dengan Pelabuhan Gilimanuk.
   Setelah dari Baluran, untuk menghemat, kami memutuskan jalan kaki ke pelabuhan. Tak berapa lama jalan kaki, kami diberikan tumpangan lagi oleh salah satu penjaga Baluran. Bahkan kami juga diberikan uang saku oleh si penjaga, katanya dia teringat anaknya yang juga suka berkelana. Tentunya kami sangat senang dapat tambahan uang saku. Setelah sampai dan berpamitan, kami langsung masuk ke dalam pelabuhan.
    Biaya dari Ketapang-Gilimanuk sangat murah, hanya Rp. 6.500 per orang. Sesampainya di Gilimanuk, kami menginap di musola pelabuhan. Paginya barulah kami menjelajahi sekitaran pelabuhan sembari sarapan. TNBB terletak tidak jauh dari pelabuhan Gilimanuk, hanya sekitaran 3 Km. Pemandangan yang disajikan di Bali sangat berbeda dengan daerah lain yang aku kunjungi. Pura-pura terlihat di kiri dan kanan, menjulang anggun. Patung Dewa Siwa seakan mempersilahkan kami untuk menikmati panorama Bali. Untuk kesan pertama kali menginjak Bali, aku merasa tertegun, suasana Bali seakan kembali mengajakku ke abad-13 pada saat Majapahit dan Agama Hindu dominan dalam kehidupan masyarakat Jawa. I'm really excited to see their culture! 
Pantai Bali Barat yang sunyi


Jalak Bali di penangkaran belakang kantor TNBB

    Kami sempat singgah di kantor pusat TNBB untuk menanyakan informasi sekaligus melihat penangkaran Jalak Bali. Pintu masuk TNBB ternyata terletak agak jauh dari jalan raya, masuk lagi ke dalam perkampungan sekitar 2 Km. Kami yang merencanakan menginap di Pantai Bali Barat harus gigit jari, karena menurut pengurus TNBB, untuk melakukan kegiatan yang mengharuskan menginap harus ada surat izin. Akhirnya kami berencana hanya sehari di sini.
    Pariwisata yang tersedia di kawasan TNBB ada banyak seperti Pura Pulaki, Pulau Menjangan, Pura Bakungan, dll. Kami memasuki TNBB dengan berjalan kaki, di tengah jalan kami ditawari tumpangan oleh supir angkot yang mau menjemput para peneliti. Kawasan TNBB, sama seperti TN Baluran, banyak terdapat monyet-monyet berekor panjang. Kicau burung yang tidak bisa kami lihat menemani sepanjang perjalanan menuju pantai. Tujuan-tujuan lainnya mungkin akan kami kunjungi dilain waktu, setidaknya setelah mendapat pemberitahuan bahwa tidak boleh ngecamp di pantai, alhasil kami hanya berniat mengunjungi pantainya.
Hola Amigos!

Gunung Raung dari kejauhan

    Sesampainya di pantai kami menemukan babi hutan yang sedang menikmati timbunan sampah. Agak menyeramkan melihat babi hutan yang menatap tajam ke kami, tetapi seekor monyet yang bermain-main membuat marah sang babi hutan. Melihat Gunung Ijen di kejauhan membuat latar pantai ini sangat indah. Pulau Jawa dan Bali terlihat sangat dekat disini. Ojan seakan tidak mau keduluan untuk berfoto ria. Meskipun terik, kami melepas baju untuk berburu ikan teri yang mengerumuni kaki kami. Halusnya pasir pantai melenakan kami untuk berjemur seperti bule-bule, alhasil kulit kami menjadi gosong. Airnya sangat biru. Pantainya sangat sepi, sampah-sampah yang berasal dari laut banyak ditemukan di sepanjang pantai. Hal ini mengecewakan tentunya melihat alam yang indah harus dikotori oleh sampah-sampah plastik yang tentunya sangat mencemari. Pantai yang sunyi memang berasa pantai pribadi, mengingat sepanjang garis pantai ini hanya kami manusianya Setelah puas bermain air, kami menuju pondokan yang ada di pinggir pantai. Kami terlelap diiringi deru ombak serta sepoi-sepoi angin. Betapa nikmatnya hidup ini! 
    
    Sembari tiduran akupun merenung meresapi apa saja yang telah aku jalani selama 22 tahun. Ternyata hidupku memang kurang bersyukur. Apa-apa yang telah aku dapatkan selama ini mungkin belum tentu bisa dinikmati orang lain. Mungkin dalam hidupku, saatnya untuk lebih banyak melihat ke bawah sebagai refleksi. Aku juga merenungi makna perjalanan yang seringkali aku jalani. Foto-foto yang bagus bolehlah sebagai kenang-kenagan, namun inti dari perjalanan juga aku harus resapi, setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru.
      Panas terik mulai berganti naung. Saatnya terbangun dari mimpi. Dalam keadaan setengah sadar karena masih ngantuk, aku membangunkan Ojan dan Jordi. "Ah bentar lagi, kapan lagi tiduran di sini" kata Jordi. Memang benar kata Jordi, perjalanan ini harus dinikmati meskipun kami tidak jadi camping disini, bagi Jordi, tidur siang di sini merupakan berkah tersendiri. Jauh dari kebisingan, benar-benar sunyi. Kata Jordi, kami merupakan makhluk yang terberkati. Semoga benar katamu Jor, kita diberkati untuk berjalan di lain waktu.

    Sambil pulang berjalan kaki menuju ke jalan besar, ternyata seram juga ya berada diantara hutan dan perkampungan penduduk. Hari yang mulai senja ditambah lolongan anjing yang mengikuti kami menambah suasana menjadi seram. Untungnya kami bertiga, seengaknya bisa saling bahu-membahu jikalau ada kesulitan. Melintasi perkebunan, kami dikejutkan dengan lolongan anjing yang semakin dekat. Sumber cahaya terlihat dikejauhan, agak remang, tapi setidaknya menenangkan kami yang panik ditengah perkebunan.

    Sesampainya jalan besar pun, kami masih kesulitan menemukan tebengan untuk ke pertigaan menunggu bus. Setidaknya perlu waktu setengah jam barulah ketemu orang yang melintas. Kami menumpang pick up dan turun di pertigaan menunggu bus malam menuju Denpasar. Bus malam yang kami tumpangi hanya bisa mengantarkan sampai Terminal Mengwi, yang jaraknya masih jauh ke Denpasar. Walhasil, kami harus menunggu pagi untuk melanjutkan perjalanan ke Denpasar. Selama di Denpasar, kami hanya menjelajahi Pantai Kuta dan sekitarnya dikarenkan keterbatasan biaya. Akhirnya kami harus melanjutkan perjalanan hanya berdua setelah Ojan memutuskan untuk kembali ke rumahnya di Kebumen.
Nyantai dulu di Pantai Kuta


    Lagi-lagi biaya perjalanan kami siasati dengan berjalan kaki menuju Pelabuhan Padang Bai. Benar, jalan kaki dengan jarak tempuh 42,4 km. Sekitar 15 km kami habiskan untuk berjalan kaki. Untuk mempersingkat waktu kami menggunakan Google Maps untuk menuju ke jalan Pelabuhan Padang Bai, eh nyatanya kami dibawa berliku melewati perkampungan penduduk. Disitu kami juga beberapa kali dikepung oleh anjing dan ditanya sama warga kampung. Mungkin aneh keliatannya kali ya masuk kampung yang bukan daerah wisata membaw tas keril segede gaban. Kami dua kali menumpang mobil untuk mempersingkat waktu dan akhirnya sampai menuju Pelabuhan. Let's heading to Lombok then!

Senin, 11 Desember 2017

Lost in Baluran, A Little Africa in Java (Part 1 of Backpackeran Baluran-Lombok)

    Musim panas merupakan musim yang tepat melakukan perjalanan panjang, selain cuaca sedang bagus, kesempatan liburan lebih panjang menjadikan agenda yang kami rencanakan menjadi lebih fleksibel. Aku, Ojan, dan Jordi mentargetkan saat itu bisa menempuh Jawa Timur sampai Pulau Komodo sebagai destinasi akhir perjalanan kami. Tiket kereta pun sudah dipesan jauh-jauh hari untuk mendapatkan harga yang lebih murah. Tanggal 25 Juli kami berangkat menuju Surabaya. Kami sempat ketinggalan jadwal kereta yang kami pesan dan akhirnya kami membeli tiket yang baru agar rencana yang sudah disusun tidak berantakan. Kereta berangkat pukul tiga sore dan baru sampai sekitar pukul dua pagi.
Baluran, A Little Africa in Java
    Tujuan kami yang pertama adalah Taman Nasional Baluran. Taman Nasional yang terletak di kabupaten Situbondo ini merupakan sebuah taman nasional dengan bentang alam savana, pantai-pantai, evergreen forest, dengan latar belakang Gunung Baluran. Banteng-banteng serta kawanan rusa yang terdapat di taman nasional ini semakin menegaskan  kawasan ini sebagai africa van java. Menempuh Situbondo melalui jalur darat lumayan memakan tenaga dan menyita waktu. Kami berkali-kali turun dan berganti bis. Bau apek serta keringat bercampur menjadi satu dalam bis yang menggunakan ac alami. Inilah seni berjalan jauh dengan moda transportasi umum; sesak namun hemat biaya.
     Kami terpesona dengan pemandangan yang disajikan sepanjang perjalanan. Mulai dari Gunung Semeru yang menjulang gagah, kebisingan kota Probolinggo, serta pasar-pasar sepanjang Situbondo membuat kami tidak bisa tidur. Menjelang sore, kami pun tiba di pintu gerbang Taman Nasional Baluran. Kami masuk dan bertanya kepada penjaga loket. Ternyata waktu kunjungan sudah hampir usai. Kami diperbolehkan menginap di sekitaran Pantai Kajang. Sewaktu kami ingin mendirikan tenda, kami ditawari oleh Pak Ahmad, salah seorang penjaga TN Baluran untuk menginap di pos penjaga. Tentu saja tawaran tersebut langsung kami iyakan. Menginap di pos penjaga sembari berbincang-bincang dengan Pak Ahmad merupakan pengalaman yang asyik. Pak Ahmad bercerita bagaimana kesejahteraan pegawai yang sudah lama mengabdi belum diperhatikan, bagaimana penduduk sekitar masih belum mengerti pentingnya konservasi. Kami mendengarkan dengan seksama sembari meminum kopi Jambi sisa KKL kemaren.
    Kami bangun pagi-pagi sekali untuk melihat matahari terbit di Selat Bali. Kami berpamitan kepada Pak Ahmad sekaligus memulai perjalanan masuk ke TN Baluran. Kami memutuskan berjalan kaki daripada menyewa motor, hitung-hitung penghematan buat kedepan. Menyusuri setapak demi setapak tanah Baluran mengundang pertanyaan, dimanakah banteng-banteng dan rusa-rusa berkeliaran? Kami hanya sesekali melihat monyet dan ayam hutan. Jarak yang ditempuh untuk sampai Savana Bekol adalah 10 Km! Kami berjalan diantara pohon-pohon rindang di evergreen forest, hutan yang selalu hijau, entah di musim kemarau maupun hujan. Memakan waktu sekitar tiga jam, akhirnya sampailah kami di Savana Bekol. Suasana disana benar-benar seperti Afrika (padahal belum pernah ke Afrika :p). Aku, Ojan, dan Jordi tidak sabar untuk segera merebahkan tubuh ke tanah. Aku tidak keberatan dengan sengatan matahari yang membakar kulit, toh ini Baluran dan bakal jarang-jarang main ke sini.
Bersama Pak Ahmad, Ranger Baluran
Welcome to Bekol Savana!

    Kami istirahat di warung yang ada di Savana Bekol. Selain terdapat warung, Savana Bekol juga terdapat wisma yang diperuntukkan bagi para pengunjung. Aku sangat menikmati disini. Latar belakang Gunung Baluran menjadi objek yang seringku foto. Kumpulan banteng yang tadi tidak kelihatan sekarang tampak di kubangan lumpur. Kami menaiki gardu pandang untuk melihat Savana Bekol dari atas dan sungguh menakjubkan! Kami meneruskan perjalanan ke Pantai Bama, lima kilometer sebelah timur Savana Bekol. Pantai Bama merupakan pantai yang temasuk dalam kawasan Tn Baluran selain Pantai Bilik Sejile. Rute dari Savana Bekol menuju Pantai Bama sangat asyik dinikmati dengan berjalan kaki. Kawanan rusa yang beristirahat, monyet-monyet yang lalu lalang seakan-akan menyambut kedatangan kami. Pantai Bama juga terdapat dermaga hutan mangrove. Bali dapat dilihat dari kejauhan disini.. Kami tertawa melihat tingkah laku monyet yangmengitari kami. Tetap jaga barang bawaan guys! Beberapa monyet memang berani mengambil barang-barang milik pengunjung, Bukuku sempat diambil oleh monyet nakal yang mengira kami membawa makanan. Kami bahkan sempat tertidur sembari menunggu agak sorean untuk kembali pulang.
Kece banget nih hehehe

Rusa Baluran!


    Matahari sudah mulai turun dari peraduannya, menandakan kami harus melanjutkan perjalanan ke titik berikutnya, TN Bali Barat. Kami berjalan pulang hingga setengah perjalanan awal dan selanjutnya kami menumpang mobil bak penjaga Baluran menuju pintu gerbang. Jarak tempuh yang kami lalui dengan berjalan kaki hampir 25 Km. Kami sangat senang hari ini, menghabiskan waktu seharian yang tidaklah dirasa cukup untuk menyusuri TN Baluran. Semoga kami dapat merasakan lagi debar perjalanan ini di lain waktu.
Good bye Baluran! Sampai jumpa kapan-kapan!

Rabu, 07 Juni 2017

Merapi, Guru Terbaik Adalah Pengalaman Sendiri

`        Merapi merupakan salah satu gunung yang paling populer di Indonesia. Pada erupsi Merapi tahun 2010, kisah yang paling terkenal adalah Mbah Marijan, juru kunci Merapi. Siapa yang tidak kenal Mbah Marijan? Kisahnya yang tetap berada di gunung saat erupsi merupakan gambaran betapa bahwa Gunung Merapi adalah tempat yang sakral bagi penduduk Yogyakarta dan sekitarnya.
Menuju Basecamp Merapi

       Setelah tiba di basecamp Selo Merbabu, aku beristirahat sejenak sembari mandi dan menyiapkan energi. Jarak antara basecamp Merbabu dan basecamp Merapi tidak terlalu jauh, sekitar 7 kilometer. Sebenarnya aku masih dilanda kelelahan, namun aku mulai memaksa diriku untuk beranngkat ke basecamp Merapi sebelum sore. Kurang lebih satu jam di basecamp Merbabu, aku mulai berpamitan kepada kawan-kawan pendaki yang ada di basecamp. Berjalanlah aku seorang diri, melewati kampung-kampung serta jalanan penuh debu. Dari kejauhan nampak sang Merapi yang semakin benderang oleh sinar matahari siang.
            Meskipun terasa kunang-kunang karena teriknya siang, aku berhasil sampai di basecamp Merapi. Basecamp Merapi terasa sangat gelap dan kecil dibandingkan basecamp lainnya yang pernah kusinggahi. Aku memutuskan untuk naik saat malam tiba, walau saat itu akupun tidak membawa senter. Matahari mulai beranjak dari peraduan, terasa sekali hawa pegunungan mulai turun. Dingin menusuk. Aku enggan untuk mandi lagi, hanya sekedar membasahi tubuh untuk berwudhu. Kulihat segerombolan anak-anak yang berasal dari pondok pesantren sedang bersiap-siap untuk naik, dibimbing oleh salah satu gurunya. Melihat mereka mengingatkanku saat pramuka dulu. Dahulu pondok kami mewajibkan kegiatan berkemah sebagai agenda wajib enam bulanan. Santri dari kelas satu sampai kelas empat wajib mengikuti kegiatan ini.
           Air mulai menetes dari langit. Langit tampak mendung, tak ada satu bintang pun yang muncul. Jelas ini pertanda hujan akan semakin deras dan lama. Malam itu pun hujan dengan derasnya turun dari langit. Mengurungkan niatku yang ingin naik malam itu.  Baiklah, ini hanya masalah waktu, sembari menunggu kupejamkan mataku dalam sleeping bag. Jam dua malam aku terbangun. Ternyata hujan tak semudah itu meninggalkan bumi Merapi. Kondisi masih hujan diliputi angin kencang. Aku memutuskan naik saat pagi menjelang.
           Pagi itu tak seberkas cahaya pun dapat menembus tebalnya awan. Hujan masih deras, akupun menunggu sampai hujan agak reda. Akhirnya hujan agak reda, aku pun bergegas melakukan pendakian. Pendakian ini aku lakukan hanya tek-tok, untuk mempersingkat waktu.
            Perjalanan kali ini ditemani hujan rintik. Tidak ada teman dalam perjalanan ini. Langkah kaki terasa lebih berat karena kondisi medan basah. Dari basecamp ke gerbang New Selo hanya memakan waktu 15 menit, Dari New Selo menuju ke pos 1 kita akan disuguhi pemandangan perkebunan warga hingga hutan tropis.
            Dari New Selo perjalanan akan mulai menanjak ke pos 1. Kondisi saat itu masih hujan intik membuatku mengenakan jas hujan. Di perjalanan menuju pos 1, hujan tiba-tiba menjadi deras, mau tak mau akupun mempercepat langkahku agar sampai di pos 1 untuk berteduh. Kulihat di pos 1 ada tempat berteduh tetapi sudah diisi oleh orang dengan sebuah tenda, akhirnya aku pun nyempil agar bisa berteduh ;(
Pos 1 (Watu Belah)

            Setelah hujan agak reda, kupacu kakiku agar terus bergerak ke atas. Pos 2 merupakan selanjutnya yang akan kutemui. Ditengah-tenah perjalanan kulihat anak-anak dari pondok kemaren mulai turun. Salah satunya memberi tahuku bahwa ada badai di Pasar Bubrah sehingga mereka memutuskan untuk segera turun. Aku dilanda kebingungan. Apakah harus terus menuju puncak? Atau aku kembali turun bersama mereka? Aku tertahan sejenak mencoba mengambil keputusan terbaik ditengah-tengah rintik, menimbang-nimbang. Aku memutuskan untuk lanjut. Entah apa yang ada dipikiranku. Salah satu keputusan bodoh yang pernah kuambil dalam hidup yang nantinya akan memberikan pelajaran berharga.
Pos 2 Merapi

            Lama aku berjalan, berselisih dengan beberapa orang yang juga turun karena badai, sambil menatapku heran. Akhirnya sampai juga di perbatasan vegetasi. Tidak ada lagi pepohonan, Trek berganti menjadi bebatuan dan pasir. Pertanda sudah memasuki kawasan Pasar Bubrah. Kondisi cuaca semakin memburuk disini, badai kencang disertai hujan rintik. Kulihat plank Pasar Bubrah disertai beberapa pendaki yang pernah gugur disini. Aku berjalan yakin menembus badai. Jalur sudah tidak terlihat lagi sehingga harus sangat pelan. Aku melihat tower alarm penanda gempa sebagai patokan untuk berjalan.
Plang Nama  Pasar Bubrah 

            Kulihat ada satu-dua tenda yang ada di Pasar Bubrah. Tampak seperti ditinggalkan pemiliknya yang turun ke bawah, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Papan plang "batas aman pendakian" kutemui. Tanpa pikir panjang, kutapaki sedikit demi sedikit jalur ke puncak. Kesulitan lainnya selain badai adalah aku hanya memakai sendal gunung. Sering sekali selip sepanjang perjalanan. Trek berpasir sangat tidak cocok untuk sendal gunung. Baru beberapa langkah naik, aku harus rela jatuh terguling karena berpijakan pada batu yang kukira masif. Ternyata ini hanyalah permulaan. Sesaat kemudian aku harus merangkak maju menggunakan tangan dan kaki. Tidak ada lagi yang bisa dijadikan pijakan. Kulihat ke bawah, kalau aku jatuh cukup untuk mejadikanku tidak bisa berjalan kembali ke basecamp. Alam sangat tidak bersahabat, intensitas angin menajdi semakin deras. Kacamataku berembun. Lagi lagi jatuh saat aku kehilangan keseimbangan. Aku terhemapas jatuh kebawah, berguling. Satu tangan kuraih batu yang kulihat, berhasil! Aku jatuh tidak terlalu jauh ke bawah.
            Tak lama kulihat puncak tusuk gigi. Gagahnya Merapi saat badai, seakan akan aku memasuki sebuah pintu gerbang. Dalam hati terbesit, aku satu-satunya orang yang berani (tapi bodoh) naik ke puncak sewaktu badai. Aku masuk disela sela bebatuan tinggi, mencari celah agar bisa naik ke atas. Perlu perjuangan lebih agar bisa keatas, mengandalkan kekuatan tangan agar bisa menaikkan tubuh.
Berlindung dari Badai Kencang :(

            Setelah naik, kulihat sekeliling. Tidak ada lagi caraku untuk naik ke atas baik langsung maupun memutar. Aku menunggu dibalik batu, berharap badai segera reda. Tapi bulu-bulu tangan kulihat mulai membentuk serpihan es. Artinya pendakianku akan kucukupkan disini. Setengah jam berlalu, tidak ada tanda-tanda badai berhenti. Aku memutuskan untuk turun.
In The Middle of Storm

            Perjalanan turun juga tidak lebih mudah dari naik. Aku harus merosot jatuh (lagi). Turun dengan merosot menempuh waktu lebih cepat. Daripada mencoba berjalan dan bakal jatuh lagi, maka aku merosot sampai ke bawah.
            Setibanya di daerah Pasar Bubrah, aku berjalan lurus ke bawah. Seingatku hanya perlu berjalan lurus ke bawah setelah melihat plang batas aman pendakian. Disini aku mulai sadar, aku kehilangan buku catatanku saat turun tadi. Aku kembali menuju ke arah puncak, berusaha mencari buku catatan tersebut. Hasilnya nihil! Aku kembali turun.
Plang Batas Aman Pendakian

            Berjalan menembus badai, berharap secepatnya bisa sampai ke basecamp. Kutemui didepan mataku jurang yang menganga lebar. Tidak ada jalan turun terlihat. Oke, disini aku mencoba berpikir positif, mungkin saja aku terlalu berbelok ke kiri saat turun. Aku memutuskan kembali ke plang, menelesuri jejak serta patokan-patokan. Aku berjalan lurus. Tetap saja, yang kulihat hanya jurang. Aku melipir menyusuri jurang. Tampaknya jurang tidak ada habis.
            Saat kembali menuju plang, kudapati batu besar yang dari tadi tidak pernah kulihat. Pikiranku mulai lelah, tanganku mulai terasa beku. Memang Pasar Bubrah terkenal akan berbagai mitos yang menyelimutinya. Sekelilingku memang banyak batu batu bersusun yang seakan-akan membentuk kotak-kotak tersendiri. Masa bodoh, aku ingin pulang. Batu-batu tadi pun menjadi sasaran tendangku.
        Sayup-sayup terdengar suara di seberang jurang. Suara yang tidak jelas memanggil siapa. Kuikuti suara itu sebagai pedoman turun. Kupikir dengan turun ke jurang, aku bisa menemukan jalan naik lainnya. Sayang, saat aku turun ke jurang dan menyisir malah aku tambah tersesat. Aku kembali naik ke atas.
            Ditengah kepanikan karena aku hanya memutar-mutar Pasar Bubrah selama dua jam. Tenda yang semula kulihat saat sampai, tidak ada lagi padahal aku ingat persis tempatnya. Dilanda keputus asaan serta cuaca yang tak kunjung membaik, Aku berteriak sekeras mungkin. Tidak ada balasan.Akhirnya aku berpasrah (sambil terus mencari jalan). Memang ada keadaan diluar batas manusia (force majure) yang mengingatkan diriku betapa lemahnya aku yang hina ini. Dalam sempoyongan, kulihat samar-samar dikejauhan tower alarm. Sekarang aku berada di jalur yang benar entah bagaimana!  Aku berlari dengan senyum lebar.
            Sesampainya di basecamp, kuucapkan terima kasih kepada Merapi. Merapi memberikan pengalaman berharga dan akan menjadi kisah tersendiri dalam fase kehidupanku. Aku harus belajar melepas ke-egoisanku. Semumpuni atau setangguh apapun manusia, takkan pernah luput dari cobaan alam.  Ceroboh dan gegabah adalah hal yang harus dihindari, terlebih saat melakukan pendakian solo.



" Perjalanan yang sukses adalah perjalanan yang bisa membuatmu menanggalkan baju kesombonganmu"

Sabtu, 27 Mei 2017

Merbabu, Together We Achieved More


          Tiga hari lamanya aku beristirahat di rumah salah seorang teman bernama Royhan di Wonosobo. Royhan ini merupakan sejawatku di pondok pesantren Al-Amien Prenduan, orangnya baik dan berperawakan kekar. Selama tiga hari itu aku mencuci baju, jalan-jalan ke Situs Liyangan, serta berfoto ria di Alun-alun Wonosobo. Tidak terasa waktu tiga hari berjalan begitu cepat, mengingatkanku akan rencana selanjutnya. Gunung Merbabu merupakan destinasi selanjutnya. Aku akan melakukan pendakian via Selo yang katanya merupakan jalur pendakian terbaik Merbabu.Kali ini aku naik bis ke Solo lalu turun di Boyolali. Rute yang dilalui adalah melalui Secang, Seroto, Ambarawa, Salatiga, hingga Boyolali.
           Hari sudah malam ketika menginjakkan kaki di terminal Boyolali. Aku pun memutuskan untuk mencari tempat yang layak untuk tidur malam itu.Awalnya aku duduk di depan w umum sembari mengisi daya hp. Ternyata tepat disampingnya ada musola, juga beberapa orang yang baru turun dari pendakian. Aku masuk ke dalam dan beristirahat. Di dalam musola ada kira-kira lima orang. Sebagian dari mereka ingin mendaki, sebagian lagi cuman mampir sholat Isya. Disitulah awal mula aku berkenalan dengan salah satu bapak-bapak (lupa namanya!) beserta sang ponakan, Huda. Huda merupakan seorang siswa SMA yang gemar menjelajah, sedangkan pakdenya dulunya juga suka hiking. Karena tujuan kami sama, maka kita memutuskan menjadi satu rombongan.
          Pagi-pagi sekali setelah sholat subuh, kita bersiap-siap menunggu angkutan umum menuju Pasar Cepogo. Ojek-ojek serta mobil carteran tidak mau kalah menawari kami. Kupikir akan mahal tentunya biaya ngojek ke basecamp Merbabu, makanya kutolak. Jam tujuh pagi baru beroperasi angkutan umum menuju Pasar Sapi Boyolali. Angkutan umum di Pasar Sapi Boyolali seperti halnya kopaja di Jakarta. Penuh sesak diisi ibu-ibu yang selesai berdagang maupun mau berdagang dengan barang bawaan yang berjubel. Orang-orang disini sangat ramah. Dari Pasar Sapi kita naik lagi angkutan umum jurusan Cepogo terus naik lagi menuju Selo. Total biaya perjalanan cuman habis sepuluh ribu!
Hello Merbabu, We Are ready!

            Kami turun pas didepan gerbang komplek pendakian Selo. Berjalan sekitar  dua kilometer menuju basecamp Selo. Aku baru tau kalau ternyata di Selo ada dua basecamp yang tidak berjauhan. Kami memilih untuk melewati jalur baru. Meluangkan waktu sejenak di basecamp, makan nasi telur serta ritual mandi sebelum pendakian dimulai.
          Dari basecamp menuju pos 1 kita akan disuguhi pemandangan berupa kebun-kebun warga, tempat wisata, serta semak belukar. Umumnya tidak terlalu beda dengan gunung-gunung lainnya. Pos 1 berada di ketinggian 2000 mdpl. Kabut mulai turun saat kami menanjak menuju pos 2. Banyak orang-orang beristirahat disini. Aku beristirahat disini sembari menunggu Huda dan pakdenya yang ketinggalan di belakang. Sebenarnya ini disebabkan egoku yang memuncak. Aku tidak suka terlalu sering beristirahat di jalan. Bagiku istirahat itu ya di pos pendakian. Jadi aku berjalan mendahului mereka(jangan ditiru ya!). Akhirnya Huda dan pakde sampai di pos 2. Nama lain dari pos 2 ini adalah tikungan macan(?) Total waktu kami beristirahat disini hampir satu jam. Lanjut naik sembari kabut yang mulai berubah menjadi bulir-bulir air tetapi bukan hujan.
Papan Plang Pos 2

           Menuju pos Sabana 1  kita disuguhi vegetasi yang mulai terbuka dan banyak sabananya. Ada tempat terbuka yang cukup luas untuk berkemah. Kami tidak berkemah disini karena sudah terlalu penuh dan juga karena kami tidak membawa tenda sebenarnya hehehe, perjalanan pun kami lanjutkan menuju pos Sabana 1. Akhirnya setelah melalui beberapa tanjakan yang cukup menguras tenaga, kami sampai di pos Sabana 1. Pos ini merupakan tempat favorit para pendaki untuk mendirikan tenda. Tempatnya luas dengan latar belakang puncak Merbabu serta Gunung Merapi. Kami berkeliling sebelum mencari tempat untuk membuat bivak sarang macan karena dibutuhkan pepohonan yang kokoh untuk mengikat flysheet. Kami mendirikan bivak tepat di arah Selatan pos Sabana 1. Tempatnya sangat strategis, sudah ada parit-parit serta terisolasi dari tenda yang lain. Cuaca saat itu sedang berawan, kami tidak dapat menyaksikan kekokohan Merapi dari seberang. Selesai mendirikan bivak, kami berjalan-jalan sekaligus silaturahmi ke tetangga, membantu mendirikan tenda kelompok-kelompok lainnya. Seperti kebiasaan aku setiap naik gunung, aku selalu menyempatkan diri merenung. Berjalan ke arah sunyi dan merenungkan kehidupanku.
            Sore pun menjelang, karena ketiadaan kompor, kami memasak menggunakan kayu bakar yang di dapatkan pakde dari pohon-pohon mati. Rumput kering menjadi pemantik yang sangat pas. Mie sarimi yang kami bawa pun dimakan dengan lahap. Sengaja bara api sisa memasak tidak kami matikan untuk menghangatkan diri di sore yang dingin itu.
            Malam hari, aku, Huda serta Pakde berbagi kisah hidup kami. Huda yang sangat menyukai kegiatan outdoor bercerita dia pernah ikut suatu kegiatan ke Papua. Sementara Pakde bercerita pendakian jaman dahulu yang hanya beralaskan sendal jepit serta bivak alam. Aku pun belajar bahasa Jawa dari Huda yang memang berasal dari pekalongan, mulai dari Ngoko, Madya, sampai Inggil. Ternyata bahasa Jawa itu sangat kaya dan ribet belajarnya kalau cuman sehari!
Mau Kemanakah Anda?

Sabana 1 Terselubung Kabut

Bivak Sarang Macan: Sederhana namun elegan

            Sambil bercerita panjang lebar, matapun mulai memejamkan diri, berangsur angsur tertidur satu per satu. Suara berisik kembang api pada tengah malam membangunkanku dari tidur ayam. Hujan juga mulai turun sehingga kami merapatkan diri ke tengah. Paginya kami berangkat untuk summit attack pukul empat subuh. Berbondong-bondong bersama ratusan manusia ingin menyaksikan matahri terbit dari puncak Merbabu. Perjalanan ke puncak harus melewati Sabana 2 serta puncak-puncak tipuan lainnya. Perjalanan yang disertai kabut selalu membawa harap-harap cemas; matahari takkan nampak.
            Waktu menunjukkan pukul 6 lebih tetapi kabut masih tak beranjak dari angkasa di atas kami. Sesampainya di puncak Trianggulasi, kami mendapati bahwa kabut menyelimuti sebagian besar langit sehingga sang surya tidak terlihat sama sekali. Kami berjalan menuju puncak lainnya, Keteng Songo. Puncak Keteng Songo memiliki ketinggian 3142 mdpl. Padatnya manusia yang menunggu kabut sirna membuat kami beralih lagi ke puncak Trianggulasi yang masih lumayan sepi. Satu jam setengah kami menuggu, tidak ada tanda-tanda kabut akan turun. Dengan berat hati kami menyudahi keberadaan kami di puncak. Kami turun perlahan sembari berfoto ria. Ternyata pas kami sampai di Watu Lumpang (antara puncak dan Sabana 2) cuaca berangsur-angsur cerah bahkan panas! Walhasil kami hanya cengengesan meratapi nasib yang berlalu.
Sampai Juga Akhirnya Di Puncak Merbabu

            Kembali ke Pos Sabana 1, merapikan barang-barang bawaan. Kami pun turun dengan kecepatan maksimal. Turun melewati jalur Selo yang lama biar dapat view yang berbeda dari kemaren. Alhasil kami berhasil sampai ke basecamp dalam kurun waktu tiga jam saja. Perjalanan saya bersama Huda dan Pakde harus berakhir di basecamp ini. Huda dan Pakde ingin segera balik ke Pekalongan dan aku yang ingin melanjutkan pendakian selanjutnya ke Merapi. Kami sempatkan bertukar nomor dan foto sebelum berpisah.

Keren kan? Wkwkw


            Pelajaran yang sangat berharga kupetik disini. Aku yang selalu berjalan dengan langkah cepat kedepannya harus bisa menyesuaikan dengan rombongan. Apa gunanya menjadi tercepat jika kecepatan hanya akan meninggalkan kawan-kawanmu dibelakang? Ketika kamu dipercaya memimpin maka lunturkan ego pribadimu demi rombongan yang berada di barisanmu. Terima kasih Huda dan Pakde, kalian adalah guru yang mengajarkanku meruntuhkan egoku! Sampai ketemu lagi.

Minggu, 21 Mei 2017

Sindoro, Pelan-Pelan Kugapai Puncakmu

         Pagi pun tiba, tetapi rintik hujan masih setia menemani sinar mentari yang muncul malu-malu. Jam 10 pagi baru hujan reda dan kita (saya, bang Babal, bang Menong) berangkat menuju Sindoro. Perjalanan dari basecamp Sindoro desa Garung ke pos 1 memakan waktu kurang lebih satu jam, tetapi bagi teman-teman yang ingin mempersingkat perjalanan, ada jasa angkutan ojek yang akan mengantarkan sampai ke pos 1,5. 

Bang Menong (Kuning) dan Bang Babal (orange) menuju pos 1

      Pemandangan dari basecamp ke pos 1 dihiasi dengan ladang-ladang daun bawang di kiri-kanan sepanjang perjalanan. Pos 2 berada di ketinggian 2120 mdpl, dan ada sebuah shelter kecil bagi para pendaki untuk beristirahat. Trek pos2 ke pos 3 berupa tanah merah dan pepohonan rimbun. Pos 3 merupakan pos yang biasa dipakai para pendaki untuk ngecamp. Tempatnya disini cukup luas dan merupakan batas vegetasi. Kami memilih untuk ngecamp di pos 3, supaya turunnya tidak terlalu jauh. Sebenarnya selain di pos 3, kita bisa memilih untuk ngecamp di sunrise camp yang letaknya 300m diatas pos 3.
Pemandangan dari Pos 3

Perbaikan gizi dulu wkwk

      Untuk pemandangan di pos 3 cukup bagus. Kita bisa melihat gunung Sindoro sebelah selatan dan pemandangan di malam harinya sangat menakjubkan, kerlap kerlip lampu kota Wonosobo serta kecamatan Temanggung menjadi pemandangan yang menarik.
       Malam itu kami memutuskan untuk memasak tempe orek sembari menikmati kopi. Kami menawarkan kopi ke tetangga sebelah. Sungguh menyenangkan berbagi cerita serta perbekalan dengan pendaki lain. Udara dingin berhembus keras, menyuruh kami beristirahat secepatnya. Secepatnya kami beristirahat, tak sabar untuk menggapai puncak kedua kami (double S).
        Pagi menjelang. Sekitar pukul 5 pagi, ntah kenapa badan menjadi sekeras batu untuk bangun. Mata perlahan menutup, kembali tidur. Jam 6:30 aku dibangunkan oleh bang Babal. Bang babal dan bang menong memutuskan untuk tidak muncak dikarenakan encok dan sakit kaki. Mereka memilih menungguku di tenda. Aku segera bangun dan melakukan peregangan singkat, hanya membawa buku catatan dan hp. (Sebenarnya agak tidak rela juga naik sendiri, tapi mau apa dikata mereka sedang sakit :(

Nyasar :'(

Pos 4
View Sumbing dari Sindoro

          
Naik dengan kecepatan penuh, aku sempat tersesat saat menuju pos 4. Masuk menembus semak belukar yang penuh duri-duri tajam berhasil merobek sebagian jaket, tak apalah seakan akan ini sebuah kenangan dari Sang Sindoro. Jalan menuju puncak dipenuhi kabut tebal serta bau belerang yang sangat kuat. Buff yang dibasahi dengan air menjadi senjata pamungkas melawan bau belerang agar sampai ke puncak. Tidak ada lagi bonus sekarang, tanjakan curam berpasir menjadi medan yang harus ditaklukkan. Kelemahan disaat kita memakai sendal gunung dapat dirasakan ketika medan yang kita lalui berpasir, pinjakan menjadi tidak sempurna sehingga rawan jatuh.
Sesampainya diatas aku mendapati diriku hanya seorang diri di puncak. Samar-samar terdengar suara orang tetapi kabut tebal membatasi pandangan sehingga untuk berjalan amatlah hati-hati, salah langkah kita akan masuk ke kawah Sindoro :(
        Rupanya orang-orang berkumpul di sebelah utara, berfoto ria dengan background kabut. Aku pun meminta tolong pada mereka untuk mengabadikan diriku yang bersusah payah mencapai puncak. Cukup 30 menit di puncak karena menurut hematku kabut tidak akan turun dalam waktu satu jam. Perjalanan turun dari puncak ke pos 3 hanya memakan waktu 1 jam Subhanallah! Mungkin karena tidak ada bawaan dan pengen cepat nyampe basecamp :D
Puncak!!!

Kabut Everywhere

        Pukul 9 pagi kami sudah beres-beres alat dan turun perlahan-lahan. Kaki Bang Menong yang sakit lebih terasa saat turun. Untuk di pos 2, shelter yang kemaren ada sekarang sudah dirobohkan. Kami istirahat sambil melihat para pemuda Grasindo (Gabungan Remaja Anak Sindoro) sedang menebang pohon besar. Sesampainya di pos 1, 5 (pos buat ojek) kami memutuskan naik ojek agar bisa menempuh perjalanan ke basecamp sesingkat-singkatnya.
Sebelum Turun Kita Foto Dulu

          Sampai di basecamp dan beristirahat. Kami makan di warung yang terdapat pada salah satu pasar di jalan raya Kledung. Warung disini sangat murah! Kami yang terbiasa dengan harga warteg di Jakarta begitu kaget ketika membayar padahal kami pesan ayam, lele jumbo, tempe mendoan, sayur nangka, dan masih banyak lagi. Kenyang!
          Selesai makan kami berbincang-bincang. "Lu jadi lanjut setelah ini ke double M?"  "Yakin lah bang, nanggung kalau gak dikhatamin hehe" "Kalau lu jadi lanjut ke Slamet bang?" " Gak tau nih, liat kondisi cuaca juga, kalau cuaca buruk ya batal" " Bang Menong gimana?" " Wah aku cukup dua ini saja dulu, udah sakit dengkulku". Begitulah percakapannya hehe


            Akhirnya aku berpisah dengan dua orang baik yang memang ditakdirkan menemaniku sepanjang perjalanan double S. Begitu banyak kenangan dan pengalaman dalam perjalanan singkat yang kurasa tak akan kudapati di bangku sekolah manapun. Semoga kita dapat melakukan perjalanan bersama lagi bang Menong dan bang Babal. Semoga kalian selalu dalam keadaan sehat selalu! (Bersambung)

Sabtu, 20 Mei 2017

Sumbing Here I Come!



           Sumbing dan Sindoro, dua gunung yang terletak di kabupaten Temanggung sudah lama mengusik benakku untuk menjelajahinya. Aku pun merencanakan perjalanan ini pada bulan Januari 2017, sekalian mengisi waktu libur. Awalnya aku mengajak beberapa orang teman yaitu, Nana, Bob, dan Alwan. Namun dikarenakan Nana tidak dikasih izin oleh orang tuanya dan si Bob uangnya dipakai untuk rumahnya, dengan berat hati aku memutuskan untuk berangkat sendiri (sengaja tidak mengajak Alwan, nyusahin wkwk). Rencananya berangkat hari Jumat, 23 Desember 2016 sayangnya tiket pada hari itu habis pas tiba aku sudah sampai di loket-_-. Yasudahlah akhirnya keberangkatan ditunda besoknya. Hari sabtu, 24 Desember 2016, sengaja berangkat pagi-pagi biar gak kehabisan tiket lagi. Akhirnya dapat juga deh tiket bis setelah mengantri sekitar satu jam. Kebetulan pas mengantri ada Ojan juga mengantri tiket ke Yogya tapi sayangnya dia kehabisan wkwkw.
            Packing alat-alat sudah dilakukan sehari sebelumnya, jadi hari itu tinggal berangkat saja. Unfortunately, sendal gunungku tiba-tiba hilang!!! Wtf, aku lupa ngasi tau Faqih biar gak makai sendalku. Disaat-saat panik, berusaha ngehubungin Faqih lewat line, whatsapp, dan telpon tapi nggak diangkat. Akhirnya dikasih pinjeman uang sama Ojan 100.000 buat beli sendal. Dengan kekuatan panik luar biasa, akhirnya nyari-nyari sendal gunung yang murah, eh ternyata yang bermasalah itu ukuran! jarang ada ukuran 43. Nyari-nyari sampai di Margonda akhirnya kebeli juga sendal gunung merek Rei.
        Jadwal bis berangkat sekitar pukul 2, untungnya tiba sebelum jadwal keberangkatan tapi tetap aja khasnya Indonesia itu ngaret! Jadi baru berangkat sekitar pukul 3:45 sore. Dapat kursi dibarisan tengah jadi agak kurang nyaman karena kaki tersa dihimpit. Skip skip skip.
          Perjalanan Depok-Wonosobo memakan waktu sekitar 13 jam. Sempet dibangunin supir karena sudah sampai di terminal akhir. Aku bangun dengan kesadaran setengah masuk, bergegas mengambil tas carrier yang ditaruh di bagasi. Oh iya kebetulan di bis yang sama juga ada rombongan dari Depok yang ingin mendaki Sindoro-Sumbing. Akhirnya mencari mushola untuk menunaikan sholat subuh. Sebelum mengambil wudhu, sempat berbincang-bincang dengan bang Babah (Rendi Widiyanto, yang akhirnya menjadi teman seperjalanan). Seusai sholat subuh, aku pun mendatangi bang Babah disalah satu warung di terminal Wonosobo. Bang Babah menanyakan tujuan pendakian dan rombongan. Ya aku hanya menjawab hanya sendiri dan ingin ke Sindoro dulu. Pas saat itu juga datang juga rombongan dari Garut, Fawwaz dan kawan-kawannya. Saat kita lagi membicarakan untuk mencarter mobil bak, datang juga rombongan dari Depok yang tadi sebis, mereka juga mau gabung carter mobil. Kita semua sepakat untuk mencarter mobil bak yang harganya 20.000/orang. Perjalanan terminal Wonosobo-basecamp Sindoro dan Sumbing ditempuh sekitar 30 menit. Karena aku memutuskan untuk mendaki Sumbing lebih dahulu, akhirnya rombongan yang mau mendaki Sindoro diturunkan lebih dahulu. Jarak basecamp Sindoro via kledung dan Sumbing via Garung tidak berjauhan, hanya berjarak 15 menit jalan kaki.
(Sindoro dari basecamp Sumbing)
          
Gunung Sumbing

      Sesampainya di basecamp Sumbing, aku bergegas mengurus simaksi, menuju warung terdekat, dan memesan soto, serta membeli tambahan air untuk di perjalanan. Pukul tujuh tepat aku memutuskan meninggalkan bang Babah dan Menong yang sudah tidak kulihat lagi. Jalur garung mempunyai dua rute, garung baru dan garung lama, bedanya garung baru terdapat mata air. Tetapi aku lebih memilih rute lama.
             Dari basecamp ke pos 1 treknya adalah bebatuan bersusun yang ditata sedimikian rupa untuk memudahkan pejalan. Namun menurutku, trek seperti ini lebih berat dari trek yang di gunung biasanya, soalnya batu yang diinjak keras dan tingginya sama. sepanjang perjalanan ini akan disuguhi pemandangan pemukiman penduduk, lalu mulai masuk kawasan perkebunan. Pos 1 tepat berdiri dikaki gunung, membatasi perkebunan dengan hutan gunung. Di pos 1 ini kita bisa temukan warung-warung yang berjualan konsumsi pendaki. Hampir lupa, dari basecamp ke pos 1 kita bisa menggunakan ojek untuk menghemat waktu dengan biaya 25.000. Setelah satu jam berjalan, akhirnya aku mendapati bang Babah dan Menong tengah beristirahat di pos 1. Setelah ngobrol sebentar akhirnya aku memutuskan untuk ikut rombongan mereka. Jadilah akhirnya kita bertiga mendaki Sumbing!
Pos 1 via Garung Lama

            Dari pos 1 menuju ke pos 2 kita akan melewati trek bernama pencit engkrak. Tidak ada yang spesial disini, sama seperti hutan-hutan di kaki gunung biasanya. Treknya agak landai dengan tanah merah yang agak keras, jadi hal itu tidak menyulitkan kami sama sekali.

Trek Penyiksa Dengkul hehehe


            Perjuangan sesungguhnya dimulai dari pos 2 menuju pos 3. Trek yang dilalui sangat curam, pantas saja trek ini dinamai engkol-engkolan(btw, engkol: engkel baca:penyiksaan engkel wkwk). Kami bertiga memutuskan untuk beristirahat setelah melewati trek engkol-engkolan yang luar biasa memakan tenaga, sembari menunggu matahari agak menurun. Saat beristirahat kami gunakan sebaik mungkin untuk mengisi perut dan tidur-tiduran. Tepat jam 3 sore kami mulai beranjak naik menuju pos 3 pestan. Awan yang tadinya tebal perlahan-lahan mulai menyebar sehingga membuat gunung Sindoro yang terletak diseberang mulai terlihat. Kami mulai mendirikan tenda sembari memakan bakwan dan menikmati senja hari. Malam hari tiba, disinilah kami mulai masak-masak ala gunung, tetapi ini diluar dugaanku. Bang Menong dan Bang Babal memasak menu spesial, orek tempe! Setelah makan malam selesai, kami berbincang-bincang. Perbincangan kami dimulai dari topik yang sederhana seperti kapan mulai naik gunung dan berapa gunung yang sudah dikunjungi. Bang Menong dan Bang Babal mengajarkanku banyak hal, mulai dari skill dalam pendakian sampai masalah cinta-cintaan wkwk. Malam pun semakin larut dan menyuruh kami untuk masuk ke sleeping bag masing-masing.
Bang Menong Lagi Masak Bakwan Gunung

             Jam 4 subuh kami memulai summit attack. Berangkat dengan tubuh yang mengigil disertai pemanasan seadanya, kami beranjak naik. Pasar watu merupakan tempat yang akan kami lalui selanjutnya. Dinamakan pasar watu karena batu-batu disana bersusun menjadi seperti pasar (menurutku di sini merupakan lokasi pengambilan gambar terbaik daripada di puncak malah). Saat naik, kami melihat seorang anak yang ketinggalan rombongan sedang mengalami gejala hipotermia. Langsung saja Bang Babal yang sudah mahir dengan sigap memberikan pertolongan. Untungnya anak tersebut tertolong.

            Matahari semakin naik dan kami sengaja tidak sampai puncak terburu-buru, melihat kondisi cuaca yang agak mendung jadi tidak memungkinkan untuk melihat sunrise. Akhirnya kurang lebih jam 6 lewat, kami sudah berada di puncak Sumbing. Puncak Sumbing memiliki ketinggian 3371 Mdpl. Dari puncak ini kita bisa melihat gunung Merapi dan Merbabu di sebelah Timur, gunung Slamet dan Ciremai di sebelah Barat Daya, Sindoro dan Prau di sebelah Barat, dan Andong di sebelah Utara.
Puncak Sumbing Berlatar Sindoro

            Perjalanan turun dari puncak ke basecamp kami tempuh sekitar 4-5 jam. Sesampainya di basecamp, hujan turun dengan derasnya, membuat kami menunda untuk segera tancap gas ke Sindoro. Rombongan Fawwaz serta Depok kembali kami jumpai. Segera mereka menceritakan pengalaman mereka naik Sindoro dan menanyakan tentang pendakian Sumbing. Setelah puas berbagi kisah, kesemua rombongan memutuskan berangkat pagi sembari menuju hujan reda (Bersambung)