Tampilkan postingan dengan label Petualangan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Petualangan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 20 Februari 2019

George Town: Pulau Penang Truly Asia


             Kota-kota tua zaman kolonial biasanya digambarkan: kokoh, menawan, dan arsitektur yang indah. Semua bayangan ini tentu saja benar dan George Town merangkum semuanya dalam satu tempat. Tidak cukup dengan keadaan "tua", kota ini juga memadukannya dengan gedung-gedung modern sehingga bila dilihat setengah daripada George Town adalah campuran old-new.  Banyak gedung-gedung tua yang masih lestari dan masih digunakan masyarakat sampai sekarang. Tidak heran bila akhirnya pada 2008 UNESCO menganugrahkan George Town sebagai situs warisan dunia.
                George Town sendiri dipilih berdasarkan kriteria OUV (Outsatanding Universal Values) yang disusun oleh UNESCO. Nilai dari OUV sendiri adalah bagaimana suatu tempat mempunyai pengaruh atas evolusi umat manusia dari masa ke masa; terlihat dari peninggalan tangible maupun intangible. George Town sendiri dinilai sebagai tempat yang sangat multikultural mulai dari bangunan, makanan, hingga kebiasaan.
george town
Salah Satu Sudut Kota Tua George Town
               
kota tua george town
Perempatan Kota Tua George Town
Start yang tepat untuk menjelajahi sudut kota tua George Town adalah Komtar, sebuah gedung pencakar langit yang menjadi pusat hiburan di kawasan kota tua ini. Komtar sendiri adalah bangunan modern yang terdiri dari hotel, mall, terminal bus yang disatukan. Dari Komtar, anda akan lebih mudah mejelajahi berbagai spot-spot wisata di penjuru George Town.
komtar tower
Komtar di Malam Hari

                Kawasan kota tua George Town dibagi berdasarkan kepentingan dan serta kegunaan diantaranya ada: Cultural Enclave, Leisure Zone, Clan Jetties, The Waterfront, Business District, Enterprise Zone,  dan Heritage Traders. Mesjid Kapitan Keling harus masuk list utama kalian ketika berada di kawasan ini. Mesjid yang didirikan pada 1803 oleh seorang kapitan (kapten) muslim yang berasal dari India, Kapitan Keling Kadir Mydin Merican. Keling sendiri merupakan "gelar" yang diberikan oleh orang Melayu kepada orang-orang India. Penyebutan keling pada masa itu tidak dianggap sebagai ucapan rasial, namun masa sekarang kata ini tidak lagi digunakan. Mesjid ini sedikit mengingatkan kita pada Taj Mahal, karena pada bagian kubah besar yang diapit oleh dua kubah kecil (Mughal Architecture) sedangkan pada bagian utama mesjid kita disuguhi dengan Moorish Architecture berupa lengkungan-lengkungan anggun pada lorong menuju shaf sholat.
mesjid kapitan keling
Mesjid Kapitan Keling

                Bila kalian ingin melihat bagaimana kuil-kuil di India, Kuil Sri Maha Mariamman merupakan contoh yang dapat kalian lihat di Little India. Kuil ini awalnya merupakan kuil kecil yang dibangun pada akhir 1790an namun kemudian diperbesar pada 1833 seiring dengan makin banyaknya penduduk asal India di Pulau Penang. Kuil ini merupakan kuil Hindu sehingga kalian akan mendapati arca-arca seperti arca Wisnu dan Ganesha. Ada beberapa kuilnya yang tersebar di beberapa tempat di George Town, namun ini yang paling fenomenal.
Kuil Sri Maha Mariamman
Kuil Sri Maha Mariamman Menjelang Malam

                Bangunan lainnya ada George Town World Heritage Incorporated (GTWHI). Bangunan ini awalnya adalah klinik yang difungsikan untuk melayani kesehatan warga sekitarnya pada 1930 an. Namun bangunan ini terus mengalami perubahan fungsi sampai akhirnya pada 2003 digunakan oleh pemerintah Pulau Penang sebagai kantor kepengurusan warisan kota tua George Town.
Gedung George Town World Heritage Incorporated
Gedung George Town World Heritage Incorporated

                Tak lengkap rasanya ke Penang tanpa mencoba Asam Laksa. Yap! Asam laksa ini berbeda dengan laksa yang ada di Indonesia. Asam laksa ini berupa laksa yang dicampur dengan kuah ikan  tongkol dilengkapi dengan bunga kecombrang, daun jeruk, irisan nanas, serta daun mint. Rasanya sangat segar dan enak, cocok buat kudapan siang sehabis mengelilingi George Town. Oiya, salah satu warung asam laksa yang terkenal di seputaran kota tua George Town adalah Penang Road Famous Laksa.
asam laksa penang
Asam Laksa, Yummy!

             Karena letaknya dipinggir laut, maka tak heran George Town juga dikenal beberapa kampung dermaga yang terangkum dalam Clan Jetties. Clan Jetties sendiri dari beberapa Jetty antara lain Ong Jetty, Lim Jetty, dan Chew Jetty. Banyak imigran Cina yang datang ke Penang sebagai pekerja kasar di kapal dan dermaga pada awal abad ke-19. Sebagian dari mereka membuat rumah-rumah panggung di pinggir laut dan akhirnya berdirilah kampung-kampung dermaga sepanjang batas timur George Town.
clan jeeties
Clan Jeeties

                Yang paling ikonik dari George Town adalah mural-mural yang terdapat disekitaran kota tuanya. Mural-mural ini menghias sudut-sudut kota tua dengan background tembok tua sehingga terkesan artsy.  Sebagian besar mural tersebut digambar oleh Ernest Zacharevic, seorang artist asal Lithuania. Beberapa diantaranya yang terkenal adalah boy on motorcycle, brother and sister on swing,  dan little children on biycycle.  Tujuan pembuatan mural sendiri adalah inisiatif pemerintah Penang untuk memperindah serta memperkaya nilai yang terdapat di kota tua George Town.
Brother and Sister on Swing
Brother and Sister on Swing

Children on Bicycle
Children on Bicycle

                George Town merupakan perpaduan apik "tua-muda", "baru-lama". Pemerintah Penang sendiri menaruh perhatian besar terhadap George Town karena George Town merupakan salah satu aset wisata serta sejarah Pulau Penang yang menunjukkan keberagaman, keharmonisan, dan keserasian. Tak heran Malaysia mengklaim diri sebagai Truly Asia, George Town merupakan contoh hidup dari semboyan tersebut.
               

Rabu, 10 Oktober 2018

Annapurna Basecamp Diary

Nepal, negara yang terkenal karena tiga hal; pegunungan, kuil, serta murah. Tiga hal tersebut cukup mendeskripsikan Nepal secara singkat. Beberapa orang menyukai Nepal karena traveling disana sangat bersahabat dengan kantong. Sedangkan sebagian lainnya tentu saja pengen mendaki gunungnya. Pegunungan di Nepal ibarat Makkahnya orang pendaki, sekali saja tidak cukup untuk mengunjunginya, rasanya ada yang tidak tuntas. Tingkat kesulitan gunung-gunung di Nepal sangat bervariasi, mulai untuk pendaki pemula sampai yang ahli semua tersedia lengkap. Untuk area konservasi saja Nepal punya empat yaitu Annapurna Conservation Area, Manaslu Conservation Area, Kanchenjunga Conservation Area, dan Blakbuck Conservation Area. Untuk gunung tentu saja ada Everest, Manaslu, Annapurna Sanctuary, Kala Patthar, dan masih banyak lagi.

You See That?

Pada 5-9 Agustus 2018 aku berkesempatan menjajal Annapurna Basecamp, salah satu trek pendakian yang sudah melegenda seantero dunia. Annapurna Basecamp merupakan trek yang berada didalam Annapurna Conservation Area. Annapurna Conservation Area sendiri didalamnya terdapat banyak trek pendakian diantaranya Ghandruk Trek, ABC Trek, Mardi Himal Trek, Annapurna Circuit trek. Luasnya sendiri mencakup 7,629 km2 dan merupakan rumah bagi lebih dari 100,000 penduduk dari berbagai macam budaya dan habitat bagi 1233 tanaman, 105 mamalia, 492 burung, 40 reptil, 347 kupu-kupu, 20 ikan, serta 23 amfibi. Lebih dari 60% tujuan para pendaki yang datang ke Nepal adalah ACAP( Annapurna Conservation Area Project) sehingga tidak mengherankan trek ini menjadi salah satu wisata andalan di Nepal.
Peta Annapurna Conservation Area dan Surat Izin Pendakian

Aku bersama mas Ivan berangkat menuju Nayapul dari Pokhara, kota besar terdekat dengan trek pendakian. Sebelumnya kami menginap sehari di tempat teman kami, Ashiq yang merupakan orang Kashmir yang tinggal di Nepal. Sepanjang perjalanan menuju Nayapul, kami disuguhkan pemandangan sungai besar serta perbukitan. Keadaan jalan yang kurang baik tidak menghilangkan kesan dalam perjalanan ini, justru menghidupkan keadaan Nepal yang tidak didapat di negara lain; bis-bis besar dengan klakson nyaring yang saling salip.     
Sepanjang Perjalanan Menuju Nayapul

Nayapul merupakan titik awal pendakian trek ABC maupun Poon Hill. Registrasi pendakian dilakukan sehari sebelumnya dan akan mendapatkan dua surat yaitu surat izin pendakian dan surat izin memasuki kawasan konservasi. Kedua surat ini dapat diperoleh di Kathmandu maupun Pokhara, biayanya kalau mengurus di Kathmandu adalah 4000 NPR sedangkan kalau mengurus di Pokhara ditambah biaya administrasi sebesar 200 NPR. Saranku lebih baik menaiki jeep dari Nayapul ke Siwai. Selain menghemat waktu juga menghemat biaya sehari untuk makan dan tidur. Kami menaiki jeep menuju Siwai dengan harga 1500 NPR, seandainya lebih banyak orang akan lebih murah tetapi karena kami naik bukan pada musim pendakian maka sangat sedikit yang mau ke atas.  Alternatif lain sebenarnya ada bis menuju Siwai, biayanya lebih murah tetapi perlu kesabaran menunggunya :D

Tujuan kami adalah Chhomrong, desa yang berada di ketinggian 2173 mdpl. Perjalanan memakan waktu 7 jam lamanya. Sepanjang perjalanan kalian akan menemui pemandangan yang mirip dengan ada di Indonesia, hutan hujan dengan air terjun disana sini. Kami melewati rute Jhinu New Bridge, jembatan terpanjang yang baru selesai dibangun. Melewati jembatan ini serasa melewati jembatan sirhatal mustaqim; lurus, bergoyang, tinggi. Jalur ini lebih singkat daripada melewati desa Ghandruk.
Sesampainya di Chhomrong kami beristirahat di salah satu pondokan yang menyewakan kamar seharga 200 NPR. Buat informasi, pendakian di Annapurna disarankan tidak membawa tenda, selain menambah berat bawaan juga harga sewa lahan buat tenda jauh lebih mahal daripada menginap di penginapan. Cuaca saat itu sedang hujan deras, kami memutuskan untuk istirahat lebih awal. Hari pertama pendakian memang memakan banyak tenaga. Trek yang dilewati berupa tanah dan sesekali anak tangga membuat stamina menjadi sangat terkuras. Untuk makan malam kami mencoba momo, makanan khas nepal dengan isian keju yak, sangat enak! Juga dal bhat sepiring berdua(1 porsi Nepal = 2 porsi Indonesia.
Jembatan New Jhinu

Keesokan harinya, pukul tujuh pagi kami sudah bersiap-siap melanjutkan perjalanan. Pagi itu masih gerimis diselingi angin sepoi menemani perjalanan. Rute hari ini adalah Chhomrong-Deurali dengan perkiraan durasi 9 jam perjalanan.   Awan hitam rupanya tak lagi bisa dibendung langit, menumpahkan air ke permukaan bumi. Aku kedinginan sepanjang perjalanan. Aku terpaut jauh berjalan dengan Mas Ivan sehingga melewati desa Sinuwa, Bamboo, Dovan hanya sendiri. Namun saat menuju dovan aku menemukan teman seperjalanan, Sam, berumur sekitar 50an dari Korea. Dia menawarkanku cemilan khas korea berupa daging tipis mirip lembaran permen karet dan lembaran daging ikan. Sesampainya di Deurali, aku yang sampai lebih dahulu berjalan-jalan disekitar. Deurali sangat indah, diapit dua bukit tinggi dengan air terjun yang mengalir tanpa henti. Sungguh ketenangan yang luar biasa kudapatkan disini. Suhu udara perlahan lahan mulai turun merasuki nadi-nadi yang membuat kuduk berdiri. Harga penginapan disini sama dengan dibawah hanya 200 NPR. Namun listrik disini mulai dibatasi karena menggunakan panel surya sebagai tenaga sehingga perlu penghematan. Malam dengan awan mendungnya menutup hari kami dengan tenang.
Penampakan Lapisan Pegunungan dari Chhomrong
Wonderful Scenery!

Hari ini rencana adalah langsung menuju ABC sebagai titik akhir pendakian. Aku, Mas Ivan, dan Sam melanjutkan perjalanan bersama. Rute terdekat sebelum ABC adalah MBC (Machapuchare Basecamp) yang dapat ditempuh selama dua jam. Kalau kalian pernah melewai rute Torean di Rinjani, maka trek yang dilalui sepanjang Deurali- MBC akan kurang lebih sama. Puncak Machapuchare kadang-kadang muncul dibalik awan, tetapi lebih banyak menutupi dirinya. Kami sebentar-sebentar berhenti hanya untuk melihat penampakan puncaknya yang runcing. Kami juga ditemani oleh anjing-anjing liar himalaya yang sangat jinak. MBC menuju ABC, sebatas perjalanan dua jam. Saat itu benar-benar berkabut sehingga rasanya perjalanan menjadi jauh lebih lama. Kalau kalian ke ABC saat bulan Desember/Januari kalian akan menemukan salju disini. Akhirnya, sampailah kami di ABC. Baju kami yang kebasahan disambut udara dingin. Kami segera memesan kamar dan berganti baju. Sore hari di beranda ABC sangat menyenangkan. Berkenalan dengan teman-teman yang berasal dari berbagai penjuru dunia, berbagi cerita, sampai berbagi makanan. Sore itu perlahan-lahan awan tebal mulai terbuka menampakkan keindahan puncak Mahapuchare. Malamnya kami tidak bisa tidur nyenyak. Rupanya semua orang yang baru pertama kali berada di ketinggian 4000 mdpl akan mengalami AMS (Altitude Mountain Sickness). Gejalanya berupa pusing, lemas, dehidrasi. Kami semua merasakan dehidrasi saat tidur, kerongkongan terasa sangat kering tiap 30 menit. Untungy Sam sudah membeli teh lemon setermos dan obat AMS, tetap saja tidur tidak nyenyak di ketinggian segitu. Matahari menjadi sangat kami nantikan.
Pagi datang tiba-tiba namun awan mendung tidak juga beranjak menghilang menutupi pemandangan Annapurna I. Kami sampai hampir merelakan pemandangan yang kami idma-idamkan. Tuhan  berkata lain, tiba-tiba saja awan tersingkap dan mulai menampakkan pegunungan Annapurna. Kami takjub seakan tidak percaya karena hampir saja turun lebih awal. Suara avalanche seakan menjadi backsound, terdengar seperti dentuman keras. Annapurna yang awalnya seperti enggan muncul, sekarang benar-benar terlihat sempurna wujudnya. Benar-benar kuasa tuhan yang indah.
Annapurna Basecamp 
Annapurna I
Enjoy A Cup of Coffe

Setelah puas melihat, sebelum kami turun, awan-awan mulai menutupi keindahan Annapurna lagi. Saatnya benar-benar berpisah. Kami langsung tancap gas menuju Chhomrong. Perjalanan ditempuh selama 10 jam. Hujan deras menemani kami sepanjang perjalanan. Tiada kata berhenti karena hujan. Keesokan harinya dari Chhomrong kami menuju Sinuwa dan naik bis kembali ke Pokhara.
Begitulah sekelumit cerita dari aku dan kumpulan orang-orang yang berani bermimpi. Ibarat orang yang berhaji, kami tuntas meskipun rukunnya bolong-bolong. Aku berniat kembali lagi suatu saat mencari waktu yang bagus. Agar sekiranya pertemuan dengan Annapurna benar-benar seutuhnya bertemu tanpa ada halangan awan yang berarak.
                                                                                                                                            

Selasa, 11 September 2018

Sekelumit Catatan Tentang Nepal


            I enjoy load shedding in Nepal, when it allows me to witness the dancing of fireflies in the next field, and at the same time to hear children playing a chanting clapping game because there is no TV to waste their time on. - Andrew James Pritchard

           Apa yang kamu ketahui tentang Nepal? Kalau kamu anak gunung pasti menjawab Himalaya! Kalau kamu anak budaya pasti menjawabnya negara Hindu Budha. Semua yang disebutkan diatas benar, namun tahukah kamu bahwa Nepal bukan hanya sekedar negara Hindu-Budha maupun Himalaya, melainkan sejuta keunikan dimiliki oleh negara yang hanya mempunyai luas 147,181 km2.
Kuil Swayambhunath di Kathmandu

                Nepal merupakan satu satunya negara yang mempunyai bendera berbentuk segitiga. Hal ini dikarenakan Nepal lebih mengikuti bendera asal Asia Selatan sebelum datangnya pengaruh Eropa dan memang Nepal bukanlah negara yang pernah dijajah. Filosofinya dua segitiga ini banyak sekali pendapat, diantaranya melambangkan Hindu-Budha, melambangkan Himalaya, melambangkan dua keluarga kerajaan Nepal Shahs dan Ranas, serta melambangkan kedamaian.
Bendera Nepal


              Kalau kamu mengunjungi Nepal, jangan kaget melihat kabel listrik berseliweran. Yup, tiang-tiang listrik di Nepal memang dibiarkan begitu saja. Entah kenapa alasannya yang pasti kamu tidak akan menemui hal ini di Indonesia. Nepal juga sering mengalami pemadaman listrik, terutama ketika aku berada di Pokhara, hampir setiap hari selalu ada pemadaman walau durasinya tidak selama di Banjarmasin tetapi hal ini cukup mengesalkan karena terjadi berulang-ulang dalam sehari.

                Selanjutnya ada sapi! Sapi merupakan wahana (kendaraan) Dewa Siwa, dewa yang sangat dihormati pemeluk agama Hindu. Kamu bakal melihat sapi-sapi berkeliaran di jalan-jalan layaknya kucing liar di Nepal. Eits, jangan nyoba mengusik sapi-sapi itu lho, nanti kamu bisa kena hukuman berupa denda sampai hukuman mati! Sadis!!!
Si Raja Jalanan!

               
                Klakson dengan suara yang nyaring adalah hal yang lumrah di Nepal. Dimana-mana kamu akan mendengar suara klakson bersahut-sahutan layaknya memberi salam. Konon, klakson merupakan sapaan "namaste" orang-orang Nepal di jalan. Rasanya tidak lazim kalau di Nepal tidak mendengar suara klakson yang nyaring. Bahkan beberapa klakson bunyinya sangat mirip klakson "telolet" Indonesia. Beberapa tempat mulai memberlakukan aturan dilarang membunyikan klakson seperti di salah satu sudut jalan kota Pokhara.
Siap-Siap Budeg Denger Klakson

                Nepal termasuk negara yang ramah bagi para pelancong. Entah itu dalam urusan keamanan maupun harga, keduanya pantas diacungi jempol. Polisi Nepal selalu bersiaga di touristic spots bahkan sampai di pasar pun ada! Nepal punya tempat backpacker tertua di dunia yaitu Thamel yang berada Di Kathmandu. Thamel terkenal sejak tahun 50 an semenjak gaya hidup hippie merebak. Nepal menjadi salah satu negara tujuan para hippie. Untuk urusan harga, mungkin karena nilai mata uang NPR( Nepali Rupee) jauh lebih rendah daripada negara-negara lainnya semisal USA, Singapura, Perancis. Nilai tukar NPR ke IDR sendiri saat itu berkisar 132 rupiah. Cukup murah untuk ukuran luar negeri bukan?
1000 NPR

                Makanan khas Nepal? Ada banyak! Makanan khas Nepal dikenal dengan aroma rempah-rempah yang kuat seperti halnya India. Ada momo, dal-bhat, ghundruk, dan lain-lain. Aroma yang kuat belum tentu menciptakan rasa yang tajam. Untuk lidah seperti kita kemungkinan merasakan masakannya agak hambar, entah kurang garam atau gimana ceritanya. Bagiku sendiri cukup tiga hari di Nepal setelah itu lidah bisa menyesuaikan dengan makanan lokal. Lezat! Kalau kamu makannya banyak, Nepal bakal cocok banget untuk melepas nafsu makan kamu! Bayangkan saja satu porsi orang Nepal layaknya 3 kali porsi orang Indonesia. Namun presentase lauk dengan nasinya berbanding 30:70, artinya kamu akan memakan 70% karbohidrat, kurang cocok untuk orang yang sedang diet.
Seporsi Dal-Bhat dan Momo Isi Keju Yak


                Satu hal yang tidak bisa dipungkiri dari Nepal adalah keindahan pegunungannya. Mulai dari Annapurna, Manaslu, sampai Kala Patthar, semua indah! Rasanya belum bisa dibilang pergi ke Nepal kalau belum mencoba mendaki salah satu gunung yang ada disana. Panjang waktu tempuh trekking bervariasi mulai dari 3- 15 hari tergantung rute yang dipilih. Untungnya aku berkesempatan melakukan pendakian ABC( Annapurna Basecamp). Cerita tentang megahnya Annapurna Basecamp akan dibahas lebih lanjut di postingan selanjutnya!
Really!
               Masih banyak sebenarnya yang bisa diulas dari Nepal. Budaya, Agama, Orang-orang rasanya terlalu banyak untuk dipaparkan semuanya. Sepanjang apapun aku menjelaskan tetap tidak bisa menggambarkan keindahan Nepal yang sesungguhnya. Daripada terus-terusan kebayang, mending kamu langsung beli tiket buat berangkat ke Nepal hehe.


Senin, 11 Juni 2018

Papandayan, Si Geulis dari Garut

Bagi anda yang menganggap hikin sebagai kegiatan yang menguras tenaga, buanglah jauh-jauh pikiran tersebut! Sekarang pendakian gunung bukanlah hal yang ekstrim mengingat beberapa gunung sudah dikelola secara profesional dan jalur yang jelas. Apabila anda ingin merasakan hiking sekaligus tamasya dalam satu paket, Gunung Papandayan merupakan gunung yang cocok untuk anda!
Skuad Arkeologi UI 2015(minus banyak)

Gunung yang terletak di Kabupaten Garut, tepatnya di Desa Sirnajaya dan Keramatwangi merupakan gunung berapi jenis sratovolcano dengan titik tertingginya 2665 mdpl. Gunung ini mempunyai jalur pendakian yang cocok untuk segala usia, mengingat medan yang ditempuh banyak yang landai serta ketersediaan warung-warung serta kamar mandi, mengingat kawasan ini sudah dikelola oleh pihak swata yang berimbas pada tiket masuk yang menjadi mahal.

Pendakian pertama akan diawali dari area parkir yang langsung mengantarkan menuju gerbang pendakian. Area parkir yang luas mempunyai sebuah gardu pandang yang dibangun cukup masif untuk menampung banyak pengunjung. Rute pertama pendakian akan melewati kawah yang berkontur cukup landai dengan jalur yang banyak bebatuan. Sepanjang jalan kita akan disuguhi pemandangan kawah belerang yang berbau menyengat dan tebing-tebing kars yang menjulang tinggi. Sebaiknya anda bersedia masker untuk jaga-jaga apabila anda tidak tahan bau menyengat belerang. Pemandangan disini sangat oke untuk berfoto ria.

Penampakan Kawah Papandayan

Setelah melewati kawah anda akan menemukan warung yang menjadi penanda adanya jalan bercabang; menuju Pondok Saladah atau menuju Hutan Mati. Aku waktu itu memilih langsung menuju Hutan Mati untuk langsung ke Tegal Alun karena dirasa waktu yang masih panjang. Hutan Mati menjadi spot andalan Gunung Papandayan untuk hunting foto. Disebut hutan mati karena pada awalnya disini adalah hutan yang lebat karena adanya aktivitas vulkanik yang menyebabkan matinya pohon-pohon tersebut. 
Hutan Mati Papandayan, Salah Satu Spot Terindah

Aku dan teman-teman segera menuju Tegal Alun setelah dari hutan mati karena pertimbangan; waktu yang masih panjang dan tenaga yang masih banyak. Trek menuju Tegal Alun full tanjakan, meski tidak terjal tetapi cukup menguras tenaga. Sesampainya di Tegal Alun, tuntas sudah lelah kami naik. Btw, Tegal Alun merupakan sebuah padang luas yang berisi Edelweiss. Disini kita dilarang ngecamp karena merupakan perlintasan hewan buas. Sayangnya, Edelweissnya saat itu belum berbunga, akhirnya kami menghabiskan siang bercanda serta rebahan disana. Ini juga merupakan titik tertinggi Papandayan yang bisa kita capai.
Selamat Datang di Tegal Alun!

Karena waktu yang hampir sore kami melanjutkan perjalanan ke bawah lagi menuju Pondok Saladah. Pondok Saladah ini merupakan kawasan berkemah yang ada di Papandayan. Pondok Saladah dilengkapi warung-warung yang berjejer serta kamar mandi hingga WC yang berlimpah. Jangan khawatir kehabisan makanan ataupun air, disini ketersediaan air berlimpah ruah hingga warung yang menjual makanan murah. Kalian bisa mendapatkan cuangki, gorengan, maupun minuman panas.
Kebanyakan pengunjung yang camping disini adalah keluarga, bahkan ada seorang anak kecil yang sudah dibawa ibunya camping, sisanya adalah anak-anak muda. Cuaca mulai hujan saat sore hari. Malam harinya disini menunjukkan suhu 7 derajat celcius, tidak terlalu dingin untuk ukuran Papandayan yang habis dilanda hujan.

Pagi harinya kami tidak menuju Tegal Alun seperti yang orang-orang lakukan, kami hanya bermalas malasan di tenda. Sembari menunggu matahari terbit, kami berjalan-jalan di sekitar Pondok Saladah. Kami menemukan tugu peringatan kecil atas meninggalnya seorang pendaki dikarenakan sakit. Setelah sarapan pagi, kami bersiap untuk turun kembali ke bawah untuk menuntaskan perjalanan kami.
End of Journey

Papandayan memang menawan; eksotisme hutan mati, padang edelweiss, kawah. Tak terkecuali pengelolaannya, harga yang mahal membuat kawasan wisata ini cukup mencekik kalangan berbujet bawah tergantung sepertiku meskipun mendapat layanan yang setimpal. Tak apalah kawasan alam digunakan untuk kepentingan bisnis tetapi ingat harus ada batasan-batasan agar pembangunan yang dilakukan tidak melebihi batas wilayah konservasi. Semakin bagus kalau ada pembatasan pengunjung. Salam lestari!




Dataran Tinggi Dieng, Romantisme Masa Hindu-Budha Berbalut Keindahan Alam

Dieng merupakan kawasan pegunungan yang terletak di Kabupaten Banjarnegara serta Kabupaten Wonosobo. Kawasan ini terkenal sejak dahulu kala sebagai daerah yang subur, dengan adanya bukti arkeologis berupa komplek Candi Arjuna. Daerah ini sangat kaya dengan potensi wisata, terutama wisata alam. Daerah ini banyak memiliki kawah-kawah seperti kawah sikidang, kawah candradimuka, dan kawah lainnya serta tidak lupa gunung-gunung seperti Gunung Prau dan Bukit Sikunir. Aku sudah beberapa kali mengunjungi Dieng, nyatanya aku tidak pernah bosan meski sudah mengunjunginya berkali-kali, terutama Gunung Prau.
Selamat Datang di Dieng!

Gunung Prau merupakan salah satu gunung di Jawa Tengah bahkan di Indonesia yang mempunyai pemandangan Golden Sunrise terindah, persis seperti logo yang ada disalah satu merek air mineral. Gunung Prau (Prahu) memiliki ketinggian 2565 mdpl dan memiliki 4 jalur pendakian antara lain Patak Banteng, Dieng Kulon, Kalilembu, dan Wates. Aku hanya pernah mencoba dua jalur; Patak Banteng yang terkenal sebagai jalur terpendek yang dapat ditempuh hanya dua jam dengan jalur yang terjal dan Dieng Kulon dengan jalur yang dekat dengan berbagai wisata lainnya seperti komplek Candi Arjuna dan Telaga Warna tetapi cukup panjang untuk sampai ke puncaknya. Suhu di puncaknya cukup menusuk tulang, berkisar 5-10 derajat celcius saat malam.


Sindoro-Sumbing dari Gunung Prau

Selanjutnya di Dieng ada komplek Candi Arjuna yang terletak berdekatan dengan jalur pendakian Dieng Kulon. Komplek candi ini ditemukan tahun 1814 oleh H.C. Cornelius yang dalam laporannya mengatakan candi-candi ini masih terendam oleh air. Barulah pada tahun 1856, J. Van Kinsbergen mengeringkan air yang ada disana dan menggambarkannya. Komplek percandian ini terdiri dari Candi Arjuna sebagai candi induk, Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Sembarda, Candi Puntadewa. Tidak jauh dari komplek percandian Arjuna juga terdapat komplek percandian Gatotkaca yaitu Candi Gatotkaca sebagai candi utama sisanya yaitu Candi Setyaki, Candi Nakula, Candi Sadewa, Candi Petruk, Candi Gareng tidak berbentuk utuh lagi. Sebenarnya masih banyak lagi candi-candi yang berada disekitar sini, entah itu yang sudah ditemukan ataupun belum, yang jelas ini memberikan gambaran bahwa daerah Dieng pada masa Hindu-Budha merupakan daerah penting.

Komplek Percandian Arjuna
Selain gunung dan candi, Dieng juga terkenal akan kawah-kawahnya seperti Kawah Sikidang, Kawah Candradimuka, Kawah Sileri. Tidak mengherankan kawasan Dieng dipenuhi oleh kawah-kawah sebab Dataran Tinggi Dieng merupakan kawasan vulkanis yang masih aktif. Telaga-telaga vulkanik juga turut memperindah Dieng dengan menampilkan air bercampur belerang seperti Telaga Warna, Telaga Merdada, dan lainnya. 
Telaga Warna 

Mitos serta legenda yang menyelimuti Dieng turut memperkaya kawasan ini. Gua pertapaan seperti Gua Semar yang terkenal sebagai pertapaan Eyang Semar ini konon pernah dipakai presiden Soeharto sebagai tempat bersemedi. Gua lainnya seperti Gua Jaran juga dikenal sebagai tempat bersemedi bagi para wanita yang ingin hamil. Gua Sumur Dieng yang mengandung air yang (katanya) dapat menghilangkan segala penyakit. Tetapi dari semua itu, kisah yang paling terkenal adalah kisah Dukuh Lagetang, Dukuh yang hilang dalam semalam akibat terjadinya longsor dari Gunung Pengamun-amun. Menurut banyak cerita, hal ini merupakan azab yang maha kuasa terhadap Dukuh Lagetang yang sering melakukan maksiat. Sekarang, ditempat tertimbunnya didirikan tugu peringatan untuk mengenang tewasnya 332 orang penduduk akibat bencana tersebut.


Setelah mengelilingi Dieng jangan lupa mencicipi makanan khas daerah sini. Lezatnya mie ongklok yang kuashnya terbuat dari kanji, segarnya carica(sejenis pepaya yang hanya tumbuh di daerah Dieng), dan hangatnya purwaceng siap menemani anda selama berwisata di Dieng yang dingin. Kisaran harga yang terjangkau membuat anda tidak berpikir dua kali untuk membelinya.


Itulah Dataran Tinggi Dieng,panorama wisata Jawa Tengah yang tak kalah indah dengan wisata yang ada di luar negeri. Sebuah paket lengkap yang menawarkan keindahan alam, cerita masa lalu, serta legenda-legenda masyarakat menjadi menu utama berwisata di kawasan ini. Jadi, jangan ditunda lagi menikmati keindahan panorama Indonesia berbalut romantisme masa Hindu-Budha hanya ada di Dieng!
Penampakan Dieng dari Gunung Prau

Sabtu, 07 April 2018

Gili Trawangan yang berdendang memanggil (Part 4 of Backpackeran Baluran-Lombok)

    Setelah menikmati Rinjani, perjalanan tentu saja harus diteruskan. Masih banyak spot-spot lainnya di Lombok yang harus dikunjungi, salah satunya adalah Gili Trawangan. Gili Trawangan merupakan sebuah pulau yang berada di sebelah barat laut Pulau Lombok. Pulau ini merupakan gugusan terbesar diantara saudar saudarnya, Gili Air dan Gili Meno. Sejak dibuka untuk turis pada tahun 1989, pengunjung pulau ini semakin bertambah setiap tahunnya, apalagi saat peak season, semakin membludak saja.


        Aku mengunjungi pulau ini hanya sendirian karena Jordi saat itu sedang malas. Dari Mataram aku harus menuju Pemenang untuk bisa menuju pelabuhan Bangsal, Start awal menuju Gili Trawangan. Mencari transportasi menuju Pemenang sangat mudah. Biaya angkutan ini umumnya 15.000-20.000, kalau lebih berarti kena zonk!

    Setelah tiba di Pemenang, untuk menuju pelabuhan Bangsal aku hanya berjalan kaki yang memakan waktu kisaran 15 menit. Oh iya, sebelum berangkat aku membeli beberapa jajanan yang dijual di kampung sekitar pelabuhan. Setiba di pelabuhan, jumlah orang asing dan warga lokal sama banyaknya. Harga tiket kapal penyeberangan juga murah dan terorganisir sangat baik. Semilir angin membawa aroma kelapa muda yang menyeberang hingga ke kapal yang aku tumpangi, menandakan Gili Trawangan sudah di depan mata. Perjalanan menuju pulau ini kita akan disuguhi pemandangan bukit-bukit gersang yang tampak tandus dan juga Rinjani yang menjulang gagah.
Kalau kalian melihat plang ini berarti kalian berada di salah satu surga dunia!
        Aku menginjakkan kaki di pulau ini sekitar pukul satu siang. Sesampainya disana aku langsung mencari mesjid untuk sholat dan numpang rebahan, sembari memikirkan rencana untuk tidur dimana malam itu. Pengunjung luar biasa banyak waktu itu, 89% turis yang kesana adalah orang asing. Pemandangan yang dijumpai layaknya Kuta Bali, diskotik, bar, cafe, dan segala jenis penginapan bagai jamur tumbuh di musim hujan. Akhirnya aku memutuskan untuk menyewa salah satu share room yang berharga murah(btw share room itu satu kamar bisa nyampur ama siapapun). 250k merupakan harga yang lumayan mahal untuk backpacker kere seperti aku tetapi dibandingkan dengan yang lain, itu adalah yang paling murah untuk saat peak season(selebihnya 300k keatas). 


     Berkeliling pulau dengan berjalan kaki bisa menghabiskan waktu berjam-jam karena saking indahnya pemandangan yang bisa kita lihat. Lautnya yang sangat biru dengan latar belakang bukit bukit gersang, terlihat sangat kontras namun memanjakan mata!
Salah satu sudut pulau yang bikin gak mau pulang
    Sore hari merupakan yang dinanti nanti oleh penggemar sunset. Turis-turis berkerumun di sisi barat pulau menikmati hidangan makanan yang disediakan cafe-cafe. Spot-spot foto kekinian menambah semarak sore hari disana. Aku harus mengantri dengan yang lainnya sembari menunggu dan merenung "kok Jordi gak mau ikut ke sini?". Hal yang membuat unggul Gili Trawangan dari Kuta Bali adalah tidak adanya kendaraan bermotor disini. Ini yang membuat Gili Trawangan ramai tanpa ada suar bising knalpot motor. Hingar musik mulai terdengar di setiap penjuru pulau saat malam. Diskotik-diskotik menawarkan berbagai promo untuk menarik pengunjung. Berbagai macam jenis minuman alkohol tersedia. Dari kisaran 20k hingga 150k. Awalnya aku tertarik untuk mencoba, tetapi karena pertimbangan uang untuk kembali ke Mataram yang pas-pasan akhirnya aku urungkan niat tersebut. Aku pun segera ke cafe yang menyediakan makan malam. Makan malam terasa syahdu sekali dengan adanya lilin di meja-meja, ah sayang sekali aku hanya pergi sendirian kali ini.
Sunset bersama pengendali kuda

    Tak terasa pagi pun menjelang, saatnya berkemas untuk kembali ke Mataram. Aku menyempatkan jalan-jalan keliling pulau saat pagi hari. Udara sejuk bercampur asin garam menjadi santapan pagi itu. Lalu lalalng kapal yang hilir mudik mengantar penumpang menjadi penutup yang pas untuk kisah kali ini. Padahal masih banyak hal yang ingin dilakukan semisal snorkling maupun sekedar mengunjungi Gili-Gili lainnya namun sang waktu membatasi perjalananku sampai disini
Kamar di penginapan murah, so cozy!

Lalu lalang pengunjung pulau

    Sehabis dari Gili Trawangan, Ibu Yulita mengajakku untuk melihat keliling spot wisata Lombok lainnya. Sayang sekali Jordi gamau ikut kami, dia merasa rebahan sudah cukup menyengakan di Lombok. Pantai lainnya yang kami kunjungi adalah Pantai Sengigi yang mana disana terdapat Pura Batu Bolong. Sesuai namanya Pura ini unik, berdiri diatas sebuah batu hitam yang memiliki lubang yang cukup besar, kanon dibangun oleh Rsi Dang Hyang Dwijendra tahun 1533. Mirip-mirip dengan Pura Tanah Lot yang menawarkan pemandangan laut sebagai sajian utama. Selanjutnya mencob melipir ke desa wisata yaitu Desa Adat Sade. Disini kita melihat bagaimana bentuk rumah tradisional Suku Sasak dan hasil kerajinan tangan mereka. Meski tidak membeli kain, aku sempatkan untuk membeli gelang sebagai kenang-kenangan. Sempat juga menyaksikan seorang ibu bagaimana menenun kain songket di depan halaman rumahnya. Inilah yang sedang digalakan oleh pemerintah Indonesia, menggenjot 10 Bali Baru menjadi destinasi utama di Indonesia. Bagusnya dampak ini langsung terasa di sektor ekonomi juga perbaikan fasilitas umum sarana dan prasarana. Namun tentu saja pemerintah harus memperhatikan alam juga sebagai fokus utama, bukan berpihak ke pengembang yang hanya mencari untung. Apa gunanya ekonomi meroket tapi keberlangsungan alam yang mulai rusak? 
Pura Batu Bolong, Destinasi Wajib Saat di Lombok!
Ibu Pengrajin Songket


Makan Bareng Keluarga Bu Yulita

Pantai Tanjung Aan

            Pantai lainnya yaitu Pantai Tanjung Aan yang terletak di Mandalika menjadi sajian penutup perjalanan kami hari ini. Sunset yang temaram diiringi awan gelap menyudahai perjalanan kami. Kami tak sempat ke Batu Payung karena hari yang sudah mulai beranjak malam dan kami sudah mulai kelelahan. Nampaknya inilah akhir petualangan kami di Lombok sebab dompet sudah mulai kembang kempis menahan isi yang tak nampak. Banyak sekali pengalaman yang didapatkan kali ini, meski tujuan utama menuju Pulau Komodo harus ditunda. Kami sejauh ini sudah sangat senang!

Sabtu, 23 Desember 2017

Pesona Dewi Anjani di Kepulauan Sunda Kecil (Part 3 of Backpackeran Baluran-Lombok)

    Sewaktu di dalam pesawat, aku pernah membaca artikel yang diterbitkan oleh majalah salah satu maskapai penerbangan di Indonesia tentang eloknya Rinjani, salah satu gunung tertinggi di Indonesia. Saat itu terbesit dalam benakku untuk mengunjunginya nanti. Bertahun-tahun setelah kejadian tersebut, akhirnya pada tanggal 2 Agustus 2017 aku diberi kesempatan untuk menginjakkan kaki di Gunung Rinjani. Rinjani, yang berasal dari kata Anjani, nama seorang dewi, sudah menjadi langganan baik bagi turis lokal maupun interlokal sebagai destinasi jika mengunjungi Pulau Lombok. Terletak di tiga kabupaten yaitu Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat serta memiliki tiga jalur resmi pendakian yaitu Sembalun, Senaru, serta Torean.
    Sesampainya di Lombok dari Padang Bai, kami istirahat selama dua hari di kostan seorang teman yang berbaik hati menawarkan tumpangan meski dia sendiri sedang tidak berada di Lombok. Melanjutkan perjalanan ke Rinjani bukanlah hal yang mudah, kita dilema akan dua hal; kalau kita jalan kaki kemungkinan lama baru sampai, kalau kita naik angkutan duit kita berkurang drastis. Setelah membandingkan baik dan buruknya,  kami memutuskan untuk berjalan kaki. Eh nasib memang mujur, kami bertemu seorang ibu bernama Bu Yulita yang berbaik hati memberikan kami tumpangan menuju Aikmel. Tidak kusangka Bu Yulita ini jualah yang akhirnya menjadi juru selamat kami selama di Lombok. Sepanjang perjalanan, Bu Yulita cerita tentang masa mudanya yang juga suka berkelana, karena melihat kami berdualah, si ibu seakan-akan melihat dirinya yang lain di waktu yang berbeda. Bu Yulita mengajak kami makan sebelum diturunkan di Aikmel. Kami berterima kasih dengan segala kebaikan Bu Yulita. Di Aikmel, kami harus menawar harga sebelum ikut mobil bak. Cukup alot memang tawar menawar karena kami tidak mau harga yang terlalu mahal. Kami sepakat diharga 20.000 per orang.
Pintu Gerbang Pendakian via Sembalun
    Kami melakukan pendakian melalui jalur Sembalun. Jalur Sembalun kami pilih berdasarkan letak yang cukup dekat dari Mataram dan juga katanya memiliki pemandangan terindah dibanding jalur lainnya. Pukul tiga siang kami start dari basecamp Sembalun menuju pos 1. Kami menyusuri setapak demi setapak jalan aspal hingga memasuki jalan setapak yang mengarah ke kaki Rinjani. Keindahan Rinjani dapat dirasakan dari awal pendakian. Padang savana seolah mendadah kami yang takjub akan keindahannya. Dikarenakan banyaknya jalur sapi, kami kehilangan arah hingga akhirnya terpaksa menginap di kaki gunungnya.
    
    Besoknya, 3 Agustus 2017, kami melanjutkan perjalanan ke pos 1 yang tertunda. Sayangnya, Jordi memutuskan untuk kembali ke Mataram karena dia merasa tidak cukup kuat untuk melakukan pendakian kali ini. Meski kucoba meyakinkan Jordi, dia tetap pada keputusanya untuk tida mendaki Rinjani. Setelah mengantarkan Jordi kembali ke basecamp, aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sendiri. Perjalanan sendiri memang akan terasa lebih cepat tetapi juga terasa sepi. 
    Aku berhasil mencapai pos 1 dalam waktu yang relatif singkat, sekitar dua jam saja. Perjalanan ke pos 1 lebih didominasi padang-padang savana, sesekali bukit-bukit kecil. Kalau kalian kehausan saat mendaki, ada beberapa penduduk sekitar yang berjualan minuman dingin. Harganya semakin keatas semakin mencekik kantong hehehe. Aku hanya beristirahat lima menit untuk tetap bisa sampai Plawangan Sembalun sebelum malam. Perjalanan dari pos 1 ke pos 2 pun relatif sama, didominasi perbukitan dan sesekali tanah datar.
Plang Pos II Sembalun
    Pada pos 3 inilah kesabaran kita diuji. Kita harus melalui tujuh bukit penyesalan sebelum bisa mencapai Plawangan Sembalun. Sesuai namanya, tujuh bukit penyesalan ini bakal menyiksa dengkul para pendaki. Aku pun dibuatnya meringis karena bukit-bukit ini seakan tidak ada habisnya. Cuaca diatas pun cukup mendung, membuatku khawatir kalau-kalau hujan datang mengguyur. Sebenarnya di pos berapapun kita bisa mendirikan tenda, tapi aku ingin lebih cepat sampai di Plawangan Sembalun, biar bisa berlama-lama di puncak hehehe. Setiap perjalananku tak ketinggalan ritual merenung. Entahlah kenapa aku mulai membiasakan diri setiap perjalanan melakukan perenungan, mungkin ini caraku berkomunikasi dengan sang pencipta.

    Tepat pukul tujuh aku sampai di Plawangan Sembalun. Tempat tersebut penuh sesak akan para pendaki yang didominasi oleh pendaki dari luar negeri. Kebanyakan pendaki dari luar negeri menyewa porter untuk membawakan alat-alat serta memasak untuk mereka. Setelah mencari tempat yang kosong, aku pun mendirikan tenda. Malam itu aku pun memakan bekal seadanya untuk mempersiapkan tenaga untuk summit attack.
Bangun Pagi dengan View Danau? Hanya di plawangan Sembalun!

    Alarm berbunyi pukul tiga pagi. Aku yang masih mengantuk berusaha mencoba bangun. Ternyata udara dingin mampu melenakanku untuk tetap berada di tenda sampai matahari terbit. Aku menikmati matahari terbit di ketinggian 2639 mdpl. Baru naik ke puncak sekitar pukul tujuh pagi, disaat orang-orang sudah mulai turun kembali. Aku menjadi orang yang terakhir naik ke puncak hari itu. Jalur menuju puncak Rinjani adalah trek berpasir, yang membuatku melangkah lebih lambat. Pemandangan sekeliling sangatlah indah, terutama Danau Segara Anak. Aku bertemu dua orang asal Surabaya yang akhirnya menjadi teman seperjalanan.
Puncak Rinjani
Sisa kita doang yang di puncak :')

    Setelah kembali turun ke Plawangan Sembalun dan beristirahat aku pun melanjutkan perjalanan menuju Danau Segara Anak. Awalnya aku dan dua orang Surabaya berencana menuju danau bersama-sama tetapi karena mereka tidak menemukan tendaku di Plawangan Sembalun akhirnya mereka turun lebih dahulu. Kami kembali bertemu di perjalanan menuju Segara Anak bersama anak-anak dari Bogor juga. Ah, memang perjalanan takkan pernah benar-benar sendiri, selalu menemukan teman seperjalanan :) Kehidupan di gunung rasanya nikmat sekali, sekat pembeda agama-ras-suku itu rasanya melebur bersama keindahan ciptaanNya. Kita sering kali menanyakan asal, bukan untuk berteman tapi untuk memperolok, entah karena warna kulit yang berbeda ataupun dari budaya yang berbeda. Tidak, di gunung tidak seperti itu. Budaya ngopi bareng dan kedinginan bareng, tidak memandang asal kamu darimana dan kamu anak siapa. Kita tidak peduli. As long as you want to sit with us.
Danau Segara Anak
Makan Sini Makan!
Segara Anak Menjelang Malam
    Kami benar-benar menikmati Segara Anak. Memancing ikan Mujair, berenang, memasak bersama, hingga bercerita menjadi agenda kami hari itu. Rasanya ingin tinggal di situ selamanya. Semua cerita pasti ada akhir, begitu pula perjalanan kami. Kami memutuskan untuk pulang melalui jalur Senaru. Jalur Senaru sebenarnya sama lelahnya dengan Sembalun tetapi jalur ini di dominasi oleh hutan pegunungan yang akan lebih teduh saat didaki. Kami akhirnya menginap di pintu masuk Senaru dan harus berpisah keesokan paginya.
Kami Akhirnya Berpisah disini

    Perjalanan kali ini merupakan pendakian terjauh serta terpanjang yang pernah kujalani, selama lima hari. Banyak sekali pengalaman serta pelajaran hidup yang didapat. Salah satunya adalah untuk tetap melanjutkan perjalanan meski kau harus sendiri menempuhnya. Selamanya, selama kita penuh keyakinan dan asa untuk berjalan, tuhan selalu mengirimkan orang-orang yang akan menemani sepanjang perjalanan, entah untuk sementara ataupun selamanya. Terima kasih Rinjani! Semoga bisa mendakimu lagi kapan-kapan.